Mohon tunggu...
Indri Permatasari
Indri Permatasari Mohon Tunggu... Buruh - Landak yang hobi ngglundhung

Lebih sering dipanggil landak. Tukang ngglundhung yang lebih milih jadi orang beruntung. Suka nyindir tapi kurang nyinyir.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kompasiana dalam Kenangan Lapuk Tukang Komentar

9 Maret 2019   20:38 Diperbarui: 9 Maret 2019   21:02 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A..a..a be be ce ce, tes tes satu dua tiga dicoba, bakso landak, sate hyena, nasi goreng biawak.

Oke persiapan sudah matang, mari sekarang waktunya mengetik bagi saya dan membaca bagi njenengan yang memang sangat punya waktu selo.

Jadi begini Oom Tante Budhe Pakdhe Eyang Kakak Adik kompasianer yang sangat saya cintai di seluruh penjuru bumi. Ehm ini mohon maaf sebelumnya bagi para kompasianer yang mungkin tinggal di planet Hala atau yang berdomisili di planet Titan nanti saya akan cari cara sendri buat kenalan kalau akik warna-warninya Oom Thanos sudah diploroti sama tante Captain Marvel.

Nah kebetulan yang bukan kebenaran, kemarin saya membaca artikel yang diposting oleh seorang kompasianer senior yang sekaligus petinggi organisasi Koplak Yo Band.  Beliau mengaku kalau sedang memperingati hari jadinya yang ke sembilan tahun sebagai anak kos teladan di Kompasiana.

Dalam rangka memperingati anniversarynya tersebut, Mbak unni Dessy juragan jenkQ penikmat djamban O gitu (konon dulu panggilan kesayangannya demikian) membuat sayembara berhadiah bagi kompasianer yang mau menulis tentang kesan menyenangkan selama ngekos di rumah yang dulu katanya sehat ini.

Baiklah, sebagai anggota kehormatan klub bergengsi Para Pencari Gratisan yang selalu sumringah dengan hadiah, saya kembali memberanikan diri untuk mengetik di lapak ini setelah tulisan terakhir saya yang ternyata telah berusia hampir satu tahun, yang kalau ibarat bayi kelinci pasti sudah siap kawin mawin, eaaaa.

Hmm, mari kita cukupkan segala intro nirfaedah ini dan kembali ke bahasan inti yang  sudah saya kemukakan di atas. Iya yang di atas tadi, bukan di bawah apalagi di samping.

***

mbak'e nggambleh
mbak'e nggambleh
Jujur saja, saya juga bukan orang baru di kompasiana ini, tapi kalau mau dibilang lama juga nggak terlalu sih. Jadi cukup lah disebut yang sedang-sedang saja seperti lagu panutan aku kak Vetty Vera.

Perkenalan pertama dengan kompasiana berdasar ingatan saya yang lapuk ini terjadi sekitar satu dasa warsa lampau. Meski harus punya modal tiga sampai lima ribu rupiah per jam nya, namun semangat membaca blog satu ke blog lainnya membuat saya rela menyisihkan uang untuk jajan bakmi ayam demi bisa ngadem di warnet. Sungguh, waktu itu saya memang sobat missqueen sekali.

Dari semua keseloan yang saya lakukan, pada suatu hari tiba-tiba saja saya sudah punya akun di Kompasiana tertanggal 6 April 2010. Meski begitu sebenarnya akun itu saya buat agar bisa memiliki akses untuk komen dan tidak ada keinginan untuk menulis sebuah artikel karena jujur saja saya memang tidak terlalu suka menulis.

Namun yang namanya manusia itu memang diciptakan dengan sifat yang tidak pernah puas. Mosok sih saya akan selamanya jadi tukang komen. Maka dengan modal rai gedheg kulit badak saya pun nekat menulis.

Syukur Alhamdulillah, Sembilan tahun lalu Kompasiana itu bagai grup chattingan di masa kini. Hampir semua penghuni menyapa satu sama lain dengan hangatnya. Tulisan saya yang hanya berupa cerita nggambleh tak tentu arah dan tujuan pun seringkali disambangi oleh para kompasianer senior dengan komentar baik dan rating menyenangkan.

Mungkin bagi sebagian penulis, komentar dan rating adalah sekedar basa-basi yang tak perlu. Tapi hal itu sungguh sangat berarti bagi seorang penulis pemula yang suka plonga-plongo seperti saya.

***

djadoel adalah koentji
djadoel adalah koentji
Meski sudah berani menulis celotehan, tapi bagi saya daya tarik kompasiana sesungguhnya adalah kolom komentar. Di zaman kejayaan para kompasianer veteran (maaf bagi yang mungkin merasa), komentar adalah sebuah keniscayaan. ya kalau Rene Descartes masih ada mungkin beliau akan menngubah quotenya menjadi Aku menulis komentar maka aku ada. Jadi jangan kaget kalau dalam satu artikel bisa saja menuai komentar sampai ratusan hanya dalam jangka waktu dua jam saja.

Ndilalah gayung bersambut, Oom Tante admin sepertinya tahu saja kalau anak kos nya yang suka heboh di dunia maya itu juga bakalan heboh kalau dipertemukan di ruang dan waktu yang sesungguhnya. Kalau tidak salah sih Kompasianival sudah diselenggarakan sejak tahun 2010 atau malah 2009 ya, monggo dikoreksi kalau kurang pas. Tapi saya sendiri mulai ngglundhung ke perhelatan itu sejak 2011.

Dalam benak saya pasti bakal banyak awkward moment ketika kita bertemu dengan orang yang hanya kita kenal lewat tulisannya saja, namun saya bersyukur karena ternyata praduga saya tak terbukti benar.

Di luar ekspektasi, saya mulai mengenal kawan-kawan kompasianer di dunia nyata. Meski di kompasiana sendiri banyak sekali terbangun komunitas-komunitas namun nyatanya kami bisa saling menghargai dan menyayangi setulus hati..awuwu. Kami pun menjadi lebih sering kopdar tanpa perlu menunggu ajang kompasianival digelar.

***

Ya, tiada cerita indah yang tak akan berakhir. Entah kapan semua bermula saya sendiri sudah agak lupa. Anggaplah saya sedang mencari alasan dan pembenaran, tapi sejak dashboard menghilang dan dalih-dalih peremajaan sistem, kompasiana jadi terasa kurang menyenangkan.

Log in yang semakin susah, mobile version yang kurang bersahabat dengan perangkat hape kelas medioker menjadi satu dari sekian alasan menurunnya kuantitas akses saya ke kompasiana. Sialnya hal ini juga melanda para kawan-kawan pembakar lapak, sebuah istilah bagi kompasianer yang sangat militan  tugasnya dalam menulis komen.

Bagi saya yang lebih mementingkan kualitas dan kuantitas komentar daripada isi tulisan, tentu saja hal ini sangat berdampak negative. Satu persatu kawan-kawan mulai jarang memunculkan diri di kompasiana, saya pun demikian. Ndilalahnya lagi koq hal itu juga menular ke ajang kopdarannya. Menurut teman-temin yang rajin presensi, katanya dari tahun ke tahun kompasianival makin lesu kurang gairah, kurang tenaga, kurang hoaxnya ea ea. Saya sendiri sih sudah berhenti datang di 2015 kemarin.

***

Ahh, tak bijak rasanya kalau saya malah mengakhiri cerita yang seharusnya indah ini dengan kisah sendu.

Satu yang pasti, sampai kapan pun kompasiana akan selalu mendapat ruang di hati saya. Dari blog keroyokan ini saya banyak bertemu dengan orang-orang hebat, dengan orang-orang baik dan menyenangkan, bahkan banyak diantaranya yang sudah seperti sedulur dhewe sampai sekarang meski kami semua datang dari latar belakang yang berbeda-beda. Hal-hal seperti inilah yang membuat saya akan selalu merindukan kompasiana.

Jadi sebelum saya pungkasi semuanya, sekali lagi saya ucapkan happy 9th anniversary buat mbak uni. Semoga tetap rajin menulis disini, semoga selalu baik hati dan semoga saya yang dapat hadiahnya nanti uhuy....

---------------

Catatan sikil:

Semua foto yang dipajang adalah hasil nyolong di lapaknya mbak unny dessy (sudah ada tanda air nya gaes),  dan lainnya kemungkinan besar adalah hasil jepretan babeh helmi. Jadi saya izinnya sekalian disini saja nggih, ndak boleh marah beh kalau nggak mau kuri jadi kari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun