Mohon tunggu...
Ira SagitaDewi
Ira SagitaDewi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mempelajari dan mencoba hal-hal baru

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Book Review: Hukum Kewarisan Islam, Karangan Dr.H. Akhmad Haries, M.S.I

9 Maret 2023   01:00 Diperbarui: 9 Maret 2023   10:45 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BOOK REVIEW

Judul Buku : Hukum Kewarisan Islam (Edisi Revisi)

Penulis : Dr. H. Akhmad Haries, S.Ag., M.S.I

Penerbit : AR-RUZZ Media

Cetakan : Pertama, 2019

Tebal : 130 Halaman

Buku tulisan  Dr. H. Akhmad Haries, S.Ag., M.S.I yang memiliki judul "HUKUM KEWARISAN ISLAM (Edisi Revisi)” mendeskripsikan  Kajian Hukum Kewarisan yang difokuskan pada pembahasan Hukum perkawinan dan kewarisan. Dimulai dari tinjauan tentang Hukum Kewarisan Islam, Macam ahli waris, Penyelesaian warisan, Perhitungan warisan yang menyimpang, Perhitungan waris dalam kasus tertentu, Hukum waris dan wasiat, Kewarisan dalam KHI, dan Gagasan pembaruan warisan. Dengan terciptanya buku ini diharapkan dapat memberikan manfaat khususnya menjadi bahan pembelajaran bagi para akademisi, praktis hukum dan masyarakat umum yang ingin mempelajari setiap kajian Hukum Kewarisan Islam dalam ruang lingkup hukum kewarisan. Hukum Kewarisan Islam dalam kajian fiqh menjadi salah satu disiplin ilmu. Hukum Kewarisan Islam dalam makna yang luas sebagai seluruh Kalamullah dan sabda Rasulullah Saw mencakup perintah dan larangan. Adanya perintah dan larangan tertentu menunjukkan adanya  tata tertib di dalam alam ciptaan-Nya, sehingga Hukum Islam memiliki kajian yang sangat luas seperti hukum perkawinan dan hukum waris.  

Buku yang di review kali ini merupakan buku cetakan pertama pada tahun 2019. Buku ini dicetak pertama oleh penerbit AR-RUZZ Media. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Dr. H. Akhmad Haries, S.Ag., M.S.I mengenai buku ini pada bagian kata pengantar, bahwasannya Penulisan Buku ini dimaksudkan sebagai bahan pembelajaran bagi para akademisi khususnya Fakultas Syariah Dan Hukum, praktisi hukum dan masyarakat umum yang ingin mempelajari setiap kajian Hukum Islam dalam ruang lingkup hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Buku ini sekilas terlihat sederhana namun terdiri dari 8 (delapan) Bab yang berisi 130 halaman. Didalam buku ini menjelaskan secara rinci mengenai hukum kewarisan beserta kutipan-kutipan ayat al-quran. Buku ini ditulis dengan bahasa yang sederhana dan disertasi contoh-contoh pembagiannya dalam kehidupan sehingga pembaca mudah memahami dan mengerti hukum kewarisan islam.

Buku Hukum Kewarisan Islam (Edisi Revisi) ini berisikan tentang gambaran umum hukum kewarisan islam, sumber hukum kewarisan Islam, asas-asas kewarisan, syarat, rukun dan penghalang kewarisan, macam-macam ahli waris dan cara pembagiannya, penyelesaian pembagian warisan apabila ahli waris hanya terdiri dari Ashabul Furudh (penyelesaian dengan cara 'au dan radd), perhitungan pembagian warisan yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku, perhitungan pembagian warisan bagi ahli waris yang mempunyai kasus tertentu, hibah, wasiat, dan wasiat wajibah, kewarisan dalam kompilasi hukum Islam (KH), dan beberapa gagasan pembaharuan dalam pembagian warisan. Yang mana dari setiap Bab terdapat sub-sub bab dan penjelasannya masing-masing.

Pada Bab I, Penulis menyampaikan delapan poin pembahasan mengenai Hukum Islam, yaitu tentang Definisi Kewarisan Islam, Asas Kewarisan, Sistem Kewarisan, Sumber Hukum Kewarisan, Sebab Kewarisan, Rukun Kewarisan, Syarat Kewarisan, dan Penghalang Kewarisan. Penulis menjelaskan bahwasannya yang dimaksud Hukum Islam adalah hukum yang bersumber kepada nilai-nilai keislaman yang dibentuk dari sumber dalil-dalil agama islam. Hal ini berupa ketetapan, kesepakatan, anjuran, larangan dan sebagainya. Aturan-aturan ini menyangkut hubungan antara manusia dengan Allah SWT sebagai Tuhannya, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan hubungan manusia dengan manusia yang lain. Lalu kerangka dasar agama islam yang pertama adalah Akidah, Akidah adalah iman atau kepercayaan yang sumbernya berasal dari Al-Quran.

Gambaran Umum Tentang Hukum Kewarisan, Ilmu faraid atau ilmu mawaris adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal pemindahan harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup baik mengenai harta yang ditinggalkannya, orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan tersebut, bagian masing-masing ahli waris, maupun cara penyelesaian pembagian harta peninggalan itu. Penulis menjelaskan mengenai asas mengenai kewarisan terdapat empat asas yaitu asas ibjari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, dan asas akibat kematian. Sistem kewarisan yang dijelaskan di dalam buku ini yaitu sistem kewarisan individual dan sistem kewarisan bilateral. Sistem kewarisan individual sejalan dengan pembawaan fitrah manusia yang diciptakan Allah secara kodrati suka kepada harta benda, suka memilikinya, bahkan juga kikir dapat disimpulkan jika dengan sistem individual kewarisan kolektif dianggap tidak sesuai dengan ajaran islam, karena cara itu dikhawatirkan akan memakan harta anak yatim yang terdapat dalam harta itu. Sedangkan sistem kewarisan bilateral berarti setiap orang menerima hak kewarisan dari dua belah garis kerabat baik kerabat perempuan maupun laki-laki.Sumber yang dijadikan dasar dalam pembagian warisan adalah Al-Quran, Al-Sunnah, dan ijma' juga ijtihad. Adapun sebab-sebab kewarisan yang dijelaskan oleh penulis yaitu karena adanya hubungan kerabat atau hubungan nasab, karena hubungan perkawinan, dan karena wala' (seorang yang memerdekakan budak).

Di dalam buku ini juga dijelaskan mengenai rukun-rukun kewarisan terdapat tiga yaitu pertama, ahli waris adalah orang yang dihubungkan kepada si mati dengan salah satu sebab-sebab perkawinan. Kedua, pewaris yaitu si mati baik secara hakiki maupun secara hukum dinyatakan telah meninggal. Ketiga, warisan yaitu harta atau hak yang berpindah dari si pewaris kepada ahli waris. Selain rukun terdapat juga syarat kewarisan yaitu Meninggalnya pewaris dengan sebenarnya maupun secara hukum seperti orang yang hilang yang oleh hakim dinyatakan telah meninggal dunia, hidupnya ahli waris setelah kematian si pewaris walaupun secara hukum seperti anak dalam kandungan, dan tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang pewarisan.

Pengahalang-penghalang dalam kewarisan adalah hal yang dapat menggugurkan atau menghilangkan hak seseorang yaitu pembunuhan, pewaris berlainan agama, dan juga perbudakan.
Pada Bab II, Penulis menyampaikan empat poin pembahasan mengenai Macam-macam Ahli Waris Dan Cara Pembagiannya, yaitu Ashabul Furudh, 'Ashabah, Dzawil Arham, dan Ahli Waris yang terjiab. Penulis menjelaskan bahwasannya macam-macam ahli waris dan cara pembagiannya dibagi menjadi empat. Ashabul furudh atau dzawil furudh adalah para ahli waris yang mempunyai bagian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara' (dalam al-Qur'an) yang bagiannya itu tidak akan bertambah atau berkurang kecuali dalam masalah-masalah yang terjadi radd atau 'aul. Para ahli waris ashabul durudh terdapat 12 orang yaitu 8 orang perempuan dan 4 laki-laki. Bagian-bagian yang diterima ahli waris adalah 2/3, 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, dan 1/6.

'Ashabah adalah ahli waris yang mendapatkan harta sisa setelah diambil oleh ahli waris ashab al-furud Sebagai ahli waris penerima bagian sisa, ahli waris 'ashabah terkadang menerima bagian yang banyak (seluruh harta warisan) terkadang menerima bagian sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama sekali, karena telah habis diberikan kepada ashab al-furud. Terdapat tiga macam ashabah, pertama yaitu Ashabah binnafsi, yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima bagian ashabah Ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mutiqah (orang perempuan yang memerdekakan hamba sahaya). Kedua, Ashabah bilghairi, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang telah menerima bagian sisa Apabila ahli waris penerima sisa tidak ada, maka ia tetap menerima bagian tertentu sebagai dzawil furud. Ketiga, Ashabah ma'al ghairi, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang tidak menerima bagian sisa. Apabila ahli waris lain tidak ada, maka ia tetap menerima bagian tertentu sebagai dzawil furud.

Dzawil Arham adalah semua ahli waris yang mempunyai hubungan kekerabatan karena hubungan darah dengan si mati namun tidak berhak menerima bagian selama ahli waris ashabul furudh dan ashabah masih ada. Ahli waris yang termasuk dzawil arham yaitu Cucu (laki-laki atau perempuan) garis perempuan, Anak perempuan dan cucu perempuan saudara laki-laki Anak perempuan dan cucu perempuan saudara-saudara perempuan, Anak perempuan dan cucu perempuan paman,  Paman ibu, Anak dan cucu saudara-saudara laki-laki seibu, Saudara perempuan ayah, Saudara-saudara ibu, Kakek dari garis ibu, Nenek dari pihak kakek.

Ahli waris yang terhijab. Hijab disini berarti ahli waris yang hubungan kerabat jauh, yang terhalang hak-hak kewarisan oleh ahli waris yang lebih dekat. Hijabah terbagi menjadi dua yaitu Hijabah Nuqsan dan Hijabah Hirman. Hijabah nuqsan yaitu menghalangi yang berakibat mengurangi bagian ahli waris yang mahjub, seperti suami, yang seharusnya menerima bagian 1/2, karena bersama sanak laki-laki maupun perempuan, bagiannya terkurangi menjadi 1/4. Sedangkan hijab hirman, yaitu menghalangi secara total, akibatnya hak-hak waris ahli yang termahjub tertutup sama sekali dengan adanya ahli waris yang menghalangi.

Pada Bab III, Penulis menyampaikan dua poin pembahasan mengenai Penyelesaian Pembagian Warisan Apabila Ahli Waris Hanya Terdiri Dari Ashabul Furudh (Penyelesaian Dengan Cara'Aul Dan Radd), yaitu mengenai 'Aul dan Radd. Dalam bab ini penulis menjelaskan bahwa apabila dalam suatu kasus pembagian warisan, ahli warisnya hanya terdiri dari ashabul furudh maka terdapat tiga kemungkinan yang terjadi, yaitu terjadinya kekurangan harta terjadinya kelebihan harta, dan bagian yang diterima ahli waris persis sama dengan harta warisan yang dibagi. Maka dari itu terdapat penjelasan mengenai masalah Aul dan Radd. 'Aul adalah adanya kelebihan jumlah saham daripada asal masalah, dan dengan sendirinya terjadi pengurangan kadar (bagian) para ahli waris. Masalah 'aul merupakan masalah ijtihadiyah. Sebab, tidak ada satu nash baik al-Qur'an maupun hadis) pun yang menerangkan masalah aul dan masalah tersebut belum pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW dan Abu Bakar al-Shiddiq RA. Masalah 'aul ini baru muncul pada masa pemerintahan Umar bin Khattab RA. Masalah 'aul ini dapat diselesaikan dengan menaikkan angka asal masalah sebesar angka jumlah bagian yang diterima ahli waris semula.

Radd adalah suatu masalah atau kasus pewarisan yang jumlah sahamnya lebih kecil daripada asal masalahnya, dan dengan sendirinya, terjadi penambahan kadar (bagian) para ahli waris. Karena pada masalah radd ini ada penambahan kadar kepada para ahli maka pada masalah ini tidak terdapat ahli waris "ashabah. Sebab apabila ada ahli waris "ashabah, maka kelebihan tersebut akan menjadi hak penerimaannya. Terdapat perbedaan pandangan ulama mengenai radd beberapa ulama setuju dengan cara radd namun beberapa tidak setuju. Menurut Jumhur Ulama, raad atau pengembalian sisa harta warisan bisa dilaksanakan hanya terbatas pada ahli waris nasabiyah. Jadi, ahli waris sababiyah suami atau isteri tidak dapat menerima raad. Seperti halnya dengan pandangan sahabat Usman bin 'Affan, raad dapat dilakukan dengan mengembalikan sisa harta warisan kepada semua ahli waris yang ada baik ashabul furudh nasabiyah maupun sababiyah. Pendapat yang menolak raad secara mutlak penyelesaian pembagian warisan dengan cara raad. Demikian pendapat Zaid bin Tsabit dan minoritas ulama lainnya menurut pendapat ini, apabila dalam pembagian warisan terdapat kelebihan harta, tidak perlu dikembalikan kepada ahli waris, tetapi diserahkan kepada baitul mal. Kaum muslimin lah yang berhak memanfaatkannya.

Pada Bab IV, Penulis menyampaikan tiga poin pembahasan mengenai Penghitungan Pembagian Warisan Yang Menyimpang Dari Ketentuan Yang Berlaku, yaitu mengenai Gharrawain, Musyarakah, dan Masalah Kakek Bersama-sama Keluarga. Dalam bab ini penulis menjelaskan bahwa dalam pembagiannya penulis membagi kewarisan yang menyimpang dibagi menjadi tiga yaitu, gharrawain, musyarakah, dan masalah kakek bersama-sama saudara. Yang pertama, yaitu gharrawain berasal dari kata gharra yang artinya menipu dan bentuk ganda dari gharr artinya cemerlang seperti bintang. Contohnya yaitu ayah mendapatkan bagian yang lebih kecil dari ibu (contoh 1), dan mendapat bagian yang hampir sama dengan bagian ibu (contoh 2). Sedangkan apabila tidak ada suami atau isteri, ayah mendapatkan 2/3 dan ibu 1/3, serta adanya ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Maka dalam masalah ini, bagian ibu bukan 1/3. melainkan 1/3 sisa (hulutsul bagi).

Kedua, mengenai musyarakah yang berarti berserikat maksudnya serikat antara 2 orang atau lebih dalam sesuatu hal atau urusan. warisan terdapat suatu kejadian bahwa saudara-saudara sekandung (tunggal atau jamak) sebagai ahli waris "ashabah tidak mendapatkan bagian harta sedikitpun karena telah dihabiskan oleh ahli waris ashabul furudh yang di antaranya adalah saudara-saudara seibu. Misalnya, seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari suami, ibu, 2 saudara seibu dan 2 saudara sekandung. Penyelesaian masalah musyarakah menggunakan langkah dari Umar yang memberi bagian dengan cara berbagi sama (musyarakah) kepada saudara-saudara sekandung bersama saudara-saudara seibu kemudian diikuti oleh Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Ishaq ibn Rahawaih Mereka mengemukakan alasan bahwa bahwa bagian saudara-saudara sekandung itu identik dengan bagian saudara-saudara seibu, disebabkan adanya persamaan jurusan dan kekerabatan. Karena itu tidak logis sekiranya saudara-saudara yang hanya seibu dapat menggugurkan bagian saudara- saudara sekandung.

Yang ketiga, yaitu masalah kakek bersama-sama saudara, para ulama sepakat bahwa bapak dapat menghijab (menghalangi) saudara sekandung, seayah, dan seibu. Tetapi kakek dari garis ayah (al-jadd al-sahihi) ketika bersama dengan saudara-saudara, diperselisihkan oleh para ulama, meskipun dalam keadaan tertentu menempati kedudukan bapak. Dalam hal ini kakek hanya bisa menghalangi saudara seibu, sementara terhadap saudara sekandung atau seayah, juga ada perbedaan pendapat. Abu Bakar Ash Shiddiq, Ibn Abbas, Ibn Umar al-Hasan, Ibn Sirin dan Abu Hanifah berpendapat bahwa kedudukan kakek jika tidak ada bapak adalah sama dengan kedudukan bapak. Oleh karena itu, kakek juga dapat menghalangi saudara sekandung dan seayah secara mutlak. Pendapat ini juga didukung oleh Abu Tsaur, al-Muzany, ibn Suraij dari mazhab Syafriyah, dan Dawud al-Zahiri. Namun All ibn Abi Thalib, Ibn Mas'ud, Zaid ibn Tsabit dan beberapa Sahabat lain berpendapat bahwa kakek hanya dapat menghijab saudara-saudara seibu. tetapi tidak dapat menghijab saudara-saudara sekandung dan saudara- saudara seayah. Mereka beralasan bahwa status kakek dan saudara-saudara setaraf dan oleh sebab itu saudara-saudara dapat mewarisi bersama kakek.

Dalam Bab V, penulis menyampaikan lima poin pembahasan mengenai Perhitungan Pembagian Kewarisan Bagi Ahli Waris Yang Mempunyai Kasus Tertentu, yaitu tentang Kewarisan Anak Dalam Kandungan, Kewarisan Anak Zina dan Anak Li'an, Kewarisan Orang Benci, Kewarisan Orang Hilang, dan Munasakhah. Menurut penulis anak di dalam kandungan dapat mendapatkan warisan apabila orang yang mewariskan meninggal, ia sudah berwujud dalam kandungan dan dilahirkan dalam keadaan hidup. Untuk menentukan bagian yang diperoleh bayi di dalam kandungan maka dengan memberi bagian yang lebih menguntungkan dari perkiraan-perkiraan jenis kelamin bayi, dan bila mungkin juga ada perkiraan bayi akan lahir tunggal atau kembar. Sebaiknya, jika ada kelebihan dari yang harus diterima, dapat dibagikan kepada ahli waris lainnya menurut ketentuan hukum yang berlaku demikianlah kesepakatan para ulama.
Selanjutnya mengenai pembagian waris anak zina dan anak li'an. Anak zina dalam kewarisan adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut ketentuan agama. Anak zina tidak dapat mewarisi harta ayahnya, karena status hukumnya tidak ada hubungan nasab di antara mereka. Anak zina hanya dapat mewarisi harta peninggalan ibunya dan saudara seibu. Sedangkan anak li'an merupakan anak yang disumpah oleh ayahnya yang menuduh isterinya berbuat zina. Menurut pasal 162 Kompilasi Hukum Islam bilamana li'an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya, dan anak yang dikandung dinasabkan pada ibunya, sedangkan suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.

Penulis mejelaskan mengenai kewarisan bagi khuntsa atau banci yaitu khuntsa musykil diberikan bagian terkecil dari dua perkiraan (laki-laki atau perempuan), dan bagian terbesar diberikan kepada ahli waris yang lain. Selain itu juga terdapat pembahasan mengenai kewarisan orang hilang (Al-Mafqud) yaitu orang yang tidak diketahui kabar beritanya karena telah meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak diketahui pula apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia maka dapat diketahui dengan berdasar bukti-bukti autentik yang diterima secara syar'i dan berdasarkan batas waktu lamanya kepergian al-mafqud. Selanjutnya mengenai munasakhah dalam hal harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia dan belum dibagikan kepada ahli warisnya, kemudian di antara ahli waris tersebut ada yang meninggal dunia, maka pembagian harta peninggalannya dapat dilakukan sekaligus dengan cara memindahkan atau memberikan bagian penerimaan harta peninggalan ahli waris yang meninggal tersebut kepada para ahli warisnya.

Dalam Bab VI, penulis menyampaikan tiga poin pembahasan mengenai Hibah, Wasiat, Dan Wasiat Wajibah. Menurut penulis Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Terdapat pandangan dari Sayid Sabiq, hibah ialah suatu akad yang isinya memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa balasan. Dasar hukum dari Hibah yaitu suah al-Baqarah ayat 62 dan surah al-Munafiqun ayat 10. Sedangkan rukun hibah yaitu; adanya orang yang menghibahkan, adanya orang yang menerima hibah, dan adanya pemberi hibah.
Penulis mengartikan Wasiat sebagai pesan seseorang kepada orang lain untuk mengurusi hartanya sesuai dengan pesannya itu sepeninggalnya. Jadi, wasiat merupakan tasaruf terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan setelah meninggalnya orang yang berwasiat, dan berlaku setelah orang yang berwasiat itu meninggal. Dasar hukum wasiat adalah surah al-Baqarah ayat 180 dan surah al-Maidah ayat 106. Wasiata dapat dilakukan secara tertulis maupun mendatangkan 2 orang saksi laki-laki yang adil. Dalam ketentuannya wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 harta yang dimiliki oleh orang yang berwasiat, dan juga wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris yang sudah mendapat bagian yang cukup.

Sedangkan Wasiat wajibah adalah suatu tindakan pembebanan oleh hakim atau lembaga yang mempunyai hak agar harta seseorang yang telah meninggal dunia tetapi tidak melakukan wasiat secara sukarela, agar diambil hak atau benda peninggalannya untuk diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula. Dalam hal ini dibatasi pemberian wasiat wajibah pada anak angkat atau orang tua angkat. Pembatasan ini dilakukan, karena Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah mengakomodasi konsep penggantian kedudukan (plaatvervullings) sebagai alternatif pemberian bagian kepada cucu laki-laki atau perempuan yang terhalang karena orang tuanya meninggal terlebih dahulu daripada si pewaris, dengan ketentuan bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang diganti.
Dalam Bab VII, penulis menyampaikan mengenai Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Hukum kewarisan sebagaimana yang diatur dalam KHI di Indonesia, pada dasarnya merupakan hukum kewarisan yang diangkat dari para Jumhur Fuqaha. Dalam buku ini terdapat beberapa ketentuan pengecualian hukum kewarisan yaitu yang pertama, mengenai anak atau orang tua angkat dalam ketentuan hukum waris, menurut jumhur Fuqaha, anak angkat tidak saling mewaris dengan orang tua angkatnya. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KH) di Indonesia, perihal anak atau orang tua angkat ini diatur bagiannya sebagaimana ahli waris lainnya.

Kedua, mengenai bagian ayah menurut jumhur ulama 1/6 bagian apabila pewaris meninggalkan far ul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki garis laki-laki, dan cucu perempuan garis laki-laki), 1/6 bagian ditambah sisa apabila pewaris meninggalkan far ul waris, tetapi tidak ada far ul war laki-laki (anak laki-laki atau cucu laki-laki garis laki-laki), dan menerima ashabah (sisa) apabila pewaris tidak meninggalkan far ul waris. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), bagian ayah apabila pewaris tidak meninggalkan far'ul waris adalah 1/3 bagian.

Ketiga, mengenai dzawil arham Pasal pasal dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia tidak menjelaskan tentang keberadaan dan bagian penerimaan ahli waris dzaw arham Pertimbangannya, mungkin, karena dalam kehidupan sekarang ini keberadaan dzawil arham jarang terjadi atau tidak sejalan dengan ide dasar hukum warisan. Padahal, mengenai pewarisan dzawil arham ini sudah menjadi kesepakatan Jumhur Fuqaha.

Keempat, Mengenai radd dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia mengikuti pendapat Usman bin Affan yang menyatakan bahwa apabila dalam pembagian terjadi kelebihan harta, maka kelebihan tersebut dikembalikan kepada seluruh ahli waris, tanpa terkecuali.
Kelima, wasiat wajibah dan ahli waris pengganti ketentuan wasiat wajibah kepada ahli waris yang orang tuanya telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris, pada hakikatnya, diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia.
Keenam, pengertian walad Dalam menafsirkan kata kata walad pada ayat 176 Surah al-Nisa, Kompilasi Hukum Islam (KH) di Indonesia, agaknya, mengambil pendapat Ibnu Abb yang berpendapat, pengertiannya mencakup baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Karenanya, selama masih ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka hak waris dari orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris, kecuali orang tua, suami atau isteri, menjadi terhijab.

