[caption id="attachment_292945" align="aligncenter" width="584" caption="www.imdb.com"][/caption] Ketika tiba-tiba hidung tak lagi bisa mencium aroma dan lidah tak dapat lagi menyecap rasa? Ternyata semua hanya sebuah awal, masih akan ada yang hilang darimu...
***
Well, sebenarnya saya mau nggambleh soal filmnya mas Leo, Wolf of Wall Street, tapi berhubung saya bingung mau mengetik darimana akhirnya saya pindah haluan dulu deh mbahas film yang agak jadul karena digarap tahun 2011 yang lalu. Mendung-mendung kan enaknya bahas yang jadul #ehh nggak nyambung ya hihihi.
Awalnya menonton film ini gara-gara saya penasaran sama Eva Green yang sedang diomongin sama teman-teman  pada satu obrolan random nan geje di suatu petang, agak-agak lupa saya sama mbak satu ini. Browsing browsing dan ternyata saya malah punya film nya di lepi yang belum pernah saya tonton. Hmm dari judul dan poster filmnya yang mesra banget (tanpa membaca review apapun) saya yakin kalau ini film romantis hihi, ya sekali kali bolehlah nonton film percintaan walaupun nasib saya masih jauh dari si untung sodaranya donald bebek wkwkwk. Tapi saudara-saudara apa yang terjadi? Ternyata film ini nggak seperti yang saya duga sebelumnya.
Perfect Sense disutradari David Mackenzie dan diproduksi patungan oleh BBC film dkk (maaf saya lupa hehe). Berkisah tentang Michael (Ewan Mc Gregor) seorang koki dan Susan (Eva Green) seorang epidemiologis. Seperti kisah romantis lainnya mereka juga dipertemukan dalam suatu ketidaksengajaan yang menyenangkan. Tetapi menyimak narasi pembukanya yang keren, saya akhirnya ngeh kalau ini bukan sekedar film cinta biasa.
Kalau  pernah menonton Contangion (2011) garapan Steven Soderbergh yang bertebaran bintang dari Kate Winslet sampai Matt Damon,  film ini memiliki sedikit kemiripan tentang ide cerita, ide dimana kiamat akan segera mengguncang dunia karena adanya suatu wabah penyakit baru. Jika di Contangion wabah menyebar dengan cepat, membunuh orang-orang dengan gambaran yang realistis dan menyeramkan, tidak demikian adanya dengan Perfect Sense yang menampilkan gambaran wabah dengan lebih absurd,  indah, pelan, namun sangat mengerikan . Apalagi didukung dengan latar belakang kota Glasgow yang suram dan kelabu semakin membuat film terasa pedih menyakitkan.
***
Oke, namanya juga film, semoga saja cerita ini memang akan tetap menjadi fiksi belaka. Semua dimulai dengan hilangnya indra penciuman . Manusia sudah tidak bisa membaui apapun, dari wangi bunga yang sangat menyenangkan, bau sejuk udara, wangi segar buah-buahan hingga manusia akhirnya merindukan bisa mencium bau busuk yang tidak pernah disukainya dulu. Hilangnya indra penciuman diikuti pula dengan hilangnya indra perasa. Semua makanan yang masuk tidak pernah bisa dirasakan lagi, tak ada rasa asin, manis, asam, pahit yang dulu selalu menyapa lidah. Tak ada lagi makanan mahal yang enak, karena semuanya sama, semua tak punya rasa. Dari satu orang, penyakit  mulai menyebar sedikit demi sedikit hingga ke seluruh dunia.
Kehilangan dua indra tak membuat penderitaan manusia di bumi berakhir, berangsur telinga pun menjadi tak bisa lagi mendengar, emosi mulai tak terkendali. Manusia menjadi kalap, marah dan saling menyerang, namun kemudian mulai menjadi tenang dan beradaptasi kembali seperti saat indra pertama mereka terenggut. Dapatkah wabah penyakit yang bahkan tidak diketahui nama dan asalnya ini bisa dihentikan? Mangga dipirsani sendiri jika ada kawan yang tertarik untuk menontonnya.
***
Apapun itu, Perfect Sense adalah sebuah kisah tentang kekuatan cinta. Bagaimana cinta akhirnya membuat manusia bisa menemukan makna diri di tengah segala kesulitan yang dihadapi. Beradaptasi, mungkin satu-satunya jalan agar manusia tetap bertahan menghadapi hidup dan ketakutan mereka sampai lembaran hidup kita berakhir.
Film ini bagus kalau boleh saya bilang , Mc Gregor dan Eva Green tampil meyakinkan sebagai manusia-manusia kesepian dan berusaha menemukan cinta, tapi menurut saya sebagai pasangan koq mereka seperti kurang klik atau apalah chemistry gitu. Jadi romantisme yang dilakoni terasa hambar dan kurang meyakinkan. Satu lagi, jujur saya koq agak terganggu dengan banyaknya adegan percintaan yang terlalu banyak porsinya, padahal konon kalau scene yang banyak menampilkan keseksian mbak Eva ini dikurangi toh tidak akan mempengaruhi jalannya cerita, eh tapi ya nggak tahu nding kalau yang lain malah suka hahaha.
***
Manusia, ya manusia atau sebutlah sebagian besar dari kita pasti akan berdoa untuk hal yang terbaik, namun mereka tetap menyiapkan diri untuk yang terburuk, walaupun ketika hal buruk itu benar-benar datang, tak semua dari kita akan siap dan tegar menghadapi. Hidup bukan sebuah simulasi, yang bisa diulang ketika hasilnya tak sesuai kehendak diri...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H