Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja yang Tak Jingga

4 Mei 2020   11:53 Diperbarui: 21 April 2022   08:35 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia Formosa, terlihat indah sebatas sosial media. Tidak di kehidupan nyata, tidak di depan mata. Tak semua dari kami hobi mengumbar kesedihan dan airmata. Tak sedikit dari kami yang mengulum dalam-dalam sedih dan luka. Glamour dan foya hanya kibasan penat yang tersisa. 

Di ujung-ujung persinggahan di saat libur itulah kami hempasan bulir-bulir lara yang kami bawa dari rumah luka. Ya, rumah luka. Yang di dalamnya ada kami yang datang untuk meninggalkan sanak keluarga. Yang di dalamnya ada airmata kami yang diperas dengan harta. Yang di dalamnya ada harga diri kami yang dibeli dengan banyak aturan mereka. 

Aku berjalan menyusuri komplek perumahan dimana aku tinggal untuk merawat orangtua. Setiap pagi sekitar pukul sembilan pagi kubawa kakek jalan kaki sekaligus berjemur di luar rumah. 

Daerahku masih dekat dengan Taichung Kota, Wuri District tepatnya. Pertama kali mendengar kata "district" imajinasiku  menjalar pada kokohnya gedung-gedung yang besar dan tinggi menjulang, pada ramainya jalan raya dengan panorama bus-bus besar dan kendaraan beraneka ragam. 

Tempat-tempat perbelanjaan yang tak pernah sepi. Serta pasar-pasar swalayan yang banyak ditemui di setiap perempatan jalan. Maklum, tiga tahun bekerja di Taiwan, baru sekarang aku tinggal di perkotaan. 

Sebelumnya, aku tinggal di atas gunung yang jauh dari keramaian. Pindah dari atas gunung, aku kembali bekerja menjaga nenek di daerah perkebunan selama lebih dari dua tahun. Dan sekarang, barulah nasib melemparku di tengah kota besar. Tuhan memang adil.

"Mbak, baru datang, ya?" Seseorang menegurku.

Aku menoleh dan menyunggingkan senyum tipis padanya. "Iya, Mbak."

"Datang kapan?"

"Baru beberapa hari."

"Oo...."

Setelah bertegur sapa sebentar, aku kembali melanjutkan olahraga kecilku dengan kakek. Dalam benak aku berpikir, dari raut wajahnya, sepertinya dia sudah lama bekerja di sini. Terlihat tegas dan tidak canggung. Tapi ternyata pemikiranku salah. 

Pada pertemuan-pertemuan kami selanjutnya, dia memberiku nomer telepon dan bercerita bahwa ia baru setahun lebih di sini. Persepsiku pada pertemuan pertama yang kukira majikannya baik ternyata salah total. 

Justru ia sangat tertekan, nenek yang ia jaga sangat kasar dan cerewet. Ia tidak boleh keluar rumah membeli sesuatu. Bahkan neneknya pernah memakinya habis-habisan saat ia ketahuan salat.

Fase ini merupakan fase terberat kami sebagai pejuang devisa yang bekerja di negara non muslim. Dalam kesibukan kerja sehari-hari dengan waktu istirahat yang minim sekali, masih banyak majikan yang tidak memperbolehkan kami untuk salat apalagi puasa. 

Alasan-alasan mereka tak jauh-jauh perihal ketentuan agama mereka di rumah yang tidak suka apabila ada unsur agama lain di dalamnya. Lalu, bukankah mereka tahu bahwa mayoritas orang Indonesia beragama muslim? 

Lantas mengapa mereka tidak mengizinkan kami untuk menyembah Tuhan kami dengan cara kami, seperti mereka menyembah Tuhan mereka dengan cara mereka? Kenapa nilai-nilai kemanusiaan bisa kalah dengan arogansi dan egoisme semata? Kenapa kebanyakan dari mereka berpikir, bahwa harga diri kami bisa digadaikan dengan perjanjian kerja?

Semakin lama kami semakin sering memberi pesan sekedar berbagi keluh kesah karena tekanan dari majikan kami masing-masing. Aku jadi tahu, teman pertama serta temanku satu-satunya di sini itu bernama Maya Az-zahra. Nama yang cantik, sepadan dengan karakternya yang sabar dan ikhlas. 

Wajahnya bulat, tenang dan teduh. Rambutnya hitam pendek. Dalam kesedihan hati, ia masih sempat menyunggingkan senyum setiap kali bertemu denganku. Seperti senyum tulus seorang kakak untuk adiknya, sangat menyejukkan. 

Mbak Maya bercerita bahwa dia tidak mendapat keadilan di rumah itu. Jam istirahatnya kurang serta gajinya sering dipotong untuk membeli sarapan. Padahal semestinya, uang makan tiga kali sehari itu adalah tanggung jawab daripada majikan.

Seperti yang aku katakan, kebanyakan rumah yang kami singgahi adalah rumah luka, yang di dalamnya ada airmata kami yang dibayar dengan kontrak kerja. Menyedihkan!

Di belakang komplek rumah Mbak Maya adalah rumah tempatku tinggal. Rumah lantai tiga yang sangat sempit dengan barang-barang aneh yang menumpuk di sana sini menjadi pemandangan yang setiap waktu tersantap kedua mataku. Lantai tiga merupakan gudang sekaligus tempat melukis majikanku yang merupakan seorang guru kesenian. 

Lantai dua adalah kamarnya dengan satu kamar lagi untuk kakaknya jika mudik dari Taipei. Dan lantai satu adalah ruang tamu kecil yang disulap menjadi tempat tidur kakek, ruang televisi dan dapur. Sedang aku, aku tidur di sofa panjang di depan televisi. Kondisi seperti ini membuatku jarang istirahat cukup apalagi tidur nyenyak. 

Suara bising majikanku saat pulang mengajar membuatku selalu terjaga hingga larut malam. Yang lebih parah, majikanku adalah manusia yang terkenal temperamental. 

Ia seorang wanita single yang tidak menikah. Kesehariannya hanya marah-marah tidak jelas baik terhadapku maupun ayahnya sendiri. Kondisi rumah ini tak beda jauh dengan rumah dimana Mbak Maya tinggal, menyedihkan!

"Sudah enam orang lho, Neng. Yang keluar dari rumah majikanmu. Dua diantaranya memilih pulang ke Indonesia karena tidak diizinkan pindah. Kamu yang ke-tujuh, dan itu belum setahun."

"Hahh? Separah itukah?" Aku terkejut bukan main mendengar pengakuan Mbak Maya.

"Iya, orang majikanmu itu kurang waras. Yang sabar saja, ya." 

"Iya, Mbak. Memang benar, dia itu seperti punya kelainan, tingkat emosinya di atas rata-rata." Jelasku.

Satu-satunya orang yang membuatku bertahan dengan keadaan ini adalah Mbak Maya. Sejenak aku merenung, keadaan seperti tak sekali dua kali kurasakan. Setiap kali dalam kesusahan, kesedihan, selalunya pasti Tuhan memberikan sahabat yang membuat aku berat memilih pergi.

 Kedekatanku dengan Mbak Maya memberiku kekuatan untuk tetap tinggal. Saat majikanku pergi, aku menyempatkan diri keluar membeli makan. Tak pernah lupa aku bawakan makanan juga untuk Mbak Maya. 

Betapa senangnya dia, karena sejauh ini dia tak pernah diizinkan keluar walau sebentar oleh neneknya. Makanan yang ia makan hanya apa yang disediakan oleh keluarga majikannya. 

Pernah satu kali dia izin membeli ayam goreng di perempatan jalan untuk kami berdua. Saat pulang neneknya marah besar. Sampai sekarang ia tak diizinkan lagi untuk keluar. 

Sungguh keadaan yang sangat menyedihkan. Entah apa jadinya kalau bukan dia yang bekerja di sana. Aku tidak yakin orang lain akan bertahan sekuat itu, termasuk aku.

Setiap ada pertemuan selalunya ada perpisahan. Kita dihidupkan memang untuk mati, artinya segala kesenangan pasti memiliki batasan. Persahabatanku dengan Mbak Maya memang sudah berakhir di Wuri. 

Tetapi persahabatan kami lewat ruang maya masih berlanjut hingga detik ini. Satu tahun terlewati, rasanya baru kemarin aku makan humberger dengan segelas coca-cola yang kemudian aku bungkus juga untuknya makan. 

Rasanya baru kemarin ia pergi medikal dan memberiku dua buah telur asin untukku makan. Rasanya baru kemarin aku berlari-lari di bawah senja dengan keindahan jingga untuk mengambil ayam goreng yang ia belikan. Dan rasanya baru kemarin di bawah hujan kupesankan ayam bakar dari toko Indonesia di pertemuan terakhirku dengannya.

Senja di hari itu, dengan jingga yang bersembunyi dari balik awan, dengan gerimis yang turun membasahi tanah Wuri. Kami, orang-orang kurang beruntung yang berpijak di negara asing. Orang-orang yang lebih nyaman diam daripada melawan. 

Senja yang tak jingga itu menjadi kali terakhir aku bertatap muka dengan sahabat baikku. Pelukan demi pelukan mengantarkan kami pada perpisahan. Aku mengajaknya untuk berani memperjuangkan hak-haknya.

 Perihal gajinya yang dipotong untuk membeli sarapan, itu kesalahan yang sangat nyata untuk dilaporkan. Tetapi ia masih saja sama. Ia kukuh mengalah dalam diam. Ia tak mau memperjuangkan hak-haknya karena takut dengan keadaan. 

Keadaan dimana ejensi sama sekali tak memihaknya. Keadaan dimana tak ada orang yang mendukung apalagi membantunya. Keadaan dimana satu-satunya sahabat malah pergi meninggalkannya. Ia masih sendiri dengan bersandar pada kasih Tuhannya. Melalui hari demi hari dengan mengulum luka demi luka yang menganga di hatinya. 

Keserakahan para ejensi dan majikan masih menyebar rata di atas tanah Formosa. Masih banyak kawan-kawan kami yang dipaksa bekerja di luar perjanjian kontrak. Masih banyak kawan-kawan kami yang memilih diam di rumah luka karena kalah dengan kelicikan mereka. 

Tak sedikit juga dari kami yang memilih kabur dari sana, kemudian dicap begitu buruk oleh semua mata. Padahal pokok permasalahan kebanyakan adalah dari ejensi dan majikan yang memperlakukan kami semena-mena. Hidup itu memang sebuah perjalanan. 

Perjalanan untuk diam atau melawan. Perjalanan untuk maju atau mundur. Perjalanan untuk kalah atau menang. Senja demi senja yang kutatap setelah kemenanganku keluar dari ejensi dan majikan gila itu nampak lebih indah dari biasanya. Sedang senja yang ia tatap dalam rumah luka itu masih tetap sama tak berwarna, senja yang tak menjingga. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun