Di dalam buku ini juga dijelaskan mengenai rukun-rukun kewarisan terdapat tiga yaitu pertama, ahli waris adalah orang yang dihubungkan kepada si mati dengan salah satu sebab-sebab perkawinan. Kedua, pewaris yaitu si mati baik secara hakiki maupun secara hukum dinyatakan telah meninggal. Ketiga, warisan yaitu harta atau hak yang berpindah dari si pewaris kepada ahli waris. Selain rukun terdapat juga syarat kewarisan yaitu Meninggalnya pewaris dengan sebenarnya maupun secara hukum seperti orang yang hilang yang oleh hakim dinyatakan telah meninggal dunia, hidupnya ahli waris setelah kematian si pewaris walaupun secara hukum seperti anak dalam kandungan, dan tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang pewarisan.
Pengahalang-penghalang dalam kewarisan adalah hal yang dapat menggugurkan atau menghilangkan hak seseorang yaitu pembunuhan, pewaris berlainan agama, dan juga perbudakan.
Pada Bab II, Penulis menyampaikan empat poin pembahasan mengenai Macam-macam Ahli Waris Dan Cara Pembagiannya, yaitu Ashabul Furudh, 'Ashabah, Dzawil Arham, dan Ahli Waris yang terjiab. Penulis menjelaskan bahwasannya macam-macam ahli waris dan cara pembagiannya dibagi menjadi empat. Ashabul furudh atau dzawil furudh adalah para ahli waris yang mempunyai bagian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara' (dalam al-Qur'an) yang bagiannya itu tidak akan bertambah atau berkurang kecuali dalam masalah-masalah yang terjadi radd atau 'aul. Para ahli waris ashabul durudh terdapat 12 orang yaitu 8 orang perempuan dan 4 laki-laki. Bagian-bagian yang diterima ahli waris adalah 2/3, 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, dan 1/6.
'Ashabah adalah ahli waris yang mendapatkan harta sisa setelah diambil oleh ahli waris ashab al-furud Sebagai ahli waris penerima bagian sisa, ahli waris 'ashabah terkadang menerima bagian yang banyak (seluruh harta warisan) terkadang menerima bagian sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama sekali, karena telah habis diberikan kepada ashab al-furud. Terdapat tiga macam ashabah, pertama yaitu Ashabah binnafsi, yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima bagian ashabah Ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mutiqah (orang perempuan yang memerdekakan hamba sahaya). Kedua, Ashabah bilghairi, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang telah menerima bagian sisa Apabila ahli waris penerima sisa tidak ada, maka ia tetap menerima bagian tertentu sebagai dzawil furud. Ketiga, Ashabah ma'al ghairi, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang tidak menerima bagian sisa. Apabila ahli waris lain tidak ada, maka ia tetap menerima bagian tertentu sebagai dzawil furud.
Dzawil Arham adalah semua ahli waris yang mempunyai hubungan kekerabatan karena hubungan darah dengan si mati namun tidak berhak menerima bagian selama ahli waris ashabul furudh dan ashabah masih ada. Ahli waris yang termasuk dzawil arham yaitu Cucu (laki-laki atau perempuan) garis perempuan, Anak perempuan dan cucu perempuan saudara laki-laki Anak perempuan dan cucu perempuan saudara-saudara perempuan, Anak perempuan dan cucu perempuan paman, Â Paman ibu, Anak dan cucu saudara-saudara laki-laki seibu, Saudara perempuan ayah, Saudara-saudara ibu, Kakek dari garis ibu, Nenek dari pihak kakek.
Ahli waris yang terhijab. Hijab disini berarti ahli waris yang hubungan kerabat jauh, yang terhalang hak-hak kewarisan oleh ahli waris yang lebih dekat. Hijabah terbagi menjadi dua yaitu Hijabah Nuqsan dan Hijabah Hirman. Hijabah nuqsan yaitu menghalangi yang berakibat mengurangi bagian ahli waris yang mahjub, seperti suami, yang seharusnya menerima bagian 1/2, karena bersama sanak laki-laki maupun perempuan, bagiannya terkurangi menjadi 1/4. Sedangkan hijab hirman, yaitu menghalangi secara total, akibatnya hak-hak waris ahli yang termahjub tertutup sama sekali dengan adanya ahli waris yang menghalangi.
Pada Bab III, Penulis menyampaikan dua poin pembahasan mengenai Penyelesaian Pembagian Warisan Apabila Ahli Waris Hanya Terdiri Dari Ashabul Furudh (Penyelesaian Dengan Cara'Aul Dan Radd), yaitu mengenai 'Aul dan Radd. Dalam bab ini penulis menjelaskan bahwa apabila dalam suatu kasus pembagian warisan, ahli warisnya hanya terdiri dari ashabul furudh maka terdapat tiga kemungkinan yang terjadi, yaitu terjadinya kekurangan harta terjadinya kelebihan harta, dan bagian yang diterima ahli waris persis sama dengan harta warisan yang dibagi. Maka dari itu terdapat penjelasan mengenai masalah Aul dan Radd. 'Aul adalah adanya kelebihan jumlah saham daripada asal masalah, dan dengan sendirinya terjadi pengurangan kadar (bagian) para ahli waris. Masalah 'aul merupakan masalah ijtihadiyah. Sebab, tidak ada satu nash baik al-Qur'an maupun hadis) pun yang menerangkan masalah aul dan masalah tersebut belum pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW dan Abu Bakar al-Shiddiq RA. Masalah 'aul ini baru muncul pada masa pemerintahan Umar bin Khattab RA. Masalah 'aul ini dapat diselesaikan dengan menaikkan angka asal masalah sebesar angka jumlah bagian yang diterima ahli waris semula.
Radd adalah suatu masalah atau kasus pewarisan yang jumlah sahamnya lebih kecil daripada asal masalahnya, dan dengan sendirinya, terjadi penambahan kadar (bagian) para ahli waris. Karena pada masalah radd ini ada penambahan kadar kepada para ahli maka pada masalah ini tidak terdapat ahli waris "ashabah. Sebab apabila ada ahli waris "ashabah, maka kelebihan tersebut akan menjadi hak penerimaannya. Terdapat perbedaan pandangan ulama mengenai radd beberapa ulama setuju dengan cara radd namun beberapa tidak setuju. Menurut Jumhur Ulama, raad atau pengembalian sisa harta warisan bisa dilaksanakan hanya terbatas pada ahli waris nasabiyah. Jadi, ahli waris sababiyah suami atau isteri tidak dapat menerima raad. Seperti halnya dengan pandangan sahabat Usman bin 'Affan, raad dapat dilakukan dengan mengembalikan sisa harta warisan kepada semua ahli waris yang ada baik ashabul furudh nasabiyah maupun sababiyah. Pendapat yang menolak raad secara mutlak penyelesaian pembagian warisan dengan cara raad. Demikian pendapat Zaid bin Tsabit dan minoritas ulama lainnya menurut pendapat ini, apabila dalam pembagian warisan terdapat kelebihan harta, tidak perlu dikembalikan kepada ahli waris, tetapi diserahkan kepada baitul mal. Kaum muslimin lah yang berhak memanfaatkannya.
Pada Bab IV, Penulis menyampaikan tiga poin pembahasan mengenai Penghitungan Pembagian Warisan Yang Menyimpang Dari Ketentuan Yang Berlaku, yaitu mengenai Gharrawain, Musyarakah, dan Masalah Kakek Bersama-sama Keluarga. Dalam bab ini penulis menjelaskan bahwa dalam pembagiannya penulis membagi kewarisan yang menyimpang dibagi menjadi tiga yaitu, gharrawain, musyarakah, dan masalah kakek bersama-sama saudara. Yang pertama, yaitu gharrawain berasal dari kata gharra yang artinya menipu dan bentuk ganda dari gharr artinya cemerlang seperti bintang. Contohnya yaitu ayah mendapatkan bagian yang lebih kecil dari ibu (contoh 1), dan mendapat bagian yang hampir sama dengan bagian ibu (contoh 2). Sedangkan apabila tidak ada suami atau isteri, ayah mendapatkan 2/3 dan ibu 1/3, serta adanya ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Maka dalam masalah ini, bagian ibu bukan 1/3. melainkan 1/3 sisa (hulutsul bagi).
Kedua, mengenai musyarakah yang berarti berserikat maksudnya serikat antara 2 orang atau lebih dalam sesuatu hal atau urusan. warisan terdapat suatu kejadian bahwa saudara-saudara sekandung (tunggal atau jamak) sebagai ahli waris "ashabah tidak mendapatkan bagian harta sedikitpun karena telah dihabiskan oleh ahli waris ashabul furudh yang di antaranya adalah saudara-saudara seibu. Misalnya, seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari suami, ibu, 2 saudara seibu dan 2 saudara sekandung. Penyelesaian masalah musyarakah menggunakan langkah dari Umar yang memberi bagian dengan cara berbagi sama (musyarakah) kepada saudara-saudara sekandung bersama saudara-saudara seibu kemudian diikuti oleh Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Ishaq ibn Rahawaih Mereka mengemukakan alasan bahwa bahwa bagian saudara-saudara sekandung itu identik dengan bagian saudara-saudara seibu, disebabkan adanya persamaan jurusan dan kekerabatan. Karena itu tidak logis sekiranya saudara-saudara yang hanya seibu dapat menggugurkan bagian saudara- saudara sekandung.
Yang ketiga, yaitu masalah kakek bersama-sama saudara, para ulama sepakat bahwa bapak dapat menghijab (menghalangi) saudara sekandung, seayah, dan seibu. Tetapi kakek dari garis ayah (al-jadd al-sahihi) ketika bersama dengan saudara-saudara, diperselisihkan oleh para ulama, meskipun dalam keadaan tertentu menempati kedudukan bapak. Dalam hal ini kakek hanya bisa menghalangi saudara seibu, sementara terhadap saudara sekandung atau seayah, juga ada perbedaan pendapat. Abu Bakar Ash Shiddiq, Ibn Abbas, Ibn Umar al-Hasan, Ibn Sirin dan Abu Hanifah berpendapat bahwa kedudukan kakek jika tidak ada bapak adalah sama dengan kedudukan bapak. Oleh karena itu, kakek juga dapat menghalangi saudara sekandung dan seayah secara mutlak. Pendapat ini juga didukung oleh Abu Tsaur, al-Muzany, ibn Suraij dari mazhab Syafriyah, dan Dawud al-Zahiri. Namun All ibn Abi Thalib, Ibn Mas'ud, Zaid ibn Tsabit dan beberapa Sahabat lain berpendapat bahwa kakek hanya dapat menghijab saudara-saudara seibu. tetapi tidak dapat menghijab saudara-saudara sekandung dan saudara- saudara seayah. Mereka beralasan bahwa status kakek dan saudara-saudara setaraf dan oleh sebab itu saudara-saudara dapat mewarisi bersama kakek.
Dalam Bab V, penulis menyampaikan lima poin pembahasan mengenai Perhitungan Pembagian Kewarisan Bagi Ahli Waris Yang Mempunyai Kasus Tertentu, yaitu tentang Kewarisan Anak Dalam Kandungan, Kewarisan Anak Zina dan Anak Li'an, Kewarisan Orang Benci, Kewarisan Orang Hilang, dan Munasakhah. Menurut penulis anak di dalam kandungan dapat mendapatkan warisan apabila orang yang mewariskan meninggal, ia sudah berwujud dalam kandungan dan dilahirkan dalam keadaan hidup. Untuk menentukan bagian yang diperoleh bayi di dalam kandungan maka dengan memberi bagian yang lebih menguntungkan dari perkiraan-perkiraan jenis kelamin bayi, dan bila mungkin juga ada perkiraan bayi akan lahir tunggal atau kembar. Sebaiknya, jika ada kelebihan dari yang harus diterima, dapat dibagikan kepada ahli waris lainnya menurut ketentuan hukum yang berlaku demikianlah kesepakatan para ulama.
Selanjutnya mengenai pembagian waris anak zina dan anak li'an. Anak zina dalam kewarisan adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut ketentuan agama. Anak zina tidak dapat mewarisi harta ayahnya, karena status hukumnya tidak ada hubungan nasab di antara mereka. Anak zina hanya dapat mewarisi harta peninggalan ibunya dan saudara seibu. Sedangkan anak li'an merupakan anak yang disumpah oleh ayahnya yang menuduh isterinya berbuat zina. Menurut pasal 162 Kompilasi Hukum Islam bilamana li'an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya, dan anak yang dikandung dinasabkan pada ibunya, sedangkan suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.