Berawal dari rekomendasi seorang kawan, saya pun memutuskan ngglundhung ke bioskop. Kebetulan waktunya pas karena saya sedang ingin nonton genre film action thriller yang mengandung unsur pembunuhan, tembak-tembakan, intrik, akal-akalan konspirasi dan penuh darah. Intinya saya sedang ingin melihat gelaran visual sadis nan brutal tapi pakai mikir sedikit, dan thanks God saya mendapatkannya disini.
Sicario (2015) judulnya, kalau tak salah cuplik artinya kurang lebih adalah pembunuh bayaran. Saya nonton saat hari pertama film ini tayang, tapi pas saya masuk ke theater saya hanya menjumpai beberapa gelintir manusia saja didalamnya tak lebih dari dua puluh, ah syukurlah batin saya sambil menarik kesimpulan bahwa yang rela membayar tiket adalah benar-benar penonton yang serius ingin melihat film.
Sengaja saya tak menilik review apapun sebelum menontonnya, hanya sekilas melihat rating di IMDB yang lumayan bagus di angka delapan, meski begitu saya tetap peduli dengan jajaran casting pemain dan sutradara, ternyata film ini dibesut oleh Denis Villeneuve sang sutradara asal kanada yang sebelumnya sukses membuat saya lengket di kursi saat menyaksikan kisah penculikan mendebarkan di film Prisoners (2013) dan berdecak kagum dengan suguhan thriller psikologisnya di film Enemy (2013)
Film langsung dibuka dengan adegan penyergapan oleh FBI dan tim SWAT di sebuah rumah kecil di Arizona yang diduga sebagai persembunyian kartel narkoba dan sandera-sanderanya, adrenalin penonton langsung dipompa dengan suguhan tembak-tembakan yang diselingi dengan penemuan puluhan mayat manusia di balik dinding rumah dengan kondisi mengerikan dan diakhiri dengan meledaknya bom di sebuah gudang persembunyian. Beberapa penonton di belakang saya pun kasak kusuk dalam euphoria, mungkin mereka tipikal penikmat crime thriller action kebanyakan, saya pun hanya mengulum senyum di tengah redupnya lampu bioskop sambil membatin ala pemeran antagonis di sinetron kita “ahhh, kamu pasti akan menemui fase disiksa sama Villeneuve mbak mas, tunggu saja waktunya, semoga njenengan tabah heuheuheuheu”
***
Kisah pun bergulir pasca kejadian itu, Kate Macer (Emily Blunt) yang menjadi pimpinan SWAT saat operasi penyergapan itu mendapat tugas untuk bergabung dengan CIA yang dipimpin Mat Graver (Josh Brolin), tugas ini bertujuan untuk menangkap kepala kartel narkoba di perbatasan amerika-meksiko, Macer hanya mendapat secuil informasi itu saja baik dari pimpinan di kesatuannya maupun dari Matt, namun prajurit mana yang bisa menolak perintah atasan, hierarkinya adalah siap Ndan,laksanakan! Begitu bukan, bukan begitu?
Dalam misi itu pula Macer bertemu dengan sosok lelaki misterius bernama Alejandro Gillick (Benicio del Toro), pria yang mengaku bisa berasal dari mana saja dan mendapat posisi penting dalam pelaksanaan misi berbahaya ini.
Dari sinilah cerita dimulai kembali, Villeuneuve mulai mempermainkan penonton dengan kejeniusannya mengontrol pergerakan plot dengan menampilkan visualisasi menawan dari berbagai sudut kamera. Adegan kebut-kebutan di jalanan meksiko yang rawan disajikan dengan sangat menegangkan, Juarez yang kumuh dan gelantungan mayat di kolong jembatan digambarkan dengan dramatis, apalagi dengan latar belakang music Johannsson sukses membuat penonton merasakan sebuah ketidaknyamanan yang mendebarkan yang berakhir klimaks di ketika jalan padat merayap karena mogoknya sebuah mobil.
Dari rentetan adegan menegangkan penonton diredakan dengan kekesalan Macer yang merasa dipermainkan dalam misi ini karena sama sekali buta dan tidak tahu apa yang sebenarnya tengah dihadapinya. Macer pun meminta rekannya Reggie (Daniel Kaluuya) untuk diikutsertakan dalam misi entahlah ini, karena dia kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa.
Bagaimana kisah ini akan berakhir? Sebaiknya monggo dipirsani sendiri di layar tancep terdekat mumpung masih gris kinys-kinyis tapi nggak pakai matang linggis. Yang jelas jika ingin menikmati film ini dengan nyaman, maka diperlukan sebuah kesabaran, perhatian dan ketelatenan merangkai adegan yach mirip-mirip kalau sedang mendekati gebetan supaya njenengan tidak merasa bosan, bingung dan akibatnya ngoceh-ngoceh sendiri dalam gedung bioskop karena sudah mentok, mau nerusin nonton ndak mudeng, mau keluar ruangan sayang duitnya…hwarakadah.
***
Apa yang dihadapi Kate dalam Sicario mungkin juga pernah dialami njenengan, bahwa dalam kehidupan nyata seringkali kita tidak bisa menghadapi sesuatu yang jelas dibedakan yaitu hitam dan putih saja, manusia mau tidak mau juga harus bermain dalam zona abu-abu yang bisa membuat langkah manusia menjadi gamang antara menegakkan idealisme dan bersikap professional.
Emily Blunt sukses memainkan karakter Kate yang mengalami tekanan psikologis luar biasa yang mampu mendegradasi mental dan kepercayaan dirinya, Kate adalah tokoh utama yang tidak kuasa untuk berbuat apa-apa sehingga seolah menjadi representasi penonton yang kemudian hanya bisa menjadi saksi bahwa walaupun tak ingin, hal itu toh harus dilakukan juga, dan kegalauan maha dahsyat itu dimainkan Blunt dengan sangat apik.
Di jajaran pemain selanjutnya adalah Josh Brolin yang memerankan agen CIA angkuh, slengekan, semaunya namun pedenya level akut. Ahh kalau bapak yang satu ini sih tak perlu lagi saya komentari aktingnya, sangat menyebalkan tentunya, menyebalkan dalam arti luar biasa tentunya.
Namun tentu saja saya harus angkat topi untuk permainan Benicio del Toro yang memerankan Alejandro, tokoh kunci yang misterus dalam misi yang misterius ini dimainkan dengan sangat sempurna, rapuh tapi garang, sesaat bisa menjadi pribadi baik tapi selanjutnya berubah menjadi keji tak berperi. Alejandro adalah kunci dari misi misterius ini, dan semuanya akan terjawab sebelum adegan berakhir.
***
Tak salah kalau film ini menerima nominasi di ajang Cannes, Sicario bukanlah film Crime Thriller biasa yang hanya menggabungkan aksi dan drama disana sini, film ini lebih menjual sebuah cerita yang sebenarnya juga ada dalam hidup ini, ada kepentingan-kepentingan yang lebih tinggi dari sebuah peristiwa, bahwa kebenaran mutlak akan mengalahkan ketidakbenaran adalah sebuah hal yang sedikit mustahil karena semua orang berhak mengklaim kebenaran dari versinya sendiri dan itulah yang terjadi.
Oh ya, mendadak saya ingin nggambleh, sungguh tidak ada maksud dalam benak saya yang kerdil untuk membawa sebuah sentimen tertentu, namun seperti sering terlihat di film-film mafia atau kartel narkoba, para pemimpin organisasi kejahatan ini selalu digambarkan sebagai pribadi yang taat agama dan sayang keluarga, pikiran saya kemudian menerawang dengan membandingkan para penjahat negeri yang terlibat dalam kasus ngemplangi duit rakyat cilik dan koq ndilalah sebagian besar dari mereka juga cerminan manusia saleh yang lagi-lagi memiliki keluarga yang apik dan bernorma, dimanakah letak agama bagi mereka ataukah sesungguhnya cukuplah berbuat baik kepada keluarga dan orang-orang yang dicintai saja, karena orang-orang diluar lingkaran itu hanyalah butiran debu yang hanya sanggup menjadi klilip dan menyakitkan mata sahaja. Ahh apa yang kita lihat memang sering hanya sebuah fatamorgana, ah serius amat saya kaya orang sok pintar saja.
-------------------------------0oo0--------------------------------
Selamat menonton ya, tapi sekali lagi ratingnya R lho, mohon untuk tidak mengajak putra putrinya kalau njenengan masih kasihan sama mereka, salam.
gambar dari IMDB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H