Mohon tunggu...
Indri Permatasari
Indri Permatasari Mohon Tunggu... Buruh - Landak yang hobi ngglundhung

Lebih sering dipanggil landak. Tukang ngglundhung yang lebih milih jadi orang beruntung. Suka nyindir tapi kurang nyinyir.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Masjid Besar yang Kehilangan Penggemar

17 Juni 2016   10:26 Diperbarui: 17 Juni 2016   13:08 1000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampai di sini sifat manusiawi akhirnya mulai tak terkendali. Sifat dasar yang selalu ingin keakuannya terlihat mulai bermunculan. Dari semula satu RW punya satu mushola, kemudian menjadi satu RT satu mushola, bahkan kadang lebih. Ibaratnya hanya jarak beberapa langkah sudah nemu mushola. Dari sekian banyak mushola yang terus tumbuh itu, banyak di antaranya berubah status menjadi masjid yang besar yang juga menyelenggarakan sholat Jumat dan sholat ied.

***

Seharusnya saya -sebagai seorang yang ngaku beragama Islam- senang dengan makin banyaknya tempat ibadah ini. Iya, saya memang senang karena representasi kesalehan kota yang banyak didamba itu bisa terwakili dengan banyaknya masjid yang terbangun. Tapi euforia tak semuanya berbuah manis. Di balik kemeriahan mushola-mushola di perkampungan, ada yang perlahan ditinggalkan, ada yang perlahan menanggung kesedihan karena makin terlupakan. Ialah sang masjid besar.

Ramadhan tahun lalu saya mencoba napak tilas dengan tarawih di sana. Dalam hening khusyuknya sholat, mendadak hati saya menjadi getir. Betapa tidak, jamaah sholat untuk shaf bapak-bapak tak sampai 3 shaf, bahkan untuk para wanita, setengah shaf saja tak penuh.

Harapan tak langsung saya pupus. Keesokan harinya saya pun sholat subuh ke sana. Namun, yang terjadi makin membuat hati saya nggrantes prihatin. Di dalam masjid yang kalau penuh bisa menampung sampai seribuan jamaah, saya hanya bisa menghitung dengan jari jemari yang saya miliki. Itu sudah lebih baik karena masih Ramadhan, karena pas hari biasa, jumlah jamaah tak lebih dari jumlah jari di satu telapak tangan. Sholat ied pun tak segayeng dulu lagi, datang telat pun dijamin masih dapat tempat di dalam karena jumlah jamaah tak pernah membeludak.

***

Melihat sendiri kondisi itu, mau tak mau ingatan saya dibawa bernostalgia. Kenangan masa silam yang terlalu manis dengan masjid besar itu. Dulu itu kalau bulan Ramadhan begini, selepas tarawih, subuhan atau sholat wajib lainnya, pak imam yang sudah sepuh -dan sekarang telah berpulang- pasti kewalahan melayani antrean tanda tangan para murid yang mengisi buku kegiatannya. Para petugas masjid juga disibukkan dengan pengumuman berkali-kali agar anak-anak tidak gedabrukan dan main petasan yang bikin jantungan. Para ibu-ibu yang tinggal di sekitarnya juga disibukkan dengan membuat jajanan berbuka.

Semuanya jelas tak akan terulang lagi, wong di radius ratusan meter dari sana sudah berdiri banyak sekali masjid kecil dan mushola-mushola. Ya, masjid itu memang tetap berdiri tegak dengan kebesarannya. Bahkan bangunan fisiknya pun lebih indah dan megah dari dulu, namun tak pernah seramai dulu. Masjid itu nampak suwung. Dalam imajinasi saya, seandainya bisa berbicara, masjid itu pasti akan memohon para jamaahnya untuk kembali menyemarakkan.

***

Mungkin saya terlalu berlebihan, tapi kalo menurut saya mbok sakjane kalau mau mbangun mushola itu dipertimbangkan lebih jernih lagi, dipikir mateng bukan hanya sekedar menuruti kehendak agar bisa membangun rumah ibadah supaya bisa mendulang pahala dari sana. Dengan tren pertumbuhan yang sangat pesat tanpa perhitungan, bisa-bisa nanti tiap sepuluh rumah ada satu mushola. lha njuk nanti siapa lagi yang masih sudi nengok masjid-masjid besar yang letaknya lebih jauh dari rumah.

Bukankah hakikat berdirinya sebuah masjid adalah untuk dipakai sebagai sarana beribadah, bertamu dan bertemu dengan Sang Maha Pencipta. Kan jadinya agak mubazir saat banyak masjid melompong ndak kebagian jamaah hanya karena semua berlomba-lomba membangun sebanyak-banyaknya, sebaik-baiknya tanpa memperhitungkan bagaimana kelangsungan hidup masjid-masjid yang sudah ada terlebih dahulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun