Kritik sastra memiliki peran yang penting dalam menggali dan memahami lapisan makna yang tersembunyi di balik sebuah karya. Sebagai ekspresi kompleks dari pemikiran, emosi, dan budaya, karya sastra tidak hanya berbicara melalui kata-kata, tetapi juga menyampaikan pesan-pesan yang sering kali tersirat. Kritik sastra membantu pembaca menavigasi dunia simbolik tersebut, membuka peluang untuk memahami karya dengan lebih mendalam, baik dari aspek struktur naratif maupun nilai-nilai yang dikandungnya. Tanpa kritik sastra, banyak makna dalam karya sastra yang berpotensi tidak tersentuh, meninggalkan pembaca hanya di permukaan teks (Luxemburg et al., 1984).
Di antara berbagai pendekatan dalam kritik sastra, teori ekstrinsikalitas menawarkan sudut pandang yang memperluas cakrawala pemahaman. Berbeda dengan teori intrinsikalitas yang fokus pada unsur-unsur dalam teks itu sendiri, teori ekstrinsikalitas mengarahkan perhatian pada faktor-faktor di luar teks, seperti konteks sejarah, budaya, sosial, dan psikologi (Wellek & Warren, 1993). Pendekatan ini memungkinkan karya sastra dilihat sebagai produk dari lingkungan tempat ia lahir, serta sebagai cerminan dari dinamika kehidupan manusia (Abrams, 1999).
Salah satu cabang teori ekstrinsikalitas yang menonjol adalah psikologi sastra. Teori ini menghubungkan dunia sastra dengan dimensi kejiwaan, baik dari perspektif pengarang, karakter dalam cerita, maupun pembaca. Melalui teori psikologi sastra, kritikus dapat menganalisis kondisi psikologis yang melatari penciptaan sebuah karya atau yang dialami oleh tokoh-tokoh di dalamnya. Dengan demikian, pendekatan ini tidak hanya memperkaya interpretasi sastra, tetapi juga memberikan wawasan tentang kondisi mental manusia yang tercermin dalam karya sastra (Pradopo, 2007).
Apa Itu Teori Psikologi Sastra?
Teori psikologi sastra adalah pendekatan dalam kritik sastra yang berfokus pada analisis aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Pendekatan ini bertujuan untuk memahami kondisi mental, motivasi, konflik batin, dan dinamika psikologis yang dialami oleh karakter, penulis, atau bahkan pembaca dalam proses interaksi mereka dengan teks sastra. Teori ini menggabungkan wawasan psikologi dengan studi sastra, memberikan pandangan yang lebih mendalam tentang bagaimana pengalaman emosional dan kejiwaan terjalin dalam narasi sebuah karya (Wellek & Warren, 1993).
Pendekatan psikologi sastra sering kali digunakan untuk menganalisis hubungan antara teks dan dunia psikologis penulis, terutama ketika karya tersebut dipengaruhi oleh pengalaman pribadi atau konflik batin yang dialami oleh penulisnya. Selain itu, teori ini juga dapat mengungkap bagaimana struktur psikologis tokoh-tokoh dalam cerita memengaruhi alur, tema, dan makna keseluruhan karya. Misalnya, melalui analisis psikologi, seorang kritikus dapat menafsirkan keputusan-keputusan tokoh dalam cerita sebagai representasi dari mekanisme pertahanan diri atau trauma yang mendasarinya (Pradopo, 2007).
Teori psikologi sastra memiliki perbedaan mendasar dengan teori-teori sastra lainnya. Misalnya, teori intrinsikalitas seperti strukturalisme atau formalisme lebih menitikberatkan analisis pada unsur-unsur internal teks, seperti struktur naratif, gaya bahasa, dan simbolisme, tanpa mempertimbangkan faktor di luar teks. Sebaliknya, psikologi sastra adalah cabang dari teori ekstrinsikalitas, yang justru melihat teks dalam konteks yang lebih luas, termasuk latar belakang psikologis penulis atau dampak emosional yang ditimbulkan teks pada pembacanya (Luxemburg et al., 1984). Dengan demikian, pendekatan ini memberikan keseimbangan antara eksplorasi elemen sastra dan pemahaman terhadap dimensi manusiawi yang melatarbelakanginya.
Dalam praktiknya, teori psikologi sastra dapat diperkaya dengan berbagai konsep dari tokoh-tokoh psikologi seperti Sigmund Freud, Carl Jung, atau Erik Erikson. Misalnya, teori Freud tentang alam bawah sadar sering digunakan untuk menganalisis simbolisme mimpi dalam karya sastra, sementara teori Jung tentang arketipe membantu mengungkap pola-pola universal dalam narasi. Hal ini menjadikan teori psikologi sastra sebagai pendekatan yang dinamis dan beragam, mampu menghubungkan dunia sastra dengan kompleksitas psikologis manusia (Freud, 1919; Jung, 1968).
Aplikasi Teori Psikologi Sastra dalam Kritik Sastra
Teori psikologi sastra dapat diterapkan dengan menganalisis berbagai aspek psikologis yang ada dalam karya sastra, baik yang berkaitan dengan penulis, karakter, maupun pembaca. Salah satu contoh penerapan teori ini dapat ditemukan dalam novel Crime and Punishment karya Fyodor Dostoevsky. Dalam karya ini, karakter utama, Raskolnikov, mengalami konflik batin yang mendalam antara keinginannya untuk melakukan pembunuhan demi tujuan mulia dan rasa bersalah yang terus menghantuinya setelah perbuatannya. Melalui pendekatan psikologi sastra, kita dapat melihat bagaimana Raskolnikov menderita akibat perasaan superioritas yang tidak sehat, yang akhirnya membawa dia pada alienasi sosial dan kegelisahan psikologis (Freud, 1919; Wellek & Warren, 1993).
Contoh lain bisa ditemukan dalam puisi-puisi Chairil Anwar. Dalam beberapa puisi Chairil, terutama yang berbicara tentang kematian dan eksistensialisme, teori psikologi sastra memungkinkan kita untuk menafsirkan perasaan keterasingan, kecemasan, dan perjuangan individu dalam menghadapi makna hidup. Puisi Aku, misalnya, mencerminkan ekspresi batin yang keras dari seorang individu yang berjuang untuk mengatasi rasa kehilangan dan ketidakpastian eksistensial. Melalui teori psikologi sastra, kita dapat melihat Chairil sebagai sosok yang dipengaruhi oleh kondisi psikologis dan sosial zamannya, dan puisi-puisinya dapat dianalisis sebagai bentuk ekspresi dari konflik batin yang lebih besar tentang identitas dan perjuangan hidup (Pradopo, 2007).