Oleh; Iin Indriyani
"Itu 'kan habbluminallaah-nya dia. Habbluminannaas-nya dia, mana?"
Jawaban yang meletup dari mulutnya langsung menarik kesadaranku. Suara itu terdengar amat lembut. Halus sekali. Saat itu aku bercerita tentang masalah yang kuhadapi. Aku meminta nasihat darinya, berharap setetes embun akan membasahi hatiku.Â
Namun ternyata tak hanya embun. Melainkan gerimis yang turun di tengah musim panas yang menggila. Perempuan mana yang tak tersentuh hatinya, apabila berhadapan dengan lelaki selembut dia?Â
Dia? Ya, dia. Awal perkenalan kami pada tahun 2013 lalu. Saat itu aku hendak pulang ke kota kelahiranku, Indramayu. Aku naik bis umum dari Bandung dengan satu kali transit untuk makan siang di Subang.Â
Pada saat turun dari bis itulah awal mula pertemuan kami. Namanya sengaja kusembunyikan. Dia orang yang sangat sederhana. Wajahnya tak menampakkan bahwa dia orang Indramayu.Â
Dia seperti orang sunda pada umumnya. Mungkin karena wajahnya bersih dipadu kacamata putih yang melingkar di kedua matanya. Jujur saja, aku sempat mentertawakan dia saat kami hendak membayar tagihan makanan di kasir.Â
Lantaran, dia menyebutkan salah satu nama makanan khas Indramayu dengan logat yang cukup kental. Akan tetapi, dia tidak merespon. Hanya tertawa kecil tanpa makna. Aku pun berlalu begitu saja sembari masuk kembali ke dalam bis.
Sepuluh menit kulepaskan kantuk dengan sebotol minuman segar rasa jeruk. Kutatap jalan raya yang penuh dengan lalu lalang kendaraan dengan tatapan letih. "Masih sangat jauh." Pikirku.
"Hai, boleh duduk di sini?" suara lelaki menarik kesadaranku.
"Eh, oh, anu, iya. Silahkan duduk, Mas." Jawabku, agak grogi.