Juni 2022, satu waktu yang membawamu kepadaku. Lembutnya kehadiranmu waktu itu menyenangkan mata, memberi gairah baru, seperti sepasang katak yang riang bernyanyi kala hujan, atau seperti sungai di kemarau yang melihat awan hitam; Menanti keajaiban nan penuh pengharapan.
Aku tersenyum sendiri saat ini, mereset kembali ingatan setahun lalu. Pertemuan tak pernah disangka yang kelak membawakan kisah diatara kita. Pasca pertemuan pertama itu, betapa keajaiban-keajaiban kecil kerap menghampiri hidup, warna yang sebelumnya sekedar hitam-putih, meski perlahan tapi pasti, menghadirkan aneka ragam sosok warna lainnya. Kamu dan kehadirannya berikan nafas baru pada hidupku.
Chy.., ingatkah kau tentang kenangan ketika hujan turun di bulan juni?, kita duduk berdua beralas ilalang kering, meneduh diri dari derasnya air langit, berbicara tentang cinta yang saat itu masih baru terasa, berharap tentang waktu terindah yang diinginkan, lalu senyum manismu tersungging sambil berkata:
“Aku tahu tentang rasa kita. Menyadari dengan sungguh bahwa telah dilekatkan hati kita berdua pada satu harap yang sama. Tapi apakah dunia akan berikan restunya?, sementara dunia kita saja berbeda.”
“jika suatu hari nanti kita tak dapat bertemu lagi, atau kita sudah tak lagi bersama, biarlah tetap kukenakan beragam persembahanmu disela jemari dan seluruh tubuhku. Tak kan kulipat selimutmu, biar selau menjadi penghangat tubuhku, menjeda air mata yang bisa kupastikan selalu luruh, yang disetiap ulirnya tergambarkan segalamu.”
Mendengar itu, aku hanya tersenyum saja menggodamu, lalu kucoba tatap dua matamu, meyakinkan diri, jika saja kita menggenggam rasa dengan kesungguhan, maka dunia pasti akan berbaik hati tetap menyatukan.
Tetapi yang mesti kau tahu juga, Chy, jauh sekali dalam batas kesadaranku, ketakutan dan kekhawatiran itu lebih meraja disegalaku. Menyadari bahwa dunia yang mengitari kita penuh kesulitan untuk dapat dipersatukan, meskipun juga bukan satu kemustahilan untuk kita dapat memaksakan.
Selepas Juni itu, waktu-waktu kita semakin membahagia. Hampir tak ada jeda bagi kita untuk saling melupa. Semakin jelas tergambar dan tertata rasa itu diantara kita. Menerobos setiap pori dan indera tubuh kita. Menyenangkan, bukan..?.
Setiap lantunan suaramu yang dikirimkan melaui voice note WhatsUp-ku masih utuh. Senang sekali kamu melanggam merdu, menyajikan puja-puji kepada Sang Maha, lantunkan kemeriahan do’a, membawaku mencium aroma Surga. Semuanya masih terjaga, bahkan kadang meriuh di kepalaku. Jika sedang ingin, kuputar berulang hingga tanpa sadar lebih menguatkanku saat ini telah tanpamu.
Lalu di Juni ini setahun setelahnya, Chy.., hujan telah reda. Hidupku menjelma selembar daun rapuh. Ia melemah. Menguning sebab waktu. Mengering dan gugur tak terendus semesta, kemudian menujumu dengan segala kesepiannya.
Tak pernah ada penyesalanku ketika mengenalmu. Semua dan segala tentangmu adalah pelajaran takdir yang merupa getir, pahit, tapi pernah semenyenangkan itu bagiku, tak pernah ingin berhenti mencecap dan dan mengharapkan rasa itu lagi.
Satu-satunya sesalku usai kehilanganmu adalah, kebahagiaan bersamamu kerap kembali sebagai ingatan palsu, membuat jalan kepulangan menuju diri sendiri dipenuhi duri-duri.
Ah.., cukuplah menitipkan kau pada Tuhanmu, Chy, sebagaimana matamu memejam lalu doa-doa memantera dari bibir dan hatimu. Lalu Juni dapat terlewati, meski sesak namun kita tak boleh mati saat ini. Merestulah wahai bumi.
*Mellifluous: Sebuah suara yang lembut dan menyenangkan saat didengar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H