Sumber Gambar : http://www.sinarharapan.co
Hari itu, Selasa tanggal 7 November 2017, mungkin akan menjadi salah satu waktu yang paling dikenang oleh para penghayat agama lokal di Indonesia. Â Pada titi mangsa itulah, keberadaan agama lokal sah dicantumkan dalam kolom agama di KTP. Â Hal demikian itu terjadi, setelah MK menegaskan dalam amar putusannya bahwa kata 'Agama' dalam pasal 61 ayat 10 serta pasal 64 ayat (2) UU No.23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 24/2013 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Keputusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap yang mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk 'kepercayaan'. Â Keputusan ini secara terang benderang menyatakan bahwa penyebutan agama tanpa memperkatakan kepercayaan di dalamnya, bertelingkah dengan UUD 1945. Â Â
Apakah dengan demikian, agama lokal sah, atau sudah bisa dianggap sebagai agama resmi di Indonesia ?. Â Pertanyaan lanjutannya, jika serupa itu adanya, apakah agama-agama lokal tersebut harus pula mendapatkan pelayanan sebagaimana enam agama yang sudah diakui sebelumnya ?.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu membutuhkan diskusi panjang untuk menjawabnya. Untuk sementara kita bisa katakan, saat ini perjuangan agama lokal untuk mendapatkan pengakuan yang sesungguhnya (politic of recognetion) masih memerlukan jalan panjang. Â Jalan yang boleh jadi masih rumpil dan menanjak. Â Beberapa regulasi kita, seperti PNPS No.1/1965, misalnya, Â masih ada sampai kini. Dalam regulasi tersebut hanya menyebut enam agama yang ada di Indonesia. Â Belum lagi soal pelayanan keagamaan yang sampai saat ini regulasinya terbatas pada pelayanan enam agama yang sudah diakui sebelumnya.
Sebelum saya berpanjang-panjang menuliskan tantangan bagi penganut agama lokal setelah lahirnya keputusan MK ini, beberapa jenak saya mengajak pembaca untuk balik ke belakang. Â Dari belakang, Â kita akan melihat bagaimana kisah para Penghayat Agama Lokal ini ditekuk, Â sekaligus melapangkan jalan bagi agama-agama Internasional menabalkan takhta.
Hildred Geertz (1981) pernah memerikan presensi  etnis di Indonesia yang jumlahnya lebih kurang tiga ratus etnik.  Ratusan etnis  yang pelbagai itu,  memiliki identitas kebudayaan masing-masing dan dijalankan selama lebih dua ratus tahun. Namun anehnya, dari  sejumlah etnis itu, tidak pernah ketahuan secara pasti berapa jumlah agama lokal yang ada di Indonesia ini.  Walau tentu saja Hildred sendiri diam-diam yakin bahwa hampir tiap etnis yang ada itu, memiliki keyakinan sendiri-sendiri.
Mengapa jumlah agama lokal tidak bisa diidentifikasi sebagaimana jumlah etnis itu sendiri ?.  Soalnya adalah karena seluruhnya memang tidak dianggap agama.  Masyarakat etnis yang beragam itu  sejauh belum memeluk lima atau enam agama yang sudah diakui oleh negara, mereka dianggap belum memeluk satu agama.
Lantas apa sebutan kepercayaan lokal yang diyakini masyarakat di tiap-tiap etnis tersebut?.  Koentjaraningrat (1974) menyebutnya sebagai religi.  Adapun  agama,  demikian Koentjaraningrat, hanyalah yang secara resmi diakui oleh negara.  Komponen kedua, lanjut Koen, adalah kepercayaan, hal mana ada di dalam agama maupun religi.  Â
Adapun agama yang secara politis diakui dan kemudian dianggap resmi itu, adalah agama yang memiliki syarat-syarat seperti yang disebut oleh Rita Smith dan Susan Rodgers (1987) ; Â monoteistik, menyandang kitab, memiliki nabi dan mempunyai komunitas internasional. Â Syarat-syarat ini tidak mungkin secara utuh dapat ditemukan pada agama-agama lokal. Â Apalagi Jane Monnig (1985) menambahkan secara implisit bahwa yang bisa disebut agama adalah yang membawa spirit modernisme.
Jelaslah dengan demikian, baik pemerintah maupun kalangan akademisi serta antropolog, telah meletakkan keyakinan lokal yang ada hampir di tiap etnis di Indonesia itu sebagai bukan agama. Â Mereka tidak diakui secara politis maupun dari sisi pengetahuan. Kolaborasi pemerintah dan kalangan akademisi telah menekuk agama lokal berada di bawah dominasi agama-agama dari luar, seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha.Â
Penganut agama lokal yang ada di Indonesia dengan kebijakan politik dan konstruksi pengetahuan tadi, akhirnya tidak mendapatkan pelayanan sama sekali dari negara. Jangankan untuk hal itu, bahkan untuk perayaan-perayaan ritual, Â mereka tidak diberikan ruang sama sekali. Tindakan ritual mereka bahkan dianggap sebagai aktivitas masyarakat primitif, menentang pembangunan, dan disesaki ke-syirik-an.