Dalam Bab VIII yang merupakan Bab terakhir dalam buku ini, penulis menyampaikan tiga poin pembahasan mengenai Beberapa Gagasan Pembaruan Dalam Pembagian Warisan, yaitu Pelaksanaan Hibah, Pembagian Waris Berdasarkan Musyawarah Berdasarkan Musyawarah dan Mufakat (suluh), dan Pembagian Harta Bersama. Mengenai beberapa gagasan pembaruan dalam pembagian warisan, penulis menjelaskan menurut pandangan dari Sayid Sabiq bahwa hibah merupakan akad yang didalamnya memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa mengharapkan balasan. Namun di dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan jika hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan, dari seseorang untuk diberikan kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Yang jelas, pemberian hibah jangan sampai dilakukan untuk menghijab atau menghalangi bagian salah satu ahli waris, yang apabila pewaris meninggal dunia, sebenarnya ia mendapatkan warisan, tetapi karena sudah dihibahkan pewaris kepada ahli waris lain semasa hidupnya, maka ia tidak mendapatkan apa-apa.
Dalam Bab ini juga terdapat pembagian waris yang dilakukan berdasarkan musyawarah dan mufakat (suluh). Penulis menjelaskan bahwa secara normatif pembagian waris hanya bisa dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tertera secara konkrit dalam al-Quran dan al-Sunah. Namun, dalam kenyataannya, musyawarah dan mufakat sering dilakukan karena tidak akan ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Terdapat dua syarat dalam pembagian warisan secara musyawarah, yaitu keharusan adanya kecakapan bertindak secara hukum dari pihak-pihak yang terlibat dalam pembagian waris dan dilakukan bukan karena tidak puas terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ada berdasarkan hukum kewarisan islam.

Setelah membaca isi buku tersebut maka buku ini dapat ditarik kesimpulan yang mana Hukum Kewarisan Islam mengatur setiap hukum pembagian warisan kehidupan manusia di indonesia. Pembagian warisan dalam agama Islam juga ada hukumnya. Hukum tersebut disusun agar pembagian warisan adil. Adapun dalam pengertian umum, Hukum Kewarisan Islam hukum itu diartikan sebagai norma hukum yang berhubungan dengan hukum keluarga Islam. Dijelaskan bagaimana mengenai pembahasan tentang hukum kewarisan islam secara lengkap membahas tentang syarat-syarat, macam-macam ahli waris, perhitungan warisan, sampai pada cara pembagian warisan. Selain itu, di dalam buku ini juga dicontohkan kasus perhitungan pembagian warisan yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku serta perhitungan pembagian warisan bagi ahli waris yang mempunyai kasus tertentu.

Terkesan dalam pemaparan buku "Hukum Kewarisan Islam (edisi revisi)" ini, penulis menyampaikan secara jelas dan lengkap, dan mudah dipahami. Hal ini dapat dilihat dari daftar isinya yang disusun dengan baik. Penulis pun menggunakan kalimat yang mudah di mengerti tetapi tidak mengurangi nilai yang terkandung. Tetapi penulis banyak membahas hal yang sudah dijelaskan membuat pembaca sedikit bingung. Mungkin hal ini bisa dijadikan saran untuk penulisan buku selanjutnya.

Alasan saya memilih buku ini untuk direview adalah karena buku ini berisi mengenai pembahasan tentang hukum kewarisan islam secara lengkap.  Buku ini membahas tentang syarat-syarat, macam-macam ahli waris, perhitungan warisan, sampai pada cara pembagian warisan. Selain itu, di dalam buku ini juga dicontohkan kasus perhitungan pembagian warisan yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku serta perhitungan pembagian warisan bagi ahli waris yang mempunyai kasus tertentu. Disusun dengan bahasa yang mudah dipahami, buku ini cocok sebagai referensi bagi para pejabat yang berada di lingkungan Departemen Agama serta para pejabat yang berada di lingkungan Pengadilan Agama. Bagi Anda mahasiswa atau masyarakat umum yang ingin mendalami atau belajar tentang Hukum ke warisan Islam, buku ini juga cocok sebagai referensi dan pengetahuan. Dengan adanya buku ini, warisan dapat dibagi dengan adil dan tentu saja sesuai dengan hukum kewarisan Islam. (Ira Sagita Dewi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun