Komisi III DPR RI, Eva Kusuma Soendari menyadari pula hal tersebut. Ia berkomentar bahwasanya telah diputuskan oleh MK bahwa negara tidak memiliki wewenang untuk menentukan agama resmi dan non resmi. Karena agama lebih dulu ada daripada negara. Dan ia pun merasa bahwa pencantuman agama dalam KTP merupakan sumber diskriminasi. Namun, jawaban simple diberikan oleh pemerintah bahwasanya ketika ada kecelakaan di tempat asing, jika tidak mengetahui agama apa yang dipeluknya bagaimana cara mengurusnya(?)
Kasus kekerasan tidak hanya disebabkan oleh hal ini, namun ada hal yang seringkali tidak tersentuh oleh kaum pluralis yaitu kaum fundamentalis. Gerakkan kaum fundamentalis adalah gerakkan yang sangat gesit. Kaum pluralis jangan sampai seperti menegakkan batang yang sudah tegak, namun kaum pluralis mestinya bisa lebih agresif menyebarkan value dan lebih sistematis. Hal yang sama dikemukakan oleh Basar Daniel Zefrie Tampubolon bahwa isu pluralis ini sudah clear adanya di kalangan kaum pluralis, yang mesti dihadapi adalah kaum fundamentalis. Jadi, mesti ada satu hal yang mungkin bisa dilakukan bersama-sama. Seperti yang beliau lakukan yaitu mengangkat permasalahan bersama untuk diselesaikan bersama, namun bukan berupa hal yang akan menyinggung agama.
Dan satu alat negara yang sangat potensial untuk melakukan hal ini adalah pemuda. Maka, pluralisme haruslah dikenalkan sejak dini, agar terbentuk mental pemuda bangsa yang setuju dalam perbedaan. Untuk melakukan perubahan, Basar mengatakan bahwa kita harus mengenali potensi dan mengoptimalkan peran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI