Mohon tunggu...
iis noor
iis noor Mohon Tunggu... -

Girl who always try to write, Another blog : iisnoor.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sentimeter Indonesia (Sebuah Cerita dari Pare-Kediri)

12 November 2015   06:25 Diperbarui: 12 November 2015   07:30 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemudian, aku perhatikan supir yang membawa kendaraan ini. Ia berambut ikal dengan sedikit di kepang ke belakang. Rautnya garang, tapi tutur bahasanya masih saja aku suka, aku anggap bersahaja. Seperti itulah aku melihat orang Jawa hari ini.

[caption caption="salah satu area yang bisa dijadikan tempat foto-foto dekat kebun tebu"]

[/caption]Beberapa orang kutemui disini, Pare kota kecil nan anggun. Kebunnya masih asli, begitupun rumahnya, hanya sebagian rumah yang berukuran raksasa dan yang lainnya masih mempertahankan kesederhanaan desa. Begitupun warung-warung makan. Banyak warung makan sederhana dengan menu-menu kental jawa, bumbu yang tidak begitu asin dan pecel. Fast food juga ada, tapi lidah dan hatiku lebih akrab dengan makanan asli mereka.

Banyak orang berharga yang aku temui kembali disini. Pertemuan dengan orang-orang disini bukan tidak berarti, tetapi pasti akan ada yang paling berkesan dan  ada juga yang berkesan biasa saja.

Orang kedua setelah orang-orang yang kutemui di perjalanan itu adalah lelaki bertubuh tinggi besar, jika orang lain berdiri disampingnya, orang itu akan terlihat sangat pendek, apalagi yang memang asalnya pendek (hehe..) ia berkacamata, dan berkening lebar. Ya, nampak seperti orang-orang pintar kebanyakan. Dan aku tidak salah menilai, ternyata dia bukan orang bodoh.

Berasal dari sebuah kota dekat Kediri, bernama Tulungagung. Dia sarjana bahasa Inggris dari STKIP PGRI Tulungagung. Agak heran melihat anak ini, aku tidak pernah melihatnya malas, mengeluh, atau murung. Keadaannya selalu bersemangat, meskipun kadangkala dia mengantuk. Tapi, dalam keadaan sadar dia selalu menunjukkan kesan semangat dimataku. Dan dia selalu mengharga waktu, aku tidak pernah mendapati dia datang telat, kalaupun sudah melewati jam masuk, sudah di pastikan di tidak masuk.

Dan suatu hari aku pernah berbincang sedikit dengan lelaki berusia 23 tahun ini, dia membawaku berbincang tentang keadaan anak muda zaman sekarang, tentang cabe-cabean dan perkembangan zaman. Beberapa kali berbincang dengannya isinya bukan hal biasa, menurutku. Tapi selalu ada kesan perjuangan, kritik sosial dan “mahasiswa” itu ada pada dirinya.

Selain itu, yang aku heran dia juga selalu cerita. Padahal orang-orang disekitarnya adalah anak-anak yang baru keluar dari SMA. Aku saja tidak begitu kerasan bersama mereka. Tapi cara dia menghadapi anak-anak itu lain, aku beranggapan mungkin karena dia adalah figur guru. Tapi ternyata bukan hanya itu, dia beranggapan untuk menjadi manusia besar, kita harus bisa masuk ke berbagai kalangan. Dan itu, aku nilai dia  berhasil. Sebab, aku sendiri tidak mampu seperti itu.

Ya, akan selalu ada seseorang yang berharga di balik orang seperti itu, begitupun dia. Dari ceritanya, Ibu adalah inspirasi tertinggi baginya. Segalanya bagi dia.

Dan orang selanjutnya yang aku temui disini, baru-baru ini adalah lelaki berbadan gemuk berumur 28 tahun berasal dari Jogjakarta. Kita sempat berbincang di sebuah angkirangan dekat kosan. Dari pembicaraannya dia orang yang banyak pengalaman. Ya, dia pernah menjadi reporter sebuah surat kabar dan sekarang dia adalah penulis di salah satu website besar indonesia. Tapi, sempat dia bilang, “jangan anggap aku orang keren, itu bukan keinginan aku, itu karena kepepet. Jangan ditiru” ungkap dia siang itu.

Dia pun pernah kuliah selama dua tahun, tapi tidak pernah selesai. Dia bilang “Saya hanya kuliah sampai saya tahu 5W+1H, setelah itu saya tidak lanjutkan kuliah lagi” aku tanyakan pada dia kenapa. Dia hanya bilang bahwa dia kuliah hanya ikut-ikutan saja. Dan  jurusan yang diambil pun asal. Dia ambil fakultas Komunikasi dengan konsentrasi periklanan.

“Kuliah memang bukanlah tempat kita menggantungkan pekerjaan, tapi kuliah untuk mendapatkan ijazah. Sebab, bukti nyata bagi orang tua adalah ijazah. Dia akan merasa telah berhasil menjadi orang tua ketika mereka telah kita berikan bukti ijazah. Mereka akan senang ketika kita mendapatkan ijazah kita. Soal nanti dapat kerja atau tidak itu masalah lain.” Ungkapnya dengan nada nampak menyesal. Karena dia harus ditinggal bapaknya beberapa waktu setelah dia memutuskan berhenti kuliah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun