Mendung yang sejak tadi menggantung di matanya akhirnya pecah juga. Tetesan air bening itu membasahi pipi keriput Nenek. Lagi-lagi aku gagal memenuhi ekspektasinya.
"Nek, kumohon ... Berapa kilo gram tepung lagi yang harus kuhabiskan?"
Nenek memilih beranjak dari kursi malas kesayangannya, masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu. Aku benar-benar diabaikan. Seharusnya Nenek bisa sedikit mengapresiasi usahaku, berapa banyak video tutorial dari YouTube yang aku ikuti, serta trial puluhan resep yang menguras tenaga, juga waktu yang terbuang sia-sia. Â Meski Nenek tidak pernah menyuruh aku melakukannya.
Hal ini berawal dari perdebatan kami tempo hari, aku menginginkan kue modern saja yang menjadi snack di acara setahun peringatan meninggalnya Kakek. Karena aku lumayan mahir membuatnya. Tapi, kue apem. Oh, tidak! Bukan karena aku tidak bisa, jika hanya sekedar kue apem biasa mungkin aku tidak perlu merasa segagal ini sebagai seorang pemilik catering. Namun, Nenekku selalu bercerita tentang apem kenangan yang dinikmati bersama Kakek. Apem yang terasa legit seperti wingko babat, menul-menul tanpa ragi instan, dan membuat siapapun ketagihan. Sayangnya, Nenek tak pandai membuat kue. Apem itu didapatkan dari sebuah Pasar di Desa Bakaran. Sudah berpuluh tahun silam, sekarang pedagangnya sudah tidak berjualan, juga tidak ada generasi yang meneruskan.
Kumainkan gawaiku menghalau kesal, jariku bergulir di aplikasi hijau tanpa arah dan tujuan. Tiba-tiba aku teringat sahabatku, Fitri. Dia pernah menyebut neneknya sering dipanggil sebagai tukang kue di acara hajatan tetangga. Malam itu, kuhubungi Fitri untuk membuang kegalauan tingkat tinggi.
"Santai, Ra ... Jare Mbahku iso nggawe apem. Sampean kon moro, ndelok dewe prosese. Tapi, ono syarate ...."
(Santai, Ra ... Nenekku bilang bisa membuat apem. Kamu suruh datang melihat sendiri prosesnya. Tapi, ada syaratnya ....)
"Ojo medeni tho, Fit!" (Jangan nakutin donk, Fit!) Jujur, aku sedikit merinding.
"Sampean dikongkon nginep!" (Kamu disuruh menginap!) Gelak tawa Fitri terdengar renyah sekali.
Sore harinya, aku dan Fitri bergegas menuju ke alamat rumah Mbah Kati, neneknya Fitri. Mungkin ini yang dinamakan jodoh, Mbah Kati ternyata tinggal di Desa Bakaran juga. Kukendarai motor matic dengan membonceng Fitri yang sedari tadi ngoceh banyak hal. Sampai-sampai jarak tempuh 10 km dari desaku menuju desa Mbah Kati tidak terasa.
Kedatangan kami disambut hangat, bahkan kamar untuk menginap juga dipersiapkan. Lalu, saat berbincang-bincang dengan tidak sabar kuberanikan diri menyampaikan maksud hati, "Mbok bilih dahang ing penggalih, kulo bade mangertos coronipun ndamel apem, Mbah." (Apa bila berkenan, saya ingin belajar cara membuat apem, Mbah). Mbah Kati tersenyum ramah, lalu mengajak kami ke belakang rumah menyusuri lorong yang pagarnya dipenuhi daun sirih serta pandan wangi. Saat sampai di ujung lorong, bangunan klasik berbilik bambu menyambut kami. Mbah Kati menjelaskan bahwa bangunan itu adalah Pawon (dapur) yang membuatnya betah berlama-lama singgah di dalamnya, membuat aneka hidangan pesanan. Sebelum masuk, Fitri mencuci tangan dan kakinya di padasan (penampung air tempo dulu yang terbuat dari tembikar). Aku mengikuti apa yang dilakukan Fitri tanpa banyak bertanya.
Dapur Mbah Kati cukup luas dan bersih. Lantainya terbuat dari plesteran semen yang terasa dingin di kaki. Namun, hal yang membuatku takjub adalah tungku tradisional yang berbahan tanah. Seperti mulut goa yang besar dan kokoh. Dengan semangat membara kupindai gerak-gerik Mbah Kati yang lincah. Mula-mula dikeluarkannya baskom besar, lalu tepung beras seberat 1,5 kg dituangkan ke dalamnya. Kemudian disusul 1,5 liter air kelapa hangat, tak lupa 200 gram tape singkong turut dimasukkan. Mbah Kati telaten mengaduk semua bahan sampai tercampur rata, lalu menutup baskom itu dengan nampan. Mbah Kati bilang, selayaknya manusia adonan apem juga butuh istirahat. Lalu, kamipun tidur.
Pagi-pagi sekali kami berkumpul lagi di dapur, adonan yang semalam beristirahat kini mengembang dua kali lipat. Ajaib! Bahkan tanpa perlu ragi instan. Fitri tampak terheran-heran sepertiku. Namun, tangannya masih lincah memarut dua butir kelapa muda. Sementara aku menimbang 750 gram gula pasir. Kedua bahan yang berada di tangan kami kemudian disatukan ke dalam adonan. Aku dan Fitri duduk di depan tungku, menghangatkan tangan yang sedikit berkerut karena dingin. Sedangkan Mbah Kati sibuk menuang adonan apem ke dalam loyang yang berada di atas tungku yang menyala.Â
Sambil sesekali meniup api, mengalirlah cerita dari Mbah Kati tentang sejarah apem. Bahwasanya Ki Ageng Gribig, keturunan Sunan Gresik yang pertama kali membawa kue apem sepulang dari tanah suci. Kata apem sendiri berasal dari bahasa Arab afuan/afuwwun yang berarti "ampun". Tetapi orang Jawa sedikit kesulitan menyebutnya, sehingga muncullah kata "apem". Hingga sampai sekarang masyarakat Jawa masih melestarikan tradisi membuat kue apem dalam berbagai acara. Tujuannya juga bermacam-macam, jika apem dibuat untuk acara syukuran, apem sebagai simbol rasa terimakasih atas karunia Tuhan. Jika untuk tahlilan, maka apem sebagai simbol permohonan maaf atas dosa-dosa orang yang meninggal. Mungkin karena alasan ini juga Nenek kecewa ketika aku ingin menghilangkan kue apem dari daftar snack.
Singkat cerita, berbekal resep apem yang kupelajari dari Mbah Kati, kuberanikan membuatnya sendiri. Hingga aroma kelapa bakar berhasil memancing Nenek untuk menyusulku ke dapur. Tak banyak bicara, Nenek duduk di kursi malasnya seperti kemarin sambil memindai pergerakanku dengan matanya. Sejujurnya aku merasa gugup, takut jika harus gagal lagi. Dengan jari bergetar, kusodorkan sekeping apem yang baru saja matang pada Nenek, aku tak berani mencicipinya sendiri. Nenek menerima dan perlahan menggigitnya ragu-ragu. Tiba-tiba saja rinai hujan dari mata Nenek berjatuhan bersama gerakan mulutnya, bahunya berguncang hebat. Aku sungguh patah harapan.
"Kakekmu, Kakekmu ada di sini, Nduk ...."
Sontak aku berhambur memeluk Nenek. Seolah berton-ton batu baru saja terangkat dari dadaku. Apem selegit wingko babat berhasil kubuat, bahkan bersama kenangannya.
"Ampuni aku, Tuhan ... Takkan kusakiti lagi hati Nenekku," jeritku dalam hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H