Mohon tunggu...
Iis Suwartini
Iis Suwartini Mohon Tunggu... Dosen - Dosen PBSI FKIP Universitas Ahmad Dahlan

Iis Suwartini merupakan dosen di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta sejak tahun 2014. Mengajar pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Saat ini sedang menempuh studi S3 pada jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Sebelas Maret (UNS). Penulis aktif menulis kolom opini, cerpen, cerita sejarah dan cerita misteri di beberapa koran.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ningrum

1 Juni 2021   10:12 Diperbarui: 1 Juni 2021   10:58 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Widya Prana Rini / dokpri

Setiapkali ada pesta pernikahan ibu selalu menceritakannya padaku. Tak peduli aku mengenal mereka atau tidak. Ibu selalu menyisipkan dongeng dari negeri antah berantah. Cerita tentang pangeran yang baik hati. Pangeran yang mempersunting sanak saudara dan teman-temanku acap kali menjadi perbincangannya. 

Tidak hanya sampai di situ, beberapa bulan  kemudian dikirimkannya SMS perihal kehamilan mereka. lalu prosesi tujuh bulanan, hingga  pada puncaknya prosesi kelahiran anak mereka. 

Namun setelah itu, tidak ada lagi yang ia ceritakan.  Perempuan-perempuan desa yang kerap ia ceritakan ternyata nasibnya berhujung tragis. Ibu selalu menyensor adegan  kebahagiaan sesaat yang kerap diceritakannya. Setelah proses kelahiran sebagian besar mereka  bercerai atau suami mereka menikah lagi.

Ibuku  tidak berbeda jauh dengan perempuan di desa manapun. Hidupnya hanya sebatas sumur, dapur, dan kasur.  Kebahagiaan hanya sebatas memiliki keluarga. Baginya  pandemi covid-19 tidaklah lebih mengerikan ketimbang memiliki anak gadis yang belum menikah. Ibu lupa sudah belasan warga yang terkena covid, bahkan beberapa ada yang meninggal. Ibu juga lupa ayah kini kehilangan pekerjaan.

Ayahku tentu sudah tidak muda lagi, tetapi ia tetap memilih bekerja menjadi kuli bangunan. Bukan karena Ayah tidak bisa mencangkul semua sawahnya sudah habis di jual untuk membiayai kuliahku. Baginya pendidikan sangatlah penting meskipun bagi seorang perempuan sekalipun. Ayah yakin suatu saat nanti jika ia tutup usia akulah yang akan menjadi nahkoda bagi ibu dan adik-adikku. 

Maka ayah membiarkanku menelusuri ruang  dan waktu tanpanya. Belasan  tahun aku tinggal di asrama. Hanya pada perayaan hari besar saja kami bisa bertemu itu pun dengan waktu yang sangat singkat. Ayah tidak pernah menunjukan kerinduannya padaku. Ia menjelma menjadi lalaki yang tegar meskipun kerinduan acap kali menghujam di hatinya.

***

Nduk, telfon ibu kenapa tidak diangkat?”

Nduk, sedang sibuk ya?”

Entah sudah berapa kali handphoneku berdering. Tak terhitung lagi SMS yang ibu kirimkan padaku. Kali ini aku benar-benar mengabaikannya. Aku tidak cukup kuat menghadapi ibu. Lima menit sekali handphoneku berdering. Tidak lama kemudian  disusul  dengan sms. 

Kekhawatiran ibu sungguh berlebihan. Sejak usiaku mendekati seperempat abad ibuku dihantui kecemasan. Gelar magister pendidikan yang kusandang acap kali menjadi pembuka perdebatan kami. Aku pun enggan membagi kebahagiaan dengan ibu,  karena beasiswa S3 yang kudapat tentu akan menjadi jurang pemisah diantara kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun