Mohon tunggu...
iin nuraeni
iin nuraeni Mohon Tunggu... Guru - seorang ibu yang menyukai anak-anak, suka menulis, dan ingin terus belajar.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ramadan Terakhir Bersama Abah

4 Mei 2022   11:42 Diperbarui: 4 Mei 2022   11:45 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja ini, aku termenung di depan teras sambil aku lihat kalender yang tergantung di pojok teras, kuamati deretan anggka dan mata ini tertuju ke tanggal yang berwarna merah, kapan waktu libur tiba?, yaaa waktunya mudik kalau sudah tiba Bulan Ramadan, dan senja ini hari pertama bulan Ramadan Abah sudah dua kali menelpon ku, kapan aku pulang? Aku belum bisa menjawab, karena aku belum tahu kapan tiba libur hari raya.

Aku duduk dengan pandangan tak menentu, antara haru, dan gembira, bagaimana tidak Aku terharu sekali dengan permintaan Abah, kalau aku harus cuti kerja, jadi bisa pulang lebih awal,  sebuah permintaan yang sulit aku terima, karena Aku dan Ayahnya anak-anakpun bekerja, dan  anak-anak belum ada yang libur sekolah, Abah adalah sosok yang selalu menginpirasi, ucapannya yang lemah namun tegas, bahasanya yang santun penuh nasihat baik, dari bibirnya selalu terucap dzikir, sorot matanya yang meneduhkan, sungguh sosok yang membuatku bangga, tak terasa air mata menetes di pipi,  maafkan anakmu yang tak berguna ini, aku hanya bisa mengunjungimu ketika libur, Aku terlalu pongah dengan kesibukanku, aku tak peduli dengan rasa rindumu, aku yang tak peduli dengan kekhawatiranmu, maafkan Aku Abah.

Suara teriakan Diva membuyarkan lamunanku, segera Aku usap perlahan tetes airmata kerinduan ini, Aku tak mau anak-anaku tahu kalau Aku menangis, Aku alihkan perhatianku pada Diva, Dia yang berambut  ikal menambah kelucuannya, wajahnya yang mirip Abah, kata orang takut gak diakui cucunya, apalagi dengan suaranya yang jawa banget, Diva juga yang dipanggil Abahku "Juminten", Dia berlari ke arahku, sambil duduk di sebelahku, dan berseru...

"Bun, lebaran masih lama?" tanya Diva sambil menyentuh tanganku.

"Masih lama Non! Puasa baru dapat satu hari" jawabku sambil tersenyum kecil.

"Bun, nanti pulang ke rumah Eyang yah?" rajuknya sambil bejalan ke kamar.

Kembali Aku pandang kalender yang tergantung, kapan ya aku bisa menemui Abah? Beliau yang kini tinggal seorang diri, dan ditemani adikku yang paling kecil. Sejatinya Abah harus ditemani oleh anak perempuannya, namun bagaimana lagi, anak perempuan dengan kodratnya harus mengikuti apa kata suaminya, karena surganya seorang istri ada pada ridho suaminya, apalagi sejak kami menikah, dan sejak putri ketiga kami masuk sekolah taman kanak-kanak, dengan anjuran suami Aku bekerja dan kini menjadi abdi negara, nah dengan demikian Aku tak bisa seenaknya izin atau tidak masuk kantor untuk urusan pribadi. Aku hanya bisa menghubungi Abah melalui telpon.

Ini hari pertama bulan Ramadan,  dering telpon sudah berbunyi, Aku lihat nama adikku yang membersamai Abah di Bandung, aku angkat dan...

"Assalamualaikum  Nadia" terdengar suara Abah dengan suara yang berat.

"Waalaikumsalam Abah" Jawabku dengan nada kaget, gak biasanya Abah telepon sendiri, biasanya adikku yang telepon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun