Masyarakat adalah tataran yang paling basis dalam sistem kenegaraan dimana masyarakat bisa sedikit melakukan controlling ke tetangga-tetangganya, melakukan penyampaian aspirasi ataupun nantinya bermuara ke advokasi untuk disampaikan ke pemerintah atau desa setempat.Â
Selain itu, masyarakat juga harus memiliki ilmu ataupun rasa kepedulian tinggi agar jika ada anak berkebutuhan khusus tetap dalam lingkaran kesejahteraan, minimal memberikan semangat atau support lebih.
Tenaga pendidik atau yang masih menyandang mahasiswa yang memiliki fungsi agent of social control untuk senantiasa menambah keilmuannya agar ketika nanti pulang ke kampung halaman masing-masing dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi negara lewat pemberdayaan masyarakat terkhusus untuk sekolah inklusi.Â
Dalam hal ini, pemerintah lewat kemendikbud bisa memperbanyak jurusan yang benar-benar fokus terhadap penanganan masalah pendidikan inklusi, supaya tercipta tenaga-tenaga pendidik yang lebih banyak lagi.
Elemen yang menjadi sorotan penting tentu adalah pemerintahan, mulai dari pemerintah desa yang harus mengetahui kondisi nyata warga yang menyandang disabilitas dan mencari solusi bersama akan permasalah tersebut.Â
Pemerintah juga harus mendata secara valid dan menyediakan beasiswa kepada penyandang disabilitas khususnya pada yang keadaan ekonominya kurang mampu, sehingga mendapatkan pendidikan yang layak dan sama dengan anak-anak lainnya. Â
Mengaca dari sumber-sumber yang ada, terdapat beberapa hambatan ataupun permasalahan pendidikan inklusi di Indonesia. Sehingga Indonesia masih berada di peringkat ke 58 dari 130 negara dan mengalami kemerosotan menjadi peringkat ke 71 pada tahun 2009.Â
Ada beberapa hambatan atau permasalahan di masing-masing sektor. Data ini diambil dari jurnal penelitian Nissa Tarnoto (2016) Fakultas Psychology Universitas Ahmad Dahlan.
Pertama adalah tenaga pendidik, permasalahan - permasalahan yang muncul terkait tenaga pendidik berdasarkan kategori  yang muncul, terdapat sepuluh kategori permasalahan yang diungkapkan guru. Permasalahan utama yang banyak dikeluhkan guru adalah kurangnya Guru Pendamping Kelas (GPK) sebesar 27,39%, kurangnya kompetensi guru dalam menangani ABK sebanyak 19,64%, guru kesulitan dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) sebanyak 17,86%, kurangnya pemahaman guru tentang ABK dan Sekolah Inklusi sebanyak 16,67%, latar belakang pendidikan guru yang tidak sesuai sebanyak 5,95%, beban administrasi yang semakin berat untuk guru sebanyak 5,36%, kurangnya kesabaran guru dalam menghadapi ABK sebanyak 2,39%, dan terakhir guru mengalami kesulitan dengan orangtua sebanyak 1,78%.
Kedua orangtua, permasalahan-permasalahan yang muncul terkait orangtua yang paling banyak dikeluhkan oleh guru adalah kepedulian orangtua terhadap penanganan ABK kurang (47,27%), selanjutnya permasalahan yang muncul adalah pemahaman orangtua tentang ABK kurang (41,21%), orangtua merasa malu sehingga menginginkan anaknya disekolah umum (3,64%), toleransi dari orangtua siswa reguler terhadap ABK kurang (3,64%), orangtua buta huruf (2,42%), orangtua kurang sabar menangani ABK (1,21%), pengasuhan orangtua tunggal (0,61%).
Ketiga adalah manajemen sekolah, permasalahan-permasalahan yang muncul terkait manajemen sekolah yang dikemukakan oleh guru adalah belum siapnya sekolah dengan program sekolah inklusi baik dari segi administrasi dan SDM (75%), proses KBM yang belum berjalan maksimal (17,86%), dan terakhir permasalahan yang muncul terkait orangtua adalah belum adanya program pertemuan rutin dengan orangtua yang diadakan sekolah (7,14%).
Keempat adalah pemerintah, permasalahan-permasalahan yang muncul terkait pemerintah yang dikemukakan oleh guru adalah perhatian dan kepedulian pemerintah terhadap pelaksanaan sekolah inklusi kurang (24.64%), kebijakan terkait pelaksanaan sekolah inklusi belum jelas (21.74%), belum adanya modifikasi kurikulum khusus sekolah inklusi (20.29%), kurangnya pelatihan tentang pendidikan inklusi kepada guru (18.84%), Perhatian pemerintah terhadap tenaga professional yang mendukung sekolah inklusi kurang baik dari segi jumlah dan kesejahteraannya (10.87%), program yang dilakukan pemerintah belum berkelanjutan (2.90%), belum ada lembaga khusus yang menangani pelatihan pendampingan ABK (0.72%).Â
Kelima adalah masyarakat, permasalahan-permasalahan yang muncul terkait masyarakat yang dikemukakan oleh guru adalah minimnya pengetahuan masyarakat terkait pendidikan inklusi dan ABK (41.76%), pandangan negatif masyarakat terhadap ABK dan sekolah inklusi, Kurangnya dukungan masyarakat terkait pelaksanaan inklusi (24.17%).
Selain data di atas permasalahan ekonomi serta infrastruktur juga menjadi kendala bagi pendidikan inklusif atau permasalahan kesejahteraan tenaga pendidik, sehingga minimnya minat masyarakat untuk menjadi guru di sekolah inklusif. Mengaca dari data yang sudah ada tentu kita semua mempunyai peran penting dapat membantu menyelesaikan permasalahan inklusi ini, demi terwujudnya pemerataan untuk semua anak tanpa membedakan individu satu sama lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H