Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku yang Tak Terlihat

29 Februari 2020   23:20 Diperbarui: 27 Maret 2020   07:00 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tidak tahu asalku darimana. Aku tidak tahu orangtuaku siapa. Aku tidak tahu apakah aku punya saudara. Aku tidak tahu di Puskesmas mana aku dilahirkan. Sungguh, aku tidak tahu. Sejak kecil aku tinggal dengan seorang Nenek tua yang tak bisa bicara. Di gubuk reot beratap rajutan daun kelapa. Yang jika hujan, air masuk kemana-mana. Sering aku bertanya, aku ini anak siapa? Tetapi Nenek tak pernah menjawab. Jelas saja, Nenek bisu cukup lama. 

Tetangga bilang, aku ini anak pungut. Yang tidak diinginkan kelahirannya. Hatiku selalu bertanya-tanya, apakah ada manusia sekejam mereka? Orangtua kandungku? Kenapa mereka memberikanku pada orang lain? Kenapa mereka tidak membunuhku saja? Bukankah aku tidak akan merepotkan Nenek bisu yang sebatangkara ini? Kenapa hidup amat kejam kepadaku?

"Hai, Mamat. Apa kamu tidak mau sekolah? Apa kamu hanya ingin mengamen sampai besar nanti? Apa kamu tidak punya cita-cita. Hahaha.." 

Aku selalu diejek oleh pertanyaan-pertanyaan yang sangat menyedihkan. Siapa yang tidak mau sekolah? Semua orang pasti ingin sekolah. Tapi melihat mereka seperti itu, membuat aku tidak terlalu rugi tidak sekolah. Lihatlah mereka, apakah anak sekolah dididik seperti itu? Mengejek, menghina, merendahkan? Kalau begitu, lebih baik aku jadi pengamen yang punya sopan santun. 

Namaku bukan Mamat. Tapi Ahmad. Karena Nenek bisu, jadi beliau tidak bisa mengucap namaku dengan benar. Tak apalah, Mamat atau Ahmad bagiku sama saja. Aku anak jalanan, seorang pengemis cilik yang tak pernah terlihat. Siapa juga yang peduli padaku? Tidak ada. Hanya Nenek saja yang akan mencari-cari aku, jika sampai malam aku belum pulang dari mengamen di jalanan.

Suatu hari, aku pernah pulang larut malam karena sebuah kejadian. Aku hendak membeli makanan di warung. Uang hasil mengamenku seharian. Lumayan, dapat dua puluh dua ribu. Hari itu aku ingin sekali beli ikan goreng yang besar untuk Nenek. Kasihan, setiap hari beliau hanya makan tempe dan tahu. Tapi niat baikku gagal. Keluar dari warung makan, aku melihat orang gila wanita yang sedang mengorek-orek sampah. Aku yakin, dia kelaparan. Seketika aku sedih. Ia pasti sangat lapar. Aku tambah kaget saat melihat perutnya yang besar. Ya ampun, wanita gila itu hamil. 

Aku tak habis pikir kenapa dia bisa hamil. Satu bungkus nasi dengan ikan goreng berukuran besar langsung aku berikan padanya. Awalnya aku merasa takut. Matanya melotot ke arahku. Rambutnya pendek tak terawat. Mirip sarang burung pipit yang nangkring di sawah-sawah. Amburadul.

"Ini ada makanan. Ibu boleh makan." Aku berkata sedikit gemetar. Takut ia akan menyakiti tubuhku. Kelihatan galak orangnya.

Wanita gila itu langsung mengambil bungkusan nasi dari tanganku. Membukanya dengan cepat, dan makan dengan lahap. Melihat pemandangan itu, aku tergugu. Ternyata berbagi itu indah. Dan berbuat baik itu tidak susah. Amatlah sederhana. Paling tidak sebungkus nasi itu bisa mengganjal perut buncitnya hingga esok hari. Akan tetapi, akupun menitikkan airmata. Nenekku belum makan. Perutku sendiri lapar. Sangat lapar. Tapi uangku tak cukup membeli sebungkus makanan lagi. Sisa tiga ribu saja. 

Akhirnya aku tidak jadi pulang. Aku kembali ke terminal dan kembali mengamen di pinggiran jalan. Berharap ada orang yang mau berbagi. Rezeki yang mereka dapat dari kasih Tuhan. Lama kugerakkan kecrek di depan banyak orang. Aku tak sengaja melihat dompet salah seorang bapak yang terjatuh di depanku. Bapak itu tidak tahu. Secepatnya kuambil dan kukejar bapak tersebut. 

"Maaf, Pak. Ini dompetnya jatuh." Aku berkata dengan napas ngos-ngosan.

"Ya ampun. Kok saya tidak tahu. Terima kasih ya, Nak. Kamu baik sekali." Bapak itu mengelus kepalaku. 

"Sama-sama, Pak."

"Apa kamu sudah makan, Nak? Ayo kita mampir di warung makan. Biar bapak yang bayar."

"Tidak usah, Pak. Biar saya pergi saja. Nenek saya pasti menunggu di rumah."

"Kalau begitu, ikut bapak sebentar saja, ya."

Aku tidak dapat menolak. Pancaran mata bapak itu terlihat begitu tulus. Beliau mengajakku masuk ke minimarket. Menyuruhku untuk membeli makanan apapun yang aku sukai sebagai tanda terima kasih. Aku tidak enakan. Nenek mengajariku untuk tidak mengambil kesempatan dalam kesempitan. Tetapi beliau terus meyakinkan aku dengan ajakan tulusnya. Aku tak enak hati menolaknya. Mungkin ini rezeki dari Tuhan yang wajib aku syukuri. 

Keluar minimarket, bapak itupun membelikan aku dua bungkus nasi goreng lengkap dengan ayam goreng yang besar-besar. Wah, sudah lama sekali aku tidak makan enak. Nenek pasti akan suka. Setelah berpamitan dan berterima kasih, aku pulang. Sampai di rumah benar saja, Nenek menangis karena aku pulang terlambat. Beliau memelukku erat. Pelukan satu-satunya orang yang mencintaiku dari jutaan manusia yang tak pernah melihatku.

Aku mengusap airmata yang membasahi pipi keriputnya. Kubuka nasi bungkus dan kusuapi nenek dengan penuh cinta. Hidupku memang susah. Tak seberuntung banyak anak-anak di luaran sana. Tapi sekali lagi aku tidak rugi karena berbeda dengan mereka. Aku sadar inilah hidupku. Anak terbuang yang dipungut nenek bisu. Yang tidak sekolah tapi aku punya sopan santun dan kejujuran. Neneklah yang mengajariku lewat pancaran matanya setiap kali bersamaku. Karena nenek aku paham, bahwa cinta tak bisa terucap hanya dengan kata-kata. Cinta akan lebih terlihat dari perilaku sehari-hari. 

Aku, yang tak terlihat. Aku tak punya siapa-siapa dalam hidupku. Selain nenek bisu yang akupun tak tahu sampai kapan akan bersamaku. Bersyukurlah bagi siapa yang memiliki keluarga. Orangtua yang begitu penyayang. Bisa sekolah setinggi yang diinginkan. Tidak seperti aku, yang tak terlihat karena terbuang. Tetapi ada yang lebih penting dari itu. Yaitu sopan santun dan kejujuran. Kalau kita baik, Tuhan pasti akan lebih baik.

 Selesai..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun