Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menekuk Agama Lokal

29 November 2017   15:02 Diperbarui: 17 Januari 2018   14:38 1171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Atas nama menghilangkan ritual-ritual agama lokal , pemerintah bersama penganut agama resmi tak jarang melakukan pemberangusan dan tindakan koersif terhadap para penghayat agama lokal ini.   Kisah yang dialami komunitas Dayak adalah salah satu contohnya.  Kata  Commans,  pernah terjadi penginjilan orang Dayak di wilayah Long Iram dan Apo Kayan, pedalaman Kalimantan Timur, berada dalam situasi kelam.  Orang-orang Dayak yang masih banyak meyakini agama lokal,  beribadah di gua-gua atau ritual di lamin dianggap sebagai naga merah. 

Istilah naga merah itu disematkan oleh  Jaffray ,  seorang  pembawa perkabaran Injil (misionaris) yang terkenal. Ia mengambil istilah itu dari wahyu 12:3.   Satu Julukan bagi  musuh para penginjil.  Sebagai naga merah, maka mereka harus diseterui. Gua-gua tempat ritual dan menyimpan tengkorak para Dayak penghayat lokal tersebut dihancurkan.  Rumah panjang (lamin) orang-orang Dayak diceburkan ke sungai Mahakam.  Sementara orang Dayak yang masih menggelar upacara kuno, mereka juluki  "Buaya Mahakam".

Nasib yang serupa dialami  oleh komunitas Towani-Tolotang di Sidrap. Keyakinan lokal mereka diberangus dalam satu operasi yang bernama Malilu Sipakainge   (Mappakainge).   Operasi Kodam  XIV Hasanuddin membawa suasana suram di komunitas tersebut.  Cerita muram bertebaran terkait dengan Operasi Mappakainge ini. Launge Setti, seorang tokoh Towani-tolotang, menuturkan kisah pilu tentang orang-orang Towani-Tolotang yang ditangkapi karena dianggap teguh pada keyakinan ketolotanan mereka. 

Sebagian yang lain harus melarikan diri karena ketakutan ditangkap dan khawatir dipaksa untuk meninggalkan ajaran leluhurnya. Uwa Narto, yang juga tetua adat Towani-tolotang juga menuturkan bagaimana orang-orang Towani-Tolotang dilarang menyelenggarakan perkawinan dalam tradisi dan keyakinan mereka.  Gendang untuk acara adat berhenti di tabuh, riuh perayaan masemppa (tradisi baku hantam kaki) lenyap, senyap ditelan ketakutan yang mencekam.  Alat-alat upacara mereka di hancurkan.  Perlengkapan ritual di musnahkan. Kebiasaan ritual tahunan di parinyameng  di tiadakan.

Tidak hanya sekadar pelarangan keyakinan Towani-Tolotang, pemaksaan menjadi Islam pun dilancarkan. Uwa Narto bertutur, dalam satu peristiwa, seorang Towani- Tolotang yang baru saja meninggal dan telah dimakamkan, di gali kembali kuburannya. Mereka 'dipaksa' untuk menyelenggarakan jenazah tersebut dengan cara-cara Islam, setelah itu baru kembali dikuburkan.

Tak berbilang jauh dari komunitas Tolotang, Bissu salah satu komunitas lokal yang berdiam di Segeri-Pangkep (Sul-sel), juga punya suratan yang sama. Mereka juga mengalami kekerasan  dalam operasi mappatoba.  Nasibnya sama memilukan dengan orang Dayak dan Towani-Tolotang,  ditangkapi dan dipaksa mengubah keyakinan.

Di tempat lain, berbagai komunitas lokal dengan keyakinan berbeda, seperti Parmalin, Sunda Wiwitan, Tengger, dan Tanah Toa Kajang juga mengalami nasib yang seiras-seirama dengan para penghayat lokal yang telah disebutkan sebelumnya. Di gasak  pemerintah, diremukkan agama resmi.

Tidak berakhir di situ.  Para penghayat agama-agama lokal ini pun di cerabut dari tanah dan lingkungannya.   Ritul-ritual mereka yang banyak berkait erat dengan tanah dan hutan dihilangkan. Selain karena ritual-ritual itu dianggap berselimut kemusyrikan dan heretic, juga disebut-sebut menghalang-halangi proses pembangunan dan modernisasi.  Pemerintah Orde Baru misalnya, melancarkan program revolusi hijau, yaitu satu revolusi pertanian yang tidak hanya mendorong modernisasi pertanian, tetapi juga menghancurkan segenap ritual-ritual lokal yang terkait dengan pertanian.

Para penghayat agama lokal ini pun pelan-pelan dipisahkan dari  hutan dan tanah, tempat di mana mereka selama ini menggantungkan diri.  Mereka tidak punya lagi ikatan sakral dengan alam dan lingkungannya. Padahal selama ini bagi penghayat agama lokal, merujuk pada kata Bisri Effendy  , Agama, hutan (tanah, gunung, gua, pohon, sungai, dan burung) adalah sesuatu yang amat penting  keberadaannya.  Menjaga, merawat, dan melestarikan semua itu adalah keniscayaan yang tak mungkin diingkari, karena tanpa hutan, keberadaan dan eksistensi agama itu menjadi suatu yang mustahil (Bisri, 2005).

Setelah para penghayat lokal ini dipisahkan dari alam dan lingkungannya, maka mulailah tanah dan hutan itu dianeksasi oleh negara atau diakuisisi oleh  perusahaan tertentu.  Tanah dan hutan tersebut, atas nama pembangunan dan kemodernan tidak boleh lagi dikelola oleh para penghayat lokal.  Para penghayat lokal kemudian dipindahkan ke tempat lain, dibina dan diajarkan cara-cara beragama yang dianggap benar.

Dengan demikian, tidak adanya pengakuan terhadap keyakinan para penghayat lokal tersebut, sekaligus juga tidak adanya pengakuan atas tanah dan hutan yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan mereka. Singkat kata, agama lokal lenyap, hutan dan tanah mereka pun melayang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun