Namaku bak cendawan di musim hujan. Beberapa media masa kerap mengabadikan namaku. Namaku bisa menjelma menjadi apa saja yang mereka inginkan. Apapun yang ada dipikiran mereka itulah aku. Ningrum, nama yang disematkan orang tuaku. Kerapkali nama itu berubah-ubah. Tergantung siapa yang memanggilnya. Meskipun begitu bagiku namaku hanyalah Ningrum.
Suatu waktu temanku menanyakan tentang nama penaku. Aku pun hanya bisa menjawab dengan senyuman. Dia begitu heran dengan prinsip hidupku.
Baginya, juga penulis lain menggunakan nama pena merupakan hal yang wajar bukan berarti tidak menghargai pemberian nama orangtua. Tidak ada cukup alasan untuk mengganti namaku. Ningrum memiliki arti “di dalam jiwa” karakter nama Ningrum sangatlah mewakili diriku. Ningrum memiliki karakter pantang menyerah dan memiliki bakat dalam menulis dan seni.
Ada benarnya juga nama adalah sebuah doa. Ternyata ayah sangat menginginkan anaknya pandai menulis maka disematkanlah nama Ningrum. Jadi, tak perlulah aku memiliki nama pena, nama Ningrum sudah sangat berkarakter.
Setiap malam nama Ningrumlah yang selalu disebut Ayah dalam doanya, jadi nama itu sangat berkah bagiku. Akulah Ningrum perempuan desa. Putri pertama dari empat bersaudara. Akuah perempuan yang sedang menabuh gendrang peperangan pada ibu juga perempuan di desa ini.
Akulahlah perempuan yang kerap menjadi pergunjingan banyak orang. Entah apa dosaku pada mereka, selalu namaku yang menjadi buah bibir di desa. Tak bisa barang sehari atau dua hari tak menyebut namaku. Namaku selalu dijadikan pergunjingan. Kadang aku berpikir apa untungnya membicarakanku. Zaman memang sudah berubah, hal yang tak berfaedah pun dapat menghadirkan kebahagiaan. Tak mengapa asalkan ayahku bahagia, aku tak peduli dengan perkataan mereka.
Aku tak habis pikir. Ayahku yang tidak berpendidikan menjadikan namaku begitu keramat. Hanya berbekal jimat dan mantra menjadikanku begitu hebat. Dulu ketika aku duduk di bangku SD. Aku berfikir ayahku seorang dukun yang sakti mandraguna. Aku kerap melihat ayah menggelar ritual. Lima kali dalam sehari ayah membaca mantra sembari menggelengkan kepala sambil memegangi jimat. Ketika aku terbangun tengah malam, ayahpun menggelar ritual yang sama. Aku sangat tertarik dengan jimat yang ayah bawa. Bentuk jimat tersebut nampak seperti kalung.
“Nduk, hidup itu seperti yang kita pikirkan. Ucapan sebagian dari doa. Yakinlah yang kau ucapkan jadi kenyataan."
Kutanamkan perkataan ayah dalam-dalam. Kutuliskan seratus keinginan pada lembaran-lembaran kertas. Ada senyuman lebar di wajah ayah meski semua orang menertawai mimpiku. Kini aku berdiri di sini, membuktikan perkataan ayah. Kuabadikan hidupku pada goresan pena. Mengabadikan setiap sudut kota dengan canda tawa dan tangisnya.
***
“Nduk, Heni sudah bertunangan, bulan depan Laila anak pak lurah menikah, Seruni sekarang sudah punya dua anak.” begitulah isi SMS ibu padaku.