Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Antara Duka dan Cinta Akan Kearifan Tradisi

7 Desember 2019   10:08 Diperbarui: 7 Desember 2019   10:20 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bapak ??!" Aku terduduk di atas lantai rumahku. Airmataku jatuh menyapa debu yang bertaburan di sana. Hal yang paling aku takutkan sejak kemarin sore akhirnya terjadi. Bapakku telah tiada. Tenggelam bersama ganasnya petir dan halilintar semalam. Serta gugur dalam berjihad dalam mencari rezeki-Nya. Apakah mungkin beliau masih hidup? Mungkin saja ada orang yang menolong beliau?

Ah, sangat kecil kemungkinan beliau bisa selamat dari cuaca seburuk itu. Apalagi mereka menemukan kondisi perahu kami yang sudah hancur. Tidak mungkin juga ada pelaut yang memaksa melaut dalam cuaca seganas itu. Kecuali hanya Bapakku yang memikirkan untuk biaya makan dan sekolahku besok pagi. Berat aku terima semua ini, namun itulah kenyataannya. Bapakku sudah tiada.

Satu minggu pencarian jasad Bapak tidak juga di ketemukan. Hatiku sakit sekali, lebih sakit dari kematian Ibuku sebelumnya. Di saat aku rindu dengan Ibu, masih ada makam beliau yang selalu aku ziarahi. Namun jika aku rindu pada Bapak, kemana harus kubawa diri ini untuk bertamu ke peristirahatan terakhir beliau? Jangankan makam, jasadnya saja tidak ada. 

Sejak saat itu aku memutuskan untuk pergi dari desaku. Desa yang memiliki banyak kenangan tentang masa kecil bersama kedua orangtuaku. Kematian