Aku seorang gadis remaja, sejak kecil tumbuh dan hidup tanpa seorang ibu, karena ibu sudah kembali ke pangkuan Sang Maha Pemilik. Aku menyadari bahwa apapun ini yang terbaik, Tuhan mengambil dia lebih cepat agar aku menjadi seorang wanita yang kuat, dan tegar yang bisa menjalani berbagai penomena dan problematika hidup.
Di setiap sore, aku biasa gobrol sama Bapak di teras rumah. Bapak bertanya dengan suara yang penuh pengharapan.
"Teh, teteh (panggilan mbak atau kakak perempuan dalam bahasa Sunda) kan sudah besar dan sudah mulai dewasa, bolehkah Bapak bertanya?".(dengan suara yang perlahan tapi pasti).
"Boleh Pak!". sahutku agak penasaran (sambil duduk merapat ke samping Bapak).
"Teh, bolehkah bapak menikah lagi?"
Terhenyak aku dalam diamku, aku menghela nafas, dan aku hanya bisa bilang,
"Nanti teteh pikirkan dulu" sahutku datar dan bingung.
"Ya teh, tolong dipikirkan lagi ya teh", sahut bapak perlahan dengan penuh harapan.
Sejak obrolan sore tadi, masih terdengar jelas harapan Bapak. Ini memang sulit, ketika aku harus berbagi kasih sayang Bapak dengan wanita lain, dan menggantikan posisi mamaku dengan dia. Satu sisi aku juga berpikir, kasihan Bapak yang sudah menemani hari-hariku sampai melupakan kalau Bapak membutuhkan seseorang untuk menjalani hari-hari tuanya, apalagi sebentar lagi akan pensiun.
Perasaan itu bergejolak dalam jiwaku, antara mengizinkan atau melarang Bapak untuk menikah kembali. Semalaman aku tak bisa memejamkan mata sekejap pun, aku gelisah, aku bingung, seakan aku akan kehilangan Bapak untuk selamanya.