Mohon tunggu...
Indri Permatasari
Indri Permatasari Mohon Tunggu... Buruh - Landak yang hobi ngglundhung

Lebih sering dipanggil landak. Tukang ngglundhung yang lebih milih jadi orang beruntung. Suka nyindir tapi kurang nyinyir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Maju Tatu, Mundur Ajur

14 April 2016   12:15 Diperbarui: 14 April 2016   12:19 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="jati pohon yang terletak di kabupaten Grobogan merupakan bagian dari pegunungan kendeng utara (www.infogrobogan.blogspot.com)"][/caption]Tidak banyak perbedaan yang terjadi hari ini. Matahari masih tegak menantang , membakar dengan sinarnya yang garang di awal musim kemarau. Rahmi menyeka peluh yang bercucuran di seluruh wajahnya. Kulitnya yang sudah sawo matang semakin legam dari hari ke hari.

Rahmi mengunyah pelan nasi berhias sayur kangkung dan sedikit taburan ikan asin dengan pandangan menerawang. Menu yang boleh dibilang tak memenuhi kaidah makanan sempurna. Tapi toh ia masih tetap sehat dan bugar sampai saat ini. Setidaknya sehat menurut pengertian sederhananya adalah masih bertahan tinggal di tenda terpal ini dan tidak menyerah lalu balik ke rumahnya.

***

Tak banyak yang menarik untuk diceritakan tentang Rahmi. Ia, seperti kebanyakan gadis desa di tempat ini hanya berhasil mengecap pendidikan setingkat SD. Meski ranking pertama di kelas selalu disandangnya, toh Rahmi tak juga melanjutkan sekolah. Biasalah, alasan klise yang ketika kita mendengarnya hanya akan berbuah reaksi “oohh…” dari mulut orang-orang kebanyakan.

Sudah tahu kan alasannya? Iya, tidak punya uang. Meski kalau kuberitahu hal ini, banyak pula yang lantas meradang. Mosok hanya karena tidak punya uang, lantas pendidikan dikorbankan. Ah tapi kau tak pernah tahu tentang alasan-alasan lain dibalik ketidakmampuan finansial orang-orang terpinggirkan bukan? Dan aku memang tidak berniat  membeberkan alasan-alasan lain itu, daripada kau bilang tak masuk akal.

***

Sepertinya cerita tentang Rahmi terlalu dramatis. Nasib kurang baiknya dalam hal sekolah tidak akan menggugah emosi masyarakat. Ribuan atau bahkan jutaan orang menjalani  hidup dan kehidupannya seperti Rahmi di negeri ini. Miskin, tidak mendapat akses pendidikan dan tinggal di pelosok. Meski ada satu dua yang tertolong tangan-tangan baik, toh masih lebih banyak lagi yang hanya perlu diketahui tanpa perlu dicari solusinya.

Beruntunglah Rahmi -iya, meski kau sebut nasibnya ngenes, tapi tidak demikian menurutnya- karena desa tempat tinggalnya diberi keberkahan luar biasa dari Gusti Sang pencipta semesta. Jengkal demi jengkal tanah disana ditakdirkan Tuhan menjadi subur untuk membantu manusia baik yang tinggal disana maupun yang jauh di tengah kota agar terpenuhi kebutuhan perutnya.

Tak harus memiliki petak sawah yang jembar bagi Rahmi untuk bisa membuat perutnya terisi. Cukup dengan mburuh tani ,matun , dengan bayaran yang bagi orang kaya hanya cukup untuk beli kopi tapi nyatanya Rahmi bisa tetap hidup hingga kini. Bahkan Rahmi tak hanya ngopeni dirinya sendiri, ia hidup dengan Pras, anaknya yang sudah hampir lulus SD.

Ndilalah suaminya itu sudah mati, jadi korban tabrak lari waktu  Pras masih bayi. Konon kabarnya yang nabrak itu anak juragan tersohor dan super kaya. Tapi meski banyak saksi yang bilang begitu, nyatanya si anak pecicilan itu tak mendapat hukuman apapun, bahkan sekedar melayat dan memberi uang duka untuk Rahmi dan keluarganya.

Ah, jadi ngelantur kan cerita ini. Padahal itu semua sudah lama terjadi, Rahmi juga sudah merelakan suaminya pergi. Ia ndak perlu lagi simpati atau rasa kasihan atas semua hal buruk ini. toh seberapapun nelangsanya, ia harus tetap hidup dan menghidupi manusia lain yang jadi tanggung jawabnya. Perkara orang yang nabrak mati suaminya 11 tahun lalu, ia memilih tak peduli. Meski ada kabar berhembus kalau orang itu masuk bui karena membunuh pacarnya yang anak ajudan Bupati. entahlah

***

“Rahmi, spanduk yang kita buat kemarin kamu simpan dimana?”

Tersentak Rahmi dari lamunan panjangnya mendengar panggilan Nastiti. Seketika ia kembali ke alam nyata kesadarannya.

“Iya Ti, kuwi di bawah tumpukan kasur lipat” jawab Rahmi

“Tak ambil ya, biar nanti semuanya terkumpul jadi satu, gak kececeran”

“he em, aku tak nerusin makan dulu, nanti segera nyusul kesana” Rahmi menjawab sambil bergegas menghabiskan nasi di piringnya

***

Hari ini, entah sudah berapa kali mereka akan meneruskan perjuangan. Sudah hampir dua tahun Rahmi dan kawan-kawannya sesama ibu-ibu petani desa ini memutuskan tinggal di tenda terpal yang mereka buat bersama –sama untuk menunjukkan kepada dunia bahwa mereka tak akan menyerah. Mereka tak peduli lagi dengan cibiran, cemoohan dan sinisme orang-orang lain di luar sana yang menganggap tindakan mereka norak dan tak berbudaya.

Mereka mungkin sadar sesadar-sadarnya bahwa suatu saat mereka akan terhenti atau kalah bertarung. Namun setidaknya perlawanan mereka bisa memberi kabar kepada khalayak bahwa orang kecil seperti mereka bukan untuk diinjak-injak. Bahwa mereka meski tak ber-uang tapi tetap memiliki harga diri dan tak melulu bisa dibeli.

Mereka, Rahmi dan ibu-ibu lainnya bukannya tak pernah merasa takut dengan semua yang telah mereka lakukan. Di awal-awal perjuangan bahkan mereka sempat berjibaku dengan para aparat yang mendadak keras, padahal mereka tak sekalipun menyuguhkan polah anarkis dalam setiap aksi. Namun tak lantas itu menjadikan nyali ciut dan perlawanan surut. Apapun yang terjadi, mereka akan bertahan disini.

***

Rahmi memandang ke Alat-alat berat yang berdiri gagah. Benda mati berukuran raksasa itu bisa menebar kematian kepada mahluk hidup di desa ini.  saat mereka dihidupkan dan gerak lambat mereka mulai menghunjam perut bumi, maka saat itulah semua akan berakhir. Hamparan bukit , sawah dan pepohonan hijau seketika akan disulap menjadi bangunan pabrik, udara segar dan air jernih yang menghuni mata air akan musnah berganti debu dan uap panas.

Rahmi sebenarnya tak tahu banyak tentang dampak kerusakan lingkungan yang terjadi jika tambang itu benar-benar berdiri disini. Ia hanya tahu bahwa kehidupan dan penghidupannya akan terampas, banyak warga yang akan terusir, dan itu berarti ia akan kesulitan mencari uang, mencari makan pada hakikatnya, karena selama ini semua warga hidup dan dihidupi oleh desa ini. lalu bagaimana nasibnya, lebih-lebih bagaimana nasib Pras?

Rahmi bergabung dengan kawan-kawan lainnya, hari ini, sekali lagi ia akan berjuang mempertahankan hak nya, berjuang membela bumi nya, berjuang mendapat keadilan, itupun kalau keadilan memang masih ada dan bisa mereka dapatkan.

---------------------------------------

*terinspirasi berita tentang demo ibu-ibu rembang #DipasungSemen

maju tatu mundur ajur : dilematis, maju kena mundur kena (terjemahan asal)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun