Studi yang diterbitkan di the American Sociological Review ini, menyatakan bahwa suami yang tidak punya pekerjaan tetap memiliki risiko cerai 3,3% dalam jangka waktu setahun. Sedangkan pasangan dengan suami yang memiliki pekerjaan tetap, hanya memiliki risiko 2,5%.Â
Peneliti dalam studi ini mengatakan, bahwa lelaki adalah pencari nafkah utama keluarga bisa memengaruhi kestabilan rumah tangga. Sehingga jika suami tidak punya pekerjaan tetap, rumah tangga bisa bermasalah.
Putus sekolah
Sebuah survei jangka panjang yang dilakukan sejak 1979 (the National Longitudinal Survey of Youth), menyebut bahwa pasangan tidak lulus sekolas di jenjang SMA, menghadapi pola perceraian yang sama.
Kemungkinan perceraian pada pasangan yang memiliki pendidikan tinggi 30% lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak lulus SMA. Peneliti menganggap, rendahnya tingkat pendidikan akan memengaruhi pemasukan keluarga. Sebab, mereka yang tidak lulus SMA cenderung lebih sulit mendapatkan pekerjaan. Sehingga membuat kebutuhan rumah tangga sulit dipenuhi, dan pernikahan bahagia pun sulit dicapai.
Memandang rendah terhadap pasangan
John Gottman, seorang psikolog di Universitas Washingnton, mendeskripsikan penyebab perceraian yang sangat akurat tersebut terbagi ke dalam 4 hal yang memicu pertengkaran, hingga perpisahan. Karenanya sebisa mungkin 4 hal ini dihindari oleh suami istri:
1. Memandang  suami atau istri sebagai seseorang lebih rendah dari diri Anda. Ini kesalahan fatal yang bisa memicu perceraian.
2. Kritik berlebihan. Misalnya, selalu mengomentari karakter dan perilaku pasangan. Siapa yang tahan menjalani pernikahan jika setiap tindak tanduk dikomentari tanpa pernah dihargai?
3. Bersikap defensif (pembelaan) bila ada masalah, tidak pernah merasa bersalah dan selalu menyalahkan orang lain ketika menghadapi situasi sulit.
4. Suka memotong pembicaraan atau menghentikan percakapan karena tak ingin mendengar pendapat dari pasangan.
Terlalu mesra saat masih pengantin baru
Terlalu mesra di awal pernikahan, membuat pasangan tidak siap jika kemesraan berganti dengan ketegangan. Inilah penyebab perceraian yang sering luput dari perhatian.
Seorang psikolog bernama Ted Huston, mengikuti 168 pasangan selama 13 tahun. Sejak hari pernikahan dan seterusnya. Ted bersama timnya melakukan banyak wawancara pada setiap pasangan, selama penelitian ini dikerjakan.Â
Salah satu temuan dari penelitian ini, pada pasangan yang bercerai setelah 7 tahun menikah atau lebih, cenderung memperlihatkan kemesraan yang berlebihan, dibandingkan pasangan yang rumah tangganya berjalan langgeng dan bahagia.
Pasangan sangat bahagia di awal pernikahan, memiliki kecenderungan untuk bercerai karena mereka tidak mampu menghadapi ketegangan yang terjadi dalam pernikahan. Percaya atau tidak, pasangan yang melangsungkan pernikahan dengan dosis keromantisan dalam batas normal (tidak kurang atau berlebihan) rumah tangga mereka cenderung lebih awet.
Enggan menyelesaikan masalah
Sebuah penelitian tahun 2013, yang dipublikasikan di Jorunal of Marriage and Family. Menemukan bahwa sikap suami yang sering menghindari penyelesaian masalah, menjadi penyebab perceraian paling sering terjadi. Kesimpulan ini berdasarkan wawancara dari para peneliti, kepada 350 pasangan pengantin baru yang tinggal di Michigan, Amerika Serikat.
Sementara itu studi lain yang dipublikasikan pada 2014 di jurnal Communication Monographs. Menyatakan bahwa pasangan yang berada pada kebiasaan enggan menyelesaikan masalah, merasa tidak bahagia di dalam pernikahannya. Terutama jika satu pihak menekan dan pihak lainnya hanya diam.Â