[caption id="attachment_312521" align="aligncenter" width="518" caption="@iinlho"][/caption]
Mungkin sudah banyak yang membaca novel ini, tapi mungkin tak ada salahnya juga jika saya me reviewnya sedikit dengan kacamata nggambleh tentu saja, sebagai pengingat bahwa saya pernah membaca novel penuh makna dan inspirasi ini.
Re: ,membaca judulnya selintas di sebuah toko buku satu setengah bulan yang lampau, tapi belum sempat untuk membawanya pulang. Selang beberapa waktu kembali lagi ke toko buku yang berbeda tapi sama namanya, mata saya jelalatan mencari novel yang tak seberapa tebal, ternyata setelah bertanya kepada mbak cantik pramuniaga dijawab stocknya lagi habis, okay deh mbak.
Beberapa minggu terlewati walaupun saya agak penasaran dengan novel yang hanya terdiri dari dua huruf dan satu tanda baca ini tapi tak lantas membuat saya mencari tahu lebih lanjut dengan browsing kesana kemari. Saya lebih senang membiarkan sesuatu memiliki tabir dan akan saya buka sendiri disaat yang tepat nanti.
***
Dan akhirnya dua hari yang lalu saat menyambangi toko buku yang berbeda lagi namun dengan nama yang selalu sama itu saya melihat novel incaran terpajang di rak yang sangat mencolok mata. Saya pun mencomot dan membaca resensi di bagian belakang novel, wah sepertinya ceritanya seru, dunia prostitusi yang dihiasi dengan kejahatan , darah, dendam dan airmata. Nah pas saya lihat bagian kanan bawah ada tandanya 18+ khusus dewasa, eaaaaa…seketika saya meragu, aduh gimana ini, eh tapi kemudian saya teringat oh iya kan saya baru saja merayakan ultah ke 18 jadi sah-sah saja donk kalau saya membelinya* terus dikepruk pembaca*
Namanya juga orang dudul, pas hendak nyemplungin novel dalam tas belanja baru kepikiran, eh ini novel pengarangnya siapa sih main beli aja saya gara-gara lihat peringatan khusus dewasa, saya pun membaca namanya Maman Suherman, deg ..ehh koq namanya familiar ya, dengan berusaha sekuat tenaga kuda lusitanonya pak capres akhirnya saya ingat juga, woo iya ini bukannya kang Maman No Tulen favorit saya di ILK yang selalu menutup acara dengan untaian kata-kata bermakna nan mak jleb itu ya bwahaha, maka dengan semangat piala dunia 2014 saya pun membawa buku bersampul warna gado-gado hitam,biru,putih pulang ke kandang.
***
Niat hati mau membaca buku esok hari selepas nguli, tapi karena sudah penasaran maka saya pun bersegera melahap kalimat demi kalimat, dan dalam sekali baca sekitar satu jam lamanya, novel 160 halaman itu telah tuntas masuk dalam ruang pikir saya yang tak seberapa. Apa yang terjadi setelahnya? Saya hanya bisa speechless , menyeka butiran air mata dan sedikit umbel dengan kertas tissue. Iya, saya nangis saudara-saudara, sungguh cerita yang luar biasa, pahit, getir, namun penuh perjuangan. Dan satu alasan kuat mengapa saya yang begitu antagonisnya ini bisa menangis adalah bahwa Re: tokoh utama novel ini dan cerita di dalamnya adalah nyata, sosoknya bukan rekaan.
Ah Kang Maman menghancurkan hatiku, kenapa cerita mengharu biru ini pernah sungguh-sungguh terjadi, ya novel ini mulanya adalah sebuah skripsi yang ditulis kang Maman sendiri dan mendeskripsikan tentang dunia pelacuran ibukota akhir tahun 80-an dengan segala intrik serta kriminalitas didalamnya , dan setelah 25 tahun berselang ternyata semuanya masih relevan tak banyak berubah, sungguh menyedihkan.
***
Re: seorang perempuan, ia pelacur (demikian semua orang di dunia menyebutkan nama profesinya), pelacur lesbian tepatnya, katanya namanya adalah Rere, tapi kata Re: lagi tak usah dibahas perihal siapa nama aslinya, toh tak ada gunanya juga. Seperti kebanyakan kisah yang ada ,Re: tidak terjun dalam dunia prostitusi dengan kerelaan hati. Kondisi kehidupan yang serba kelam bahkan sebelum dia dilahirkanlah yang akhirnya secara tak sengaja menjerumuskannya sebagai pemuas nafsu manusia-manusia pemuja syahwat.
Dalam perjalanan hidupnya Re: bertemu dengan Herman, seorang wartawan sekaligus mahasiswa jurusan Kriminologi yang sedang menyusun skripsi tentang pemerasan dalam dunia pelacuran, pelacuran lesbian tepatnya. Ya, Re: adalah bahan skripsi Herman, tapi seiring berjalannya waktu Re: tidak lagi menjadi obyek penelitian , bukan pula seorang hina dina bernama pelacur ,namun Re: sudah menjelma menjadi sesosok perempuan yang mengagumkan bagi Herman, perempuan tangguh yang tidak pernah menyalahkan nasib buruk yang selalu menimpanya, perempuan luar biasa yang selalu bisa menertawakan hidupnya sendiri dikala tak ada lagi hal membahagiakan yang bisa digapainya. Bahwa hidup memang harus diperjuangkan, bahwa hidup memang harus punya tujuan sekalipun tahu bahwa hidupmu tidak akan pernah merdeka.
***
Membaca Re: dari halaman satu ke halaman berikutnya membuat saya berkali kali menghela nafas, kisah demi kisah yang tersaji membuat saya kembali berpikir tentang perempuan, tentang perdagangan manusia terutama perempuan dan anak-anak serta kekerasan yang melingkupinya. Bahwa isu yang sepertinya baru terdengar beberapa waktu belakangan ini sudah terjadi puluhan tahun yang lalu dengan jumlah kasus dan tingkat kekerasan yang sama sadisnya.
Membaca Re: membuat saya kembali bercermin bahwa mereka para penjaja seks, para pelacur dan sampah masyarakat itu juga bagian dari kita, mereka ada dan menyandang profesi itu dengan segala risiko yang mungkin tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Mereka adalah kupu-kupu malam yang seperti Titik Puspa bilang bekerja bertaruh seluruh jiwa raga. Sungguhkan tak ada kontribusi kita sebagai bagian dari masyarakat beradab terhadap keberadaan mereka?
Tak ada satu perempuan pun didunia ini yang bercita-cita seperti Re: , bahkan disaat akhirnya mereka terbenam ke dalamnya selalu ada saja niat, keinginan dan usaha untuk bisa lepas dari jerat lingkaran pelacuran, tapi tetap saja tak semuanya berhasil, bukan karena kurangnya motivasi diri namun seringkali karena berhenti melacur sama dengan berhenti menginjak bumi.
***
Momen mengharukan yang akan selalu saya ingat adalah saat Re: menyuruh Herman untuk memeluk Melur anak perempuannya, pelukan yang ditujukan untuk mewakilinya sebagai ibu karena Re: tidak mau anaknya tersentuh keringat seorang pelacur. Perempuan mana didunia yang tidak teriris hatinya ketika tak mampu untuk memeluk anaknya sendiri. sakit, perih namun itulah kesadaran yang Re: bangun demi kebaikan anaknya kelak.
Akhirnya satu yang bisa saya sampaikan, bahwa Re: adalah novel yang inspiratif , sangat layak baca dan menjadi penghuni rak koleksi buku teman-teman semua. Bahwa tak semua orang yang kita anggap tak layak menjadi bagian dalam tata kehidupan normal terkadang malah mampu menjadi cerminan yang memberi pelajaran tentang hidup dan kehidupan. Selamat membaca dan merenung didalamnya
***
Sepenggal bait puisi dari Re: saya nukilkan disini
Man,
Kalau mau ikut surgakan aku,
Tuntaskan skripsimu,
Tulis apa adanya, kabarkan tentangku
Dan tentang duniaku
Jaga dan peluk Melur, untukku.
Bisikkan selalu:
“Nak, ibumu mencintaimu”
- Judul buku : Re:
- Penulis : Maman Suherman
- Tebal : vi + 160; 13x20 cm
- Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H