Gendang dipukul bertalu-talu dalam irama tunrung pakanjara (pukulan gendang dengan cepat) mengiringi munculnya penari  di atas panggung. Pukulan masih dipukul dengan cepat, namun penarinya membawakan tarian ini dengan anteng nan anggun. Gerakan tangan dan badan penari nampak rancak mengikuti arah empat mata angin.  Pandangan mata penari menyapu ke depan. Â
Boleh jadi pakem-pakem tarian ini sudah terpahat sedemikian rupa dalam bilik ingatan para penari, sehingga tarian ini seiras-seirama tanpa perlu ada penari yang menjadi patokan.  Sesayup sampai  Bunganna Ilalang Kebo, lagu Makassar yang mengiringi tarian ini.  Lagu berirama empuk, sangat lazim bagi penari, dan mudah dipelajari.  Penabuh gendang pun tak kalah memukaunya. Dengan kemampuan terlatih, mereka mampu menyesuaikan pukulan dengan tari dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya.
Inilah tari Pakarena yang tampil di Istana Negara  pada tanggal 17 Agustus 1953 dan ini pulalah tari Pakarena yang ikut serta dalam misi kesenian Indonesia keluar negeri. Meskipun pada saat tampil diluar negeri waktunya dikurangi dari 25 menit menjadi 10 menit.
Nun jauh di pelosok-pelosok kampung di daerah Gowa, di sebuah tempat yang bernama Kalase'rena. Pakarena tampak dimainkan oleh beberapa seniman kampung. Pukulan gendang terdengar bertalu-talu. Para penari memainkan tarian mereka tanpa peduli dengan irama gendang. Penabuh gendang sendiri tidak sedikitpun mempedulikan gerak tari dan perubahan-perubahan yang terjadi. Gerakan tari antara satu dengan yang lainnya kadang tidak berkesesuaian, pandangan mata mereka tertuju ke lantai dengan khusyuk.Â
Ketika penari sudah duduk diam seakan tarian telah usai, penabuh gendang masih dengan khusyuk menabuh gendangnya.  Para juru gendang seolah tidak tahu dan tidak peduli bahwa para penari sudah usai menari. Tak lama pukulan gendangpun berhenti. Wajah penabuh gendang yang terdepan yang mereka sebut Anrong Guru nampak serius, sikap khusyuknya  penuh khidmat. Penari yang sebelumnya sudah berhenti, bersikap yang sama. Tari pakarena ini memang tidak terlihat rancak. Penari dan juru gendang lebih terlihat seperti orang yang keranjingan daripada menampilkan sebuah tarian  dengan estetika yang terukur sedemikian rupa. Tapi semua yang menyaksikannya justru merasakan suasana syahdu, sakral dan penuh dengan nuansa mistis. Tari pakarena ini memang tidak tampil dalam panggung pertunjukkan, tetapi tarian ini adalah sebuah ritual kampung untuk memuja Yang Kuasa atas nikmat dan rakhmat yang diberikan-Nya.
Kini ketika tari pakarena telah muncul sebagai entertaiment dan dikenal di Indonesia maupun manca negara, mungkin sudah jarang orang yang mengenang tari Pakarena yang dilakukan orang-orang kampung dipelosok Gowa tadi. Â Pementasana Pakarena yang terakhir ini memang hanya dilakukan pada saat ada acara-acara ritual, sebagai tanda kesyukuran kepada Yang Maha Kuasa, selain itu biasa juga ditemukan pada acara sunatan atau perkawinan.
Jika boleh saya katakan, semua tarian Pakarena saat ini yang muncul di panggung pertunjukan selalu mendasarkan dirinya pada Pakarena yang muncul pada tahun 1953 tadi.  Mungkin dalam titian sejarah, terjadi satu dua  perubahan mengikuti perkembangan zaman dan pasar namun patokannya tidak pernah lepas dari Pakarena 1953 itu.
Pada tahun 1953 itulah,  tari pakarena kembali muncul dalam panggung pertunjukan .  Tokoh seniman yang terlibat saat itu adalah Ibu Nani Sapada, Fachruddin dg Romo, Mappaselleng dg Maggau dan Abd Madjid dg Siala. Merekalah para maestro yang dianggap berhasil mengangkat Pakarena dari dunia ritual ke panggung pertunjukan.  Dari sana pulalah tari pakarena yang tadinya hanya dikenal di kampung  menjadi tersohor di tingkat Nasional, bahkan mulai masyhur di arena internasional.
Tak ada yang abadi di dunia ini, demikan halnya pakarena dalam versi ritual. Zaman terus meleset dan memaksa  perubahan-perubahan di tubuh tarian  pakarena.  Perubahan pakarena yangmengarah pada  entertaiment ini meski hampir disetujui secara bulat  namun tetap mengundang perdebatan yang menarik.
Di kabupaten Gowa misalnya, pihak Parawisata merasa perubahan yang dilakukan pada pakarena adalah satu kebutuhan.  Perubahan dan pengembangan tari adalah satu kemestian, begitu kata Hasnah Sambolege. "Pakarena harus tertata secara apik, enak ditonton dan memenuhi selera pasar".  Demikian katanya lagi.  Lantas ibu yang merupakan Kadis Parawisata Gowa pada era 2005-an, kalau tidak salah,  memungkas ucapannya; "pakarena bisa menguntungkan dan menambah pendapatan daerah bila dikembangkan dengan baik dan tidak hanya dikurung dalam arena ritual.Â
Atas nama pengembangan inilah di kabupaten Gowa dilakukan pembinaan terhadap sanggar-sanggar seni yang sudah terorganisir dan terdaftar di Kabupaten. Sanggar-sanggar seni itu, demikian Muh Rusli, sejawat Hasnah, Â diberikan dana pembinaan setiap tahunnya. Â Dari sanggar-sanggar itu diharapkan muncul kreasi pakarena yang bisa memesona para penonton, khususnya dari manca negara.