Balai Literasi Braille Indonesia (BLBI) "Abiyoso", setidaknya hingga saat tulisan ini disusun, masih merupakan satu-satunya unit pelaksana teknis (UPT) milik Kementerian Sosial RI yang menangani literasi bagi penyandang disabilitas, terkhusus disabilitas netra. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 18 Tahun 2018 tentang ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS REHABILITASI SOSIAL PENYANDANG DISABILITAS DI LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI SOSIAL. Peraturan ini dengan tegas mengamanatkan Balai Literasi Braille Indonesia (BLBI) "Abiyoso" untuk mengelola literasi braille dalam skala nasional. Pengelolaan tersebut termasuk menjadi laboratorium bagi pengembangan literasi braille dan pusat rujukan nasional untuk penerapan literasi braille. Dengan adanya regulasi tersebut, pemerintah menunjukkan komitmen kepedulian terhadap kemajuan literasi bangsa, termasuk kalangan penyandang disabilitas.
Untuk melaksanakan amanat tersebut, BLBI "Abiyoso", yang telah berkiprah sejak 1961, secara berkesinambungan melaksanakan proses produksi beragam bahan bacaan yang aksesibel bagi penyandang disabilitas. Bahan bacaan tersebut semakin lama semakin fariatif, baik dari segi konten, jenis, tema, maupun format.
Salah satu produk unggulan BLBI "Abiyoso" sejauh ini adalah majalah Gema Braille. Gema Braille adalah satu-satunya majalah berformat braille yang masih eksis hingga saat ini di Indonesia. Majalah yang terbit satu kali per dua bulan ini bukan sekadar bahan bacaan yang aksesibel, melainkan juga menjadi media aspirasi serta sarana penyaluran minat dan bakat menulis masyarakat, terkhusus para disabilitas. Dari naskah-naskah dalam Gema Braille, pembaca memperoleh pengetahuan, inspirasi, motivasi, dan hiburan yang meningkatkan kemampuan dan wawasan literasi mereka.
Seiring perkembangan zaman, BLBI "Abiyoso" tidak ingin tertinggal dalam hal inovasi layanan. Tidak hanya memproduksi bahan bacaan, lembaga ini juga menyelenggarakan bimbingan teknis baca-tulis braille ataupun teknologi informasi bagi penerima manfaat. Para disabilitas netra yang belum atau minim sentuhan pendidikan difasilitasi untuk meningkatkan kompetensi literasi mereka. Selain itu, program-program terkait seperti perpustakaan keliling, story telling, bioskop berbisik, pojok braille (braille corner) di berbagai perpustakaan, bedah buku, peliputan, curah pendapat, dan pameran literasi diselenggarakan dalam rangka mendiseminasikan dan mengedukasi masyarakat tentang eksistensi dan pentingnya literasi bagi seluruh warga, tidak terkecuali penyandang disabilitas.
Untuk memperkuat landasan hukum produk-produknya, BLBI "Abiyoso" kemudian menjadi anggota ikatan penerbit Indonesia (IkaPI) sejak 2014. Di samping itu, BLBI "Abiyoso" juga menjalin kerja sama dengan Perpustakaan Nasional dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terkait dengan pemberian ISBN dan ISSN bagi buku dan majalah produksi BLBI "Abiyoso".
Selain landasan hukum, BLBI juga memperluas dan mempersolid jejaring. Dengan semangat inklusi dan aksesibilitas, BLBI "Abiyoso" menjalin kemitraan dengan berbagai instansi, komunitas, dan organisasi masyarakat pada berbagai bidang dan di berbagai wilayah di seluruh Indonesia. Misalnya, perpustakaan, perguruan tinggi, sekolah, rumah sakit (termasuk rumah sakit jiwa), komunitas/taman bacaan, lembaga pemasyarakatan, museum, sekolah luar biasa, yayasan, lembaga kesejahteraan sosial, dan institusi penerima wajib lapor (IPWL).
Menjawab tantangan di era digital, BLBI "Abiyoso" tidak tinggal diam. Peluncuran program Audio Mobile Library pada 2018 sekali lagi membuktikan upaya tak kenal lelah lembaga ini dalam memenuhi kebutuhan literasi penyandang disabilitas. Berkolaborasi dengan Siloam Center for the Blind, lembaga nonprofit asal Korea Selatan, BLBI "Abiyoso meluncurkan aplikasi bernama Siloam Global Phone. Aplikasi ini dapat diunduh secara gratis dari playstore dan appstore. Melalui aplikasi ini, pengguna dapat memperoleh informasi, bahan bacaan, dan hiburan yang aksesibel dan inklusif.
Terbitnya peraturan Menteri Sosial RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI) sejatinya dapat membuka peluang lebih besar bagi pemenuhan kebutuhan para disabilitas. Melalui program sentra kreasi atensi (SKA), para disabilitas dapat menyalurkan minat dan bakat dalam berbagai bidang untuk kemudian memperoleh penghasilan. SKA dibentuk sebagai pusat pengembangan kewirausahaan dan vokasional serta media promosi hasil karya penerima manfaat dalam satu kawasan terpadu. Hasil karya penyandang disabilitas dalam berbagai bidang dapat dikelola oleh setiap balai unit pelaksana teknis (UPT) Kemensos, termasuk BLBI "Abiyoso". Hal ini bertujuan meningkatkan kenandirian ekonomi para disabilitas sehingga diharapkan dapat memulihkan keberfungsian sosial mereka.
Di satu sisi, regulasi tentang program Atensi memang menjanjikan peluang bagi pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial (PPKS) untuk memperoleh dukungan kemandirian ekonomi. Akan tetapi, jika eksistensinya malah mengorbankan layanan lain yang sama-sama dibutuhkan oleh penyandang disabilitas, tentu sangat disayangkan.
Keputusan Menteri Sosial RI saat ini untuk segera mengalihkan fungsi layanan literasi BLBI "Abiyoso" ke lembaga lain yang belum berpengalaman dalam hal layanan literasi yang komprehensif, dan hanya menjadikannya sebagai layanan tambahan terhadap Atensi, sungguh melukai martabat penerima layanan tersebut, bahkan literasi itu sendiri.
Berkali-kali pemerintah mengkampanyekan pentingnya literasi bagi seluruh warga tanpa terkecuali, tetapi tampaknya lagi-lagi warga disabilitas dimarginalisasi kebutuhannya akan literasi. Menjadikan literasi hanya sebagai layanan "bonus" bagi kalangan disabilitas sangat menyesakkan. Mampukah lembaga lain yang ditunjuk untuk menyelenggarakan layanan literasi
tersebut mengelola literasi seprima BLBI "Abiyoso"? Bagaimanapun dan di mana pun, hal-hal ekstra tetaplah ekstra, bukan yang utama. Ini bisa diasumsikan sebagai peremehan makna literasi bagi penyandang disabilitas. Padahal, penyandang disabilitas pun perlu literasi. Bagaimana mungkin suatu bangsa dapat memiliki peradaban yang maju jika masih banyak warganya yang kurang bahkan tidak berliterasi?
Enam puluh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk berkiprah melayani pemenuhan kebutuhan literasi PDSN. BLBI "Abiyoso" telah membuktikan komitmen dan keseriusannya memperjuangkan kesetaraan kesempatan bagi disabilitas netra untuk menikmati produk dan layanan literasi yang komprehensif, relevan, dan berkualitas. Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian awal tulisan ini, BLBI "Abiyoso" tidak sekadar memberi manfaat dalam hal baca-tulis. Lebih dari itu, pengetahuan, wawasan, dan bimbingan teknis pun diupayakan secara optimal bagi penerima layanan. Tidak jarang lembaga ini berkolaborasi dengan pesohor-pesohor tangguh di bidang literasi, baik individu maupun lembaga, demi memberi layanan terbaik kepada masyarakat, terkhusus warga disabilitas. Sebut saja Perpustakaan Nasional, Narabahasa, Ahmad Fuadi, Maman Suherman, Ivan Lanin, Faisal Oddang, berbagai universitas terkemuka, dan masih banyak lagi.
Satu hal yang masih dapat disyukuri adalah bahwa setidaknya sampai tulisan ini dibuat, BLBI "Abiyoso" masih merupakan anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IkaPI). Dengan begitu, masih ada peluang bagi para disabilitas yang bermaksud menerbitkan buku untuk memanfaatkan layanan lembaga ini. Status BLBI "Abiyoso" sebagai anggota IkaPI sangat menguntungkan. Hasil karya penyandang disabilitas yang berupa buku dapat langsung diterbitkan dan dipromosikan ke ranah industri. Jika memang literasi braille tidak akan ada lagi di lembaga ini, berarti format buku yang dapat dibuat hanya elektronik (eBook) dan audio.
Nah, kawan-kawan disabilitas, jangan ragu untuk menulis! Karya tulis akan abadi, tak lekang oleh zaman. Selamat berkarya ... salam literasi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H