Setiapkali ada pesta pernikahan ibu selalu menceritakannya padaku. Tak peduli aku mengenal mereka atau tidak. Ibu selalu menyisipkan dongeng dari negeri antah berantah. Cerita tentang pangeran yang baik hati. Pangeran yang mempersunting sanak saudara dan teman-temanku acap kali menjadi perbincangannya.
Tidak hanya sampai di situ, beberapa bulan kemudian dikirimkannya SMS perihal kehamilan mereka. lalu prosesi tujuh bulanan, hingga pada puncaknya prosesi kelahiran anak mereka.
Namun setelah itu, tidak ada lagi yang ia ceritakan. Perempuan-perempuan desa yang kerap ia ceritakan ternyata nasibnya berhujung tragis. Ibu selalu menyensor adegan kebahagiaan sesaat yang kerap diceritakannya. Setelah proses kelahiran sebagian besar mereka bercerai atau suami mereka menikah lagi.
Ibuku tidak berbeda jauh dengan perempuan di desa manapun. Hidupnya hanya sebatas sumur, dapur, dan kasur. Kebahagiaan hanya sebatas memiliki keluarga. Baginya pandemi covid-19 tidaklah lebih mengerikan ketimbang memiliki anak gadis yang belum menikah. Ibu lupa sudah belasan warga yang terkena covid, bahkan beberapa ada yang meninggal. Ibu juga lupa ayah kini kehilangan pekerjaan.
Ayahku tentu sudah tidak muda lagi, tetapi ia tetap memilih bekerja menjadi kuli bangunan. Bukan karena Ayah tidak bisa mencangkul semua sawahnya sudah habis di jual untuk membiayai kuliahku. Baginya pendidikan sangatlah penting meskipun bagi seorang perempuan sekalipun. Ayah yakin suatu saat nanti jika ia tutup usia akulah yang akan menjadi nahkoda bagi ibu dan adik-adikku.
Maka ayah membiarkanku menelusuri ruang dan waktu tanpanya. Belasan tahun aku tinggal di asrama. Hanya pada perayaan hari besar saja kami bisa bertemu itu pun dengan waktu yang sangat singkat. Ayah tidak pernah menunjukan kerinduannya padaku. Ia menjelma menjadi lalaki yang tegar meskipun kerinduan acap kali menghujam di hatinya.
***
“Nduk, telfon ibu kenapa tidak diangkat?”
“Nduk, sedang sibuk ya?”
Entah sudah berapa kali handphoneku berdering. Tak terhitung lagi SMS yang ibu kirimkan padaku. Kali ini aku benar-benar mengabaikannya. Aku tidak cukup kuat menghadapi ibu. Lima menit sekali handphoneku berdering. Tidak lama kemudian disusul dengan sms.
Kekhawatiran ibu sungguh berlebihan. Sejak usiaku mendekati seperempat abad ibuku dihantui kecemasan. Gelar magister pendidikan yang kusandang acap kali menjadi pembuka perdebatan kami. Aku pun enggan membagi kebahagiaan dengan ibu, karena beasiswa S3 yang kudapat tentu akan menjadi jurang pemisah diantara kami.