Mohon tunggu...
Indri Permatasari
Indri Permatasari Mohon Tunggu... Buruh - Landak yang hobi ngglundhung

Lebih sering dipanggil landak. Tukang ngglundhung yang lebih milih jadi orang beruntung. Suka nyindir tapi kurang nyinyir.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Gerutu Senin Sore

18 Januari 2016   16:01 Diperbarui: 18 Januari 2016   18:26 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terus terang saya pingin nulis, tapi saya ndak tahu harus nulis apaan. Ndilalahnya pas lagi bengong ada sebuah link nyasar dengan  sengaja di hengpon saya. Tak klik sekali terus tak baca. Jebulnya koq itu tulisan dari seseorang yang (memang) sudah kakek-kakek dan (ngakunya) sudah males nulis. Penuh semangat sih mbacanya, maklum priyayinya sudah setahun lebih ndak posting. Ya siapa tahu ini ada humor baru bikinan beliau yang bisa digeguyu.

Satu, lima menit berlalu. Alis yang biasanya tipis tak berbentuk berubah menjadi mengkerut tanda otak saya benar-benar sedang digunakan untuk membaca hal serius. Postingan yang blas ndak dilirik admin untuk dijadikan headline ternyata adalah artikel yang ndak bercanda seperti biasanya. Sumprit itu tulisan mbikin njegrik. Isinya sungguh aktual, bermanfaat, inspiratif dan menarik tentu saja. Kalo ndak percaya mbok mampir sahaja.

Berangkat dari situlah, kemudian saya menulis ini. Tak kiranya cuma saya yang takut (kalau ndak boleh dibilang pengecut) dengan hestek-hestek keren yang sayangnya makin hari berubah jadi penuh kejumawaan dan makin sering berseliweran di linimasa pasca kejadian kamis kemarin. Bukannya saya tidak mendukung ajakan untuk senantiasa tidak takut dan melawan setiap teror yang sudah terjadi, karena semua bentuk terorisme memang sudah selayaknyalah untuk dilenyapkan diatas bumi ini apalagi kalau teror itu sudah menyangkut urusan hati. Tapi, menurut saya yang sense of  bahasa Indonesianya kurang  ganep ini, koq hestek tidak takut itu malih warni menjadi agak lebai dan terkesan nantang ya, mbok jangan gitu. Paranoia memang ndak keren, tapi mawas diri harus tetap dilakukan donk.

Ah tapi semoga ini hanya saya yang terlalu kebaperan karena pak  polisi ganteng yang membuat hestek kami naksir  ternyata terkonfirmasi sudah ndak jomblo lagi.Tu kan, saya selalu mudah terdistraksi kalo sudah menyangkut manusia ganteng gini, tak lanjutin lagi ceritanya boleh kan? Boleh donk ..ih kamu baik deh, saya jadi naksir.

***

Saya setuju kuadrat dengan tulisan pak AJ tentang horornya faham intoleran yang memang nyata ada di tengah-tengah kita semua. Lepas dari latar belakang entah itu agama, ras, suku atau golongan apapun, yang namanya intoleran itu mbebayani bagi perdamaian. Apalagi kalau sudah tak segan-segan untuk selalu menyebut menumpahkan darah …hiyaaaahh. Merinding bulu romaku saat ada yang menyerukan kalimat itu.

Menurut saya yang pengetahuannya serba terbatas ini, yang namanya intoleran itu koq tidak serta merta terjadi. Saya termasuk orang yang percaya bahwa manusia sejatinya dilahirkan dengan sifat kebaikan didalam hati masing-masing. Hanya saja dalam perjalanan hidup dan kehidupannya, tidak menutup kemungkinan mereka akan berubah haluan dan akhirnya menjadi mahluk intoleran yang menganut paham bahwa, kalo kamu ndak sama dengan aku maka kamu boleh saya tumpas. Opo ndak nggegirisi kalo gini.

Sayang seribu sayang, di zaman yang serba was wis wus canggihnya dimana dunia menjadi selebar layar hape, faham intoleran ini malah makin punya kekuatan yang berlipat ganda dan bereplikasi dengan sangat cepat. Ironis sebenarnya, karena seharusnya semakin maju peradaban, maka semakin maju pula pemikiran dan pemahaman tentang toleransi dan kebhinekaan. Entahlah ya, koq makin lama saya merasa manusia-manusia kian ganas dalam bereaksi menghadapi sesuatu. Ketenangan dan kejernihan pikiran seolah tidak diperlukan lagi dalam menelaah permasalahan. Pokoknya kecepatan yang jadi ukuran. Perihal ketepatan adalah hal nomor sekian yang bisa dikesampingkan. Tak heran akhirnya banyak hoax menyesatkan yang tersebar tanpa pernah terkonfirmasi kebenarannya namun terlanjur berdampak buruk.

***

Dari dulunya kita bangsa Indonesia sudah ditakdirkan dalam keberagaman, maka sudah seharusnyalah toleransi menjadi bagian dari perilaku sehari-hari. Toleransi tidak berarti menyeragamkan semua hal yang berbeda. Tetapi toleransi adalah bagaimana membuat hal-hal yang berbeda itu dapat hidup berdampingan dalam sebuah suasana yang penuh dengan kedamaian. Maka sudah seharusnyalah kita untuk selalu menolak faham intoleran atas nama apapun. Mosok sih mau kalah sama para jomblo yang toleransinya sangat tak berbatas itu. Apa pada ndak malu?

ahh..ini tulisan apa sih sebenarnya, ndak toleran blas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun