"Maksudmu?" Ia beralih menatapku.
"Bukankah kau selalu bilang, kau ingin pulang? Tanpa keberhasilan. Kau ingin diam di rumah dan bekerja apapun di sana. Lalu untuk apa kau datang kesini? Menghabiskan banyak dana pemberangkatan dan waktu yang tidak sebentar."
"Aku ada janji yang harus aku tepati. Tidak enakan. Besok-besok kita bisa jalan lagi."
Aku hanya mengangguk.
Di saat bertemu, tak ingin cepat berpisah. Aku dapat melihat dari pancaran matanya. Apakah kami memang hanya berteman? Tapi aku tak merasa bahwa kami menjalin hubungan. Apalagi berkomitmen. Semuanya terlewati biasa saja.
Perasaan yang sederhana. Obrolan-obrolan yang sederhana. Belum pernah mengarah ke hal-hal serius, selain pembicaraan tentang organisasi islam dan pencak silat yang ia ikuti. Tapi jujur, ada ketenangan lain sejak aku mengenalnya. Setengah tahunan lalu, lewat perkenalan yang begitu singkat, dari skenario Tuhan yang maha indah.Â
8 Juni 2019,
Kereta berjalan cepat. Setelah menyelesaikan urusanku di Changhua, aku bergegas kembali ke Taichung. Dengan langkah letih, kedua kakiku keluar dari gerbong. Ke kanan atau ke kiri? Otakku reflek bertanya pada alam bawah sadarku.
Seseorang berbadan tinggi, kurus, lewat di depanku. Dia memakai jaket Syekhermania yang merupakan Organisasi Pecinta Habib Syech di Taiwan. Reflek juga aku mengikuti dia sampai ke eskalator.
Aku berusaha mengintip wajahnya dari samping. Barangkali aku kenal. Dia menoleh sungkan. Lalu menunduk. Ternyata bukan salah satu temanku di Organisasi itu. Tetapi entah mengapa, hatiku ingin sekali menegurnya.
"Mas, maaf. Anak Syekhermania, ya?" Dengan percaya diri, kusapa dia.