Mohon tunggu...
iip syafrudin
iip syafrudin Mohon Tunggu... Relawan - Warga negara RI. Penikmat pegunungan, matahari senja, pantai dan langit malam penuh Cahaya. Sungguh tak menyukai keributan !.

Hobby travelling, belajar, bekerja, berteman, pecandu kata-kata, puisi, musikalisasi puisi, film dan kesenian lainnya. Bagian dari penyuka physical touch, act of service, quality time dan words of affirmation.

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Resonansi Untukmu Puan Cahaya

27 Mei 2023   17:30 Diperbarui: 31 Mei 2023   10:42 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku memilih mencintaimu dalam kesepian, karena dalam kesepian tak ada yang memilikimu selain aku.
Aku memilih mengagumimu dari jauh, karena jarak akan melindungiku dari luka.
Aku memilih memelukmu dalam mimpi, karena dalam mimpiku kau tak pernah berakhir. ~Jalaludin Rumi~

Tiga bait tulisan dari Rumi diatas membahagiakanku ~meski hanya di hati~ cukup menenangkan, memberi batasan jelas apa yang saat ini dapat kulakukan terhadap kamu, kepada kisah kita.

Meski tak banyak waktu yang pernah dilalui atas nama kisah kita, tapi percayalah, kamu dan segala kenangan yang kita ciptakan berhasil mengukir satu beban yang mengingatnya dapat saja membunuhku. 

Sebegitu lekat dan dalamnya arti kehadiranmu bersama ragam kisah yang kita pernah ciptakan, lalu tetiba mampu membuat seorang diriku ~juga banyak manusia lainnya diluar sana~ terpuruk. 

Betapa berbahayanya perasaan atas nama cinta, atas nama harapan bersama, sehingga mengutuk hari-hari cerah dunia menjadi kelam tak terberkati cahaya.

Sebatas Pernah

Chy, dulu aku begitu api di hadapan kamu yang menjadi kayu, aku terpukau dan melemah. Dalam kuasamu aku pasrah, hendak kau beri nyala, atau menjadikanku bara, hingga sekedar temaram untuk punahkan dingin gelisah saat malam tiba.

Lalu kita menjalani kisah. Tuhan berikan kuasaNya untuk menautkan hati kita serta menggenapi perjalanan jiwa, menjadikan dua anak bumi yang terpilih melewati hari-hari nan gelombang rasa. 

"Kamu tempatku pulang. Aku tempatmu sementara menyembunyikan lelah kehidupan", ucapmu pada satu titik waktu saat kita bersama.

Memandangmu meski terhalang jarak, melihat lakumu walau melalui layar sentuh, mendengar suaramu yang dibisikan melalui loudspeaker alat komunikasi, sungguhlah itu tidak cukup bagiku. 

Selalu ingin menemuimu dalam kesungguhannya bertemu. Meski begitu, seperti yang berulangkali ku ucapkan kepadamu, tak selalu keinginan dapat terwujud. 

Tak serta-merta harapan akan didapatkan saat itu juga. Maka akupun selalu mencoba menambah kadar kesabaran untuk dapat meraihmu dalam peluk ku.

Tulisan dan kata-katamu pun acapkali menambah kesadaranku akan keadaan kita yang realitasnya dipisahkan ruang dan waktu. 

"Everything has its own time. There is a time to meet up, there is a time to separate. There is a time to be happy, there is a time to be upset. Everything has its own time. And just believe one thing, that God has made everything beautiful in its time". 

Chy.., betapa tulisanmu itu bagiku bermakna pengharapan, kepasrahan, kepercayaan, bahwa pada saatnya, kita dan kisahnya akan sampai pada realitas sesuai rencana, harapan dan keinginan besar, yaitu menyatukan dua manusia terpilih untuk membersamakan takdirnya berdua, menikmati kehidupan bersama nantinya.

Gerimis Berujung Badai

Pernahkah merasakan saat kesenangan dan kebahagiaanmu tetiba direnggut paksa?. Dipisahkan dari segala indera kita?. Bagaimana rasanya? 

Sakit lalu merasa lemah tak berdaya. Tak percaya pada keadaan saat itu yang merenggut paksa cinta dari segala harap dan rencana yang perlahan telah dipintal bersama.

Yang terlebih menyakitkan, adalah dia menyadari dan ~sepertinya membiarkan~ keberpisahan kita. Tak kutemukan jejak berontak pada lakunya. 

Tak tercium lagi aroma semangat yang ratusan kali ditulis-ungkapkan dalam setiap pengharapannya: My precious, my own, my love, my hiding place dan ratusan kata serta kalimat lainnya yang menumbuhkan keyakinan dalam setiap laku ku bersamanya. 

Ya, dia memilih pergi bahkan tanpa isyarat dan bahasa yang dapat kubaca sebelumnya.

Selepas dia pergi dari hidupku bersama segala kondisi dan permasalahan yang mengiringinya, maka yang tertinggal dan bisa dilakukan saat ini adalah membiasakan diri. 

Ya, membiasakan diri hidup atas ketiadaannya, membiasakan diri kehilangan bentuk perhatian dan kasih-sayangnya, membiasakan diri untuk tak lagi mencari kontak tlp/WA/Line atau semua media sosialnya. Lalu segera hadir perasaan keterasingan lainnya. Berat kah..?. Berat, sangatlah berat.

Kadang dalam berbagai kondisi, secara tak sadar anggota badan refleks mengotorisasi dia dan keberadaanya. 

Mulut sering refleks menyebut namanya, jari sering mengkondisikan sedang menggenggam atau mengelus tangan serta rambutnya yang sebahu, hidung sudah teradiksi kepada body lotion yang dipakainya sehingga selalu berasumsi mencium wangi kulitnya, hati selalu berhasil memalingkan segala hanya untuk menujunya, yang kesemuanya itu berujung pada dua mata yang hampir selalu berderai air. Sakit sekali..

Pada akhirnya terjadilah. Rinai gerimis yang menyaru permasalahan kecil kukira akan semakin menebalkan rasa cinta, ternyata bagimu merupa badai, meluluhlantakan segala rasa, meninggalkan kenangan yang tercatat dalam takdir kehidupan kita.

Dalam Nama Yang Maha Baik, semoga yang hilang akan dapat segera kembali meski dalam bentuk yang berbeda, meski sejuta rasa masih menjadi dilema.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun