Mohon tunggu...
Indri Permatasari
Indri Permatasari Mohon Tunggu... Buruh - Landak yang hobi ngglundhung

Lebih sering dipanggil landak. Tukang ngglundhung yang lebih milih jadi orang beruntung. Suka nyindir tapi kurang nyinyir.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Rabies di Indonesia dan Jalan Panjang Pemberantasan

2 Juli 2023   21:22 Diperbarui: 6 Juli 2023   10:34 1155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi vaksin rabies (Tobias Arhelger via kompas.com) 

Meningkatnya kasus Lyssa (rabies pada manusia) di Indonesia akhir-akhir ini membuat banyak pihak menjadi khawatir. Tak terkecuali masyarakat awam yang sebelumnya tidak terlalu bersinggungan atau bahkan menjadikan rabies sebagai sebuah guyonan.

Mohon maaf sebelumnya karena mungkin tulisan kali ini akan menjadi panjang dan membosankan. Ya gimana ya, mohon dimaklumi saja namanya juga saya kompasianer kumatan yang posting tulisan setahun sekali heuheuhe. Baiklah jadi begini...

Sepertinya saya tak perlu lagi merinci lagi tentang etiologi rabies karena saya yakin sepenuhnya bahwa sudah banyak pakar-pakar yang menjelaskan dengan apik dan mudah dipahami. 

Pada dasarnya rabies adalah zoonosis (dapat menular pada manusia) yang menyerang susunan saraf pusat, disebabkan oleh Lyssa virus famili Rhabdoviridae. Biasanya virus ini ditemukan dalam jumlah yang banyak pada air liur hewan yang terinfeksi. Secara umum, rabies ditularkan melalui gigitan hewan terinfeksi.

Oleh karena itu, anjing masih menjadi hewan penular rabies yang paling utama karena memiliki habit alami menggigit, meskipun sebenarnya rabies bisa juga ditularkan oleh hampir semua hewan berdarah panas seperti kucing, kera, kelelawar, hingga ruminansia seperti sapi dan kambing. 

Sejarah rabies di Indonesia pun dimulai dari penemuan kasus pada seekor kerbau sekitar tahun 1889, disusul dengan laporan kasus Lyssa pada manusia pada tahun 1894.

dok pribadi
dok pribadi

Apakah sudah mulai cemas dengan fakta bahwa ternyata rabies bisa ditularkan oleh banyak jenis hewan? 

Jangan terlalu panik karena saya hanya ingin menumbuhkan kesadaran bahwa memang rabies seberbahaya itu apabila tidak bisa dikendalikan penyebarannya. Meskipun begitu, perlu kita ingat bahwa anjing tetap menduduki ranking satu (banyak sumber yang menyebutkan 95%-99%) dalam perannya sebagai penular rabies pada manusia.

Secara epidemiologi, kasus rabies lebih banyak ditemukan pada anjing di pedesaan daripada perkotaan. Pola pemeliharaan menjadi salah satu faktor yang tidak bisa diabaikan. 

Sebagian besar anjing di daerah pedesaan dipelihara dengan cara diumbar atau tidak dikandangkan. Hal ini berbeda dengan daerah kota, dimana anjing berpemilik tidak akan dilepaskan berkeliaran begitu saja.

Selain itu, kesadaran pemilik terhadap kesehatan hewannya juga masih minim. Vaksinasi rabies pada anjing hampir tidak pernah dilakukan. Padahal vaksinasi menjadi cara paling ampuh untuk mencegah terjadinya infeksi. Namun hal ini tidak serta merta harus dibebankan sepenuhnya sebagai kesalahan masyarakat terutama yang tinggal di wilayah pedesaan. Mereka mungkin masih kurang memahami mengenai bahaya rabies yang mungkin ditimbulkan oleh anjing peliharaanya.

Menilik beberapa kasus Lyssa di Indonesia yang akhir-akhir ini sangat memprihatinkan, sebagian besar justru menimpa anak-anak. 

Mengutip data dari WHO, bahwa 40% kasus rabies pada manusia dialami oleh anak-anak berusia kurang dari 15 tahun. Hal ini dikarenakan anak-anak lebih banyak mengalami interaksi dengan anjing. Adapun angka kematian yang diakibatkan oleh virus ini mencapai 99%.

Meskipun mortalitas yang ditimbulkan rabies hampir mutlak, namun pemahaman masyarakat terhadap tindakan pencegahan rabies masih sangat kurang. 

Sebagian besar kasus Lyssa harus berujung pada kisah pilu. Korban gigitan biasanya baru mendatangi fasilitas kesehatan ketika gejala klinis sudah timbul. Gejala klinis pada manusia yang terinfeksi rabies bervariasi, mulai dari demam, mual, nyeri tenggorokan, resah dan cemas, takut cahaya dan air hingga keluar liur berlebihan yang tak terkendali. Ketika tanda-tanda ini muncul setelah manusia digigit oleh anjing terinfeksi rabies, maka sudah hampir pasti bahwa korban tidak akan bisa diselamatkan.

Rabies adalah penyakit yang menyerang saraf pusat. Semakin dekat luka gigitan dengan otak, maka akan semakin cepat pula menimbulkan gejala klinis yang berakhir dengan kematian. Umumnya luka gigitan di kaki akan lebih lama menimbulkan gejala daripada ketika korban digigit di daerah kepala. 

Selain lokasi gigitan, masa inkubasi atau masuknya virus hingga timbul gejala klinis juga dipengaruhi oleh dimensi luka serta jumlah virus yang masuk. Periode masa inkubasi pada manusia bervariasi, biasanya berkisar antara 2-8 minggu, namun juga pernah ditemukan kasus hingga 2 tahun.

Tindakan awal penanganan terhadap korban luka gigitan memegang peranan penting dalam menyelamatkan nyawa seseorang. 

Ketika seseorang digigit anjing dan timbul luka akibat gigitan, segera lakukan pertolongan pertama dengan mencuci luka dengan air sabun yang mengandung detergent menggunakan air mengalir selama 15 menit. 

Jangan berhenti sampai disitu, segera bawa ke fasilitas kesehatan untuk mendapat penanganan yang tepat, dan jika memang diperlukan untuk mendapatkan Vaksin Anti Rabies (VAR) dan mungkin Serum Anti Rabies (SAR) terutama untuk mereka yang tinggal di daerah endemis dengan tingkat risiko tinggi.

Selain pada manusia, diperlukan juga penanganan pada hewan yang menggigit. Apabila memungkinkan tangkap dan kandangkan, tetapi diperlukan kehati-hatian agar jangan sampai terkena gigitan. Laporkan kepada petugas dari Dinas Peternakan atau Dinas yang mengurusi fungsi peternakan dan kesehatan hewan setempat. 

Pengamatan terhadap hewan yang menggigit akan dilakukan selama 14 hari untuk mengetahui apakah mereka sehat atau tidak. Apabila dalam kurun waktu tersebut hewan mati dengan tanda-tanda rabies, maka petugas akan mengambil sampel otak dan dikonfirmasi dengan pengujian laboratorium.

Anjing yang terinfeksi rabies biasanya menunjukkan perilaku yang tidak seperti biasanya. Gelisah, agresif, menggigit apa saja yang ada di sekitarnya, air liur berlebih, takut cahaya, air, dan suara, menekuk ekor di antara kedua kaki belakang merupakan beberapa cirinya. Meskipun begitu, ada juga anjing rabies yang tidak menunjukkan gejala apapun, dan hal seperti ini lah yang justru lebih mengkhawatirkan.

Rabies pada hewan dapat dicegah dengan memberikan vaksin. Hal ini mungkin tidak terlalu bermasalah dengan para owner pet di daerah perkotaan ini mungkin tidak terlalu bermasalah dengan para owner pet di daerah perkotaan yang memang sudah memiliki kesadaran akan kesehatan hewannya. Namun tidak begitu halnya dengan anjing-anjing yang dipelihara dengan dilepas liarkan (seperti anjing untuk menjaga kebun), atau anjing-anjing liar yang jumlahnya tidak sedikit dan sulit untuk dijangkau keberadaannya. 

Banyak kendala yang dihadapi untuk melakukan vaksinasi massal pada populasi seperti ini. Hal ini belum termasuk pergerakan anjing, baik secara alami, dibawa oleh manusia maupun karena perdagangan, yang tentu saja semakin mempercepat penyebaran penyakit.

Memperbincangkan rabies tidak bisa berhenti pada persoalan penyakit semata karena banyak faktor yang berkelindan di dalamnya. Berbicara tentang pengendalian dan pemberantasan rabies berarti kita juga harus siap dengan segala hal. Rabies akan membawa dampak langsung dan tidak langsung bagi sebuah wilayah. Secara langsung jelas rabies akan mengakibatkan kesakitan bahkan kematian baik bagi manusia maupun hewan. Secara tidak langsung rabies juga akan membawa dampak ekonomi. Sudah banyak penelitian dan kajian yang menghitungnya. 

Secara global kerugian ekonomi akibat rabies ditaksir mencapai 129 trilyun rupiah. Selain ekonomi, rabies juga akan berdampak pada sosial budaya. Keresahan masyarakat tentu saja tidak bisa dihindarkan apabila suatu wilayah terkena rabies, hal ini akan semakin terasa apabila wilayah tersebut merupakan tempat tujuan wisata seperti Bali misalnya.

Sampai saat ini hanya ada sebelas provinsi di Indonesia yang berstatus bebas rabies, sedangkan lainnya berstatus endemis. Meskipun demikian, provinsi bebas ini tidak boleh lengah dan harus terus meningkatkan kewaspadaan untuk mencegah rabies masuk dan menyebar ke wilayahnya.

Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) yang terletak di Pulau Timor sebagai contoh, sebelumnya adalah pulau yang bebas rabies, namun berbatasan dengan pulau-pulau yang tidak bebas rabies seperti Pulau Flores dan Pulau Kisar di Maluku Barat Daya. Namun yang terjadi sekarang sungguh memprihatinkan, kasus gigitan anjing semakin meningkat. Hingga akhir Juni 2023 tercatat 635 orang digigit anjing di 162 desa di 30 kecamatan dari 32 kecamatan di Kabupaten tersebut, yang menyebabkan 6 orang meninggal dunia.

Fiuh ... Sebenarnya masih banyak yang ingin saya tulis. Tetapi ternyata libur nulis setahun itu sungguh membuat kemampuan ngglundhung ndlosor sampai dasar sumur.

Apa yang ingin saya ungkapkan di penghujung curhatan ini kurang lebih seperti ini. Rabies adalah sebuah tanggung jawab bersama. 

Pengendalian dan pemberantasan rabies memerlukan kerja sama dari banyak sektor. Dari sektor kesehatan manusia, kesehatan hewan, kesehatan lingkungan, serta partisipasi dan kesadaran masyarakat. Tidak gampang memang, tapi mungkin saja apabila semua pihak bahu membahu, maka cita-cita mulia menjadi bagian dari masyarakat global untuk bebas dari rabies di tahun 2030 bisa diwujudkan. Aamiin ...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun