Mohon tunggu...
Indri Permatasari
Indri Permatasari Mohon Tunggu... Buruh - Landak yang hobi ngglundhung

Lebih sering dipanggil landak. Tukang ngglundhung yang lebih milih jadi orang beruntung. Suka nyindir tapi kurang nyinyir.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Sajadah Megah Mamah-mamah

10 Juni 2016   10:34 Diperbarui: 10 Juni 2016   18:29 1001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah kenapa, saya itu kalau bulan Ramadhan mendadak jadi rajin sholat di masjid. Padahal di 11 bulan lainnya itu saya menjelma jadi manusia yang hanya pergi ke masjid kalau dapat wangsit. Mungkin karena saya pingin terlihat bahagia menyambut datangnya bulan suci,atau karena setan dalam diri saya sudah terbelenggu dengan ikatan yang kuatnya melebihi ikatan perkawinan, atau karena saya kepingin mendapat pahala yang berlipat-lipat jumlahnya, atau yang paling masuk akal mungkin karena banyak teman yang melakukan hal yang sama.

Eh sebentar, koq saya pede banget bilang gitu ya pake ngajak-ngajak teman. Saya sih yakin kalau njenengan semua pasti bukan golongan manusia moody kaya saya. Saya percaya bahwa tiap harinya di sepanjang tahun, semua sudah melakukan amalan dan ibadah yang kadarnya sama atau bahkan lebih tinggi ketakwaannya dibanding dengan bulan Ramadhan.

Sekali lagi maafkan saya lho ya, yang sudah nuduh semena-mena sebelumnya.

***

Nah, di antara lima waktu sholat berjamaah di masjid, favorit saya tentu saja adalah sholat Isya yang disambung dengan Tarawih. Selain perut kenyang karena sudah berbuka, udara juga sudah adem karena malam hari. Jadi, meski masjidnya tidak berpendingin udara, rasa gerah sudah bisa diminimalisir.

Namanya juga mau sholat, tentu saja semua membawa seperangkat alat sholatnya secara lengkap dan dibayar tunai, meski ndak ada pak penghulu di hadapan. Tapi yang namanya wanita, sebagian besar memang lebih ribet dari kaum pria. Jika para papah, mas-mas, dan dedek cakep cukup bawa sajadah atau kadang malah ndak bawa--dengan asumsi sarung atau celana panjang pasti sudah dipakai dari rumah-- -lain halnya dengan kaum perempuan.

Mamah-mamah, mbak-mbak, dan dedek gemes lebih banyak bawaannya. Paling ndak mereka mbawa satu tas jinjing berisi mukena dan sajadah, kecuali spesies wanita kaya saya yang karena pemalas sudah pakai mukena sejak dari rumah dengan sajadah tersampir di pundak mirip sarungnya si unyil.

***

Oke, sesuai judul saya mau ngomongin sajadah. Kalau saya ndak salah inget, tren sajadah lebar--yang cukup buat sholat dua orang langsing atau 1,5 manusia berukuran montok--mulai ngehits satu dasawarsa ini. Saya masih menyimpan kenangan tentang sajadah berukuran slim fit yang jamak digunakan di masa lalu. Mungkin sekarang bahan sajadah sudah lebih murah sehingga lebarnya harus ditambah. Umumnya, sajadah ini berbahan tebal, empuk, bagus, dan keren warna motifnya. Jadi begitu dihamparkan, keindahannya langsung terasa.

Masalah akhirnya muncul ketika sajadah raksasa ini dibawa untuk sholat jamaah. Mungkin karena wanita dikodratkan sebagai pemuja keindahan, jadi mereka bertekad membela estetika ini di mana pun berada, tak terkecuali pas waktu sholat.

Jadi begini, pas sholat sudah mau mulai, pak imam sebagai leader memberi komando kepada para makmum untuk merapatkan barisan shaf. Saya yakin, -meski ndak pake acara ngintip- di shaf-nya papah-papah, mereka akan segera merapatkan barisan jika mendengar perintah seperti itu.

Sebagai makmum yang mencoba jadi baik, saya pun bergeser dan berusaha merapatkan shaf. Karena hampir semua memakai sajadah ukuran mega, celah barisan shaf jadi sangat kentara. Saya pun berinisiatif menarik sajadah supaya shaf bisa benar-benar rapat dan rapi. Tapi ternyata itikad itu tak berbuah baik. Alih-alih ikut geser, saya malah ditegur buat jangan mepet-mepet, khan sudah punya sajadah sendiri. Karena tak mau nambah ribut dan imam sudah mulai sholat, saya pun langsung ikut sholat.

***

Ah.... Lagi-lagi saya ndak tahu diri, mungkin saja mamah-mamah yang ngelirik sebal dan menegur saya supaya tidak mepet itu ada benarnya. Pertama, saya kan ndak kenal beliau, siapa tahu, saya ini nanti jadi ngotori sajadah besarnya kalau nekat nebeng. Atau mereka takut kalau saya tiba-tiba ngambil handphone yang digeletakkan di ujung sajadah yang bolak-balik dicek notifikasinya.

Tiba-tiba saya ingat dengan kawan lama saya. Dulu, kita sering tarawih beramai-ramai. Dan dia jarang sekali bawa sajadah. Bukan karena ndak punya, tapi karena niatnya ingin selalu merapatkan shaf. Dan mungkin karena raut mukanya yang sejuk, setiap orang yang diberi pengertian, akan selalu mau berbagi tempat di sajadahnya dan merapatkan barisan sholat. Haha... sayang, wajah saya sudah telanjur antagonis. Niat ngasih tahu malah kaya orang mau mbegal.

***

Tuh kan, kenapa saya jadi ngrasani gini haha, maafkan saya ya. Harusnya saya posting malam saja ya, biar ndak ngurangi timbangan pahala teman-teman yang berpuasa.  Eh tapi yakin  semuanya lagi puasa nih? Atau jangan-jangan cuma nahan lapar dan haus saja, uhuk....….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun