Mohon tunggu...
Indri Permatasari
Indri Permatasari Mohon Tunggu... Buruh - Landak yang hobi ngglundhung

Lebih sering dipanggil landak. Tukang ngglundhung yang lebih milih jadi orang beruntung. Suka nyindir tapi kurang nyinyir.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Selimut Debu, Kisah Mendebarkan di Negeri Afghanistan

26 Januari 2016   10:25 Diperbarui: 26 Januari 2016   11:03 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Agak telat sebenarnya saat saya membaca buku ini, karena boomingnya sudah beberapa tahun yang lalu. Buku yang saya temukan di rak masih utuh berselimut pembungkus plastik ini segera saya buka dan baca lembar demi lembarnya. Seperti janji yang mesti segera dituntaskan, utang membaca buku setebal 461 halaman pun lunas dalam dua hari.

Terpesona, satu kata itu saja yang mewakili saya dalam menilai Selimut Debu, buah karya Agustinus Wibowo. Bagi para pecinta rubrik petualang di kompas.com tentunya sudah gatal untuk segera melewatkan tulisan saya. Ah tapi tak mengapa, saya nekat saja meneruskan siapa tahu resensi yang tidak memenuhi kaidah ini bisa memberi sedikit gambaran singkat sehingga banyak yang tertarik untuk membaca bukunya secara utuh.

Jika anda mendapat kesempatan untuk bertualang ke luar negeri, tempat manakah yang akan anda tuju. Saya yang gemar menghakimi orang berani bertaruh bahwa Afghanistan tidak termasuk dalam salah satu destinasi impian. Namun tidak demikian dengan Agustinus Wibowo (selanjutnya tak singkat AW saja ya mas). Di usia yang belum genap dua puluh, ia nekat pergi ke tempat -yang ketika mendengarnya saja langsung bikin merinding- itu seorang diri.

Tak hanya jadi turis, bahkan AW sempat mencicipi bekerja sebagai jurnalis foto di  Aghanistan selama tiga tahun. Pengalamannya menembus jerohan Afghanistan diceritakan secara detail , menarik dan terkadang berselubung humor seolah hal-hal mengerikan yang dialami dan bahkan nyaris merenggut nyawanya adalah hal kecil dalam sebuah sketsa hidup yang mesti dijalani.

 ***

Afghanistan , negeri yang koyak karena perang berkepanjangan. Bayangan ranjau darat bertebaran, peradaban yang tertinggal, wanita dalam burqa, pasukan Taliban, bangunan luluh lantak dan segala keterbatasan lainnya bergelayut di benak AW ketika pertama kali melangkahkan kaki kesana. Namun seiring pergumulannya dengan masyarakat, budaya, adat istiadat dan kehidupan sosial sehari-hari, ternyata Aghanistan jauh lebih besar dari itu.

Negeri di jazirah Asia Tengah ini sejatinya adalah negeri yang indah dengan pemandangan alam menawan. Hampir sama dengan Indonesia, Afghanistan adalah negara multi etnis dan multi bahasa. Kenyataan ini membuat adanya gap antara etnis mayoritas dan minoritas. Etnis dominan menganggap bahwa merekalah Afghan yang sesungguhnya dan memandang etnis lainnya kurang, begitupun sebaliknya

Letak geografis yang berbatasan langsung dengan Iran di sebelah barat, Pakistan di selatan, RRC di timur dan pecahan USSR seperti Tajikistan, Turkmenistan dan Uzbekistan di sebelah utara tidak otomatis membuat hubungan antar negara serasi. Bahkan di Iran, banyak orang Afghanistan yang sebagian besar adalah pengungsi korban perang seringkali dilecehkan karena dianggap membebani negara dan tamu yang tak tahu diuntung. Namun begitu masyarakat Afghanistan sendiri menilai orang Iran adalah kaum arogan dan sombong. Sedikit tergelitik ketika AW bercerita tentang konflik kecil masyarakat antar negara ini, saya koq mendadak membayangkan hubungan Indonesia Malaysia yang acapkali naik turun.

***

Sebagai petualang bermodal pas-pas an, kehidupan AW di Afghanistan banyak dihabiskan dengan menginap di samovar-samovar . Samovar adalah kedai teh yang juga berfungsi sebagai penginapan untuk para musafir. Jangan bayangkan mirip motel atau hotel kelas melati. Tempat tidur di samovar hanyalah berupa matras tipis yang digelar diatas panggung yang hanya sedikit lebih tinggi dari tanah. Selimut apek yang entah berapa bulan tidak bertemu air, dengungan lalat yang sanggup mengubah warna daging yang digantung menjadi hitam dan gangguan serangga lain adalah hal yang wajar. Jangan harapkan pula adanya privasi, karena para musafir tidur berhimpitan, pun jangan dibayangkan ada toilet, karena jamban adalah hal mewah yang tak gampang ditemui.

Semakin jauh menjelajah khaak Afghanistan, AW akhirnya paham seutuhnya bahwa burqa yang selalu dikenakan para perempuan disana sebenarnya adalah kultur, tradisi salah satu etnis. Bahkan ada etnis lain yang dalam kesehariannya tidak memakai burqa mengaku terpaksa memakainya kalau tidak ingin mendapat masalah. Namun prasangka masyarakat luas bahwa burqa membuat para perempuan afghan menjadi terbelenggu juga tak sepenuhnya benar. Karena dengan memakai burqa, mereka menjadi sebuah anonimitas, dan dengan demikian mereka bisa hidup dengan aman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun