Mohon tunggu...
iis kristia W
iis kristia W Mohon Tunggu... Guru - Call me Aisya

Selalu belajar memanusiakan manusia....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Fiksi Kuliner) Apem Kenangan

20 November 2022   16:53 Diperbarui: 20 November 2022   17:03 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Kedatangan kami disambut hangat, bahkan kamar untuk menginap juga dipersiapkan. Lalu, saat berbincang-bincang dengan tidak sabar kuberanikan diri menyampaikan maksud hati, "Mbok bilih dahang ing penggalih, kulo bade mangertos coronipun ndamel apem, Mbah." (Apa bila berkenan, saya ingin belajar cara membuat apem, Mbah). Mbah Kati tersenyum ramah, lalu mengajak kami ke belakang rumah menyusuri lorong yang pagarnya dipenuhi daun sirih serta pandan wangi. Saat sampai di ujung lorong, bangunan klasik berbilik bambu menyambut kami. Mbah Kati menjelaskan bahwa bangunan itu adalah Pawon (dapur) yang membuatnya betah berlama-lama singgah di dalamnya, membuat aneka hidangan pesanan. Sebelum masuk, Fitri mencuci tangan dan kakinya di padasan (penampung air tempo dulu yang terbuat dari tembikar). Aku mengikuti apa yang dilakukan Fitri tanpa banyak bertanya.

Dapur Mbah Kati cukup luas dan bersih. Lantainya terbuat dari plesteran semen yang terasa dingin di kaki. Namun, hal yang membuatku takjub adalah tungku tradisional yang berbahan tanah. Seperti mulut goa yang besar dan kokoh. Dengan semangat membara kupindai gerak-gerik Mbah Kati yang lincah. Mula-mula dikeluarkannya baskom besar, lalu tepung beras seberat 1,5 kg dituangkan ke dalamnya. Kemudian disusul 1,5 liter air kelapa hangat, tak lupa 200 gram tape singkong turut dimasukkan. Mbah Kati telaten mengaduk semua bahan sampai tercampur rata, lalu menutup baskom itu dengan nampan. Mbah Kati bilang, selayaknya manusia adonan apem juga butuh istirahat. Lalu, kamipun tidur.

Pagi-pagi sekali kami berkumpul lagi di dapur, adonan yang semalam beristirahat kini mengembang dua kali lipat. Ajaib! Bahkan tanpa perlu ragi instan. Fitri tampak terheran-heran sepertiku. Namun, tangannya masih lincah memarut dua butir kelapa muda. Sementara aku menimbang 750 gram gula pasir. Kedua bahan yang berada di tangan kami kemudian disatukan ke dalam adonan. Aku dan Fitri duduk di depan tungku, menghangatkan tangan yang sedikit berkerut karena dingin. Sedangkan Mbah Kati sibuk menuang adonan apem ke dalam loyang yang berada di atas tungku yang menyala. 

Sambil sesekali meniup api, mengalirlah cerita dari Mbah Kati tentang sejarah apem. Bahwasanya Ki Ageng Gribig, keturunan Sunan Gresik yang pertama kali membawa kue apem sepulang dari tanah suci. Kata apem sendiri berasal dari bahasa Arab afuan/afuwwun yang berarti "ampun". Tetapi orang Jawa sedikit kesulitan menyebutnya, sehingga muncullah kata "apem". Hingga sampai sekarang masyarakat Jawa masih melestarikan tradisi membuat kue apem dalam berbagai acara. Tujuannya juga bermacam-macam, jika apem dibuat untuk acara syukuran, apem sebagai simbol rasa terimakasih atas karunia Tuhan. Jika untuk tahlilan, maka apem sebagai simbol permohonan maaf atas dosa-dosa orang yang meninggal. Mungkin karena alasan ini juga Nenek kecewa ketika aku ingin menghilangkan kue apem dari daftar snack.

Singkat cerita, berbekal resep apem yang kupelajari dari Mbah Kati, kuberanikan membuatnya sendiri. Hingga aroma kelapa bakar berhasil memancing Nenek untuk menyusulku ke dapur. Tak banyak bicara, Nenek duduk di kursi malasnya seperti kemarin sambil memindai pergerakanku dengan matanya. Sejujurnya aku merasa gugup, takut jika harus gagal lagi. Dengan jari bergetar, kusodorkan sekeping apem yang baru saja matang pada Nenek, aku tak berani mencicipinya sendiri. Nenek menerima dan perlahan menggigitnya ragu-ragu. Tiba-tiba saja rinai hujan dari mata Nenek berjatuhan bersama gerakan mulutnya, bahunya berguncang hebat. Aku sungguh patah harapan.


"Kakekmu, Kakekmu ada di sini, Nduk ...."


Sontak aku berhambur memeluk Nenek. Seolah berton-ton batu baru saja terangkat dari dadaku. Apem selegit wingko babat berhasil kubuat, bahkan bersama kenangannya.


"Ampuni aku, Tuhan ... Takkan kusakiti lagi hati Nenekku," jeritku dalam hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun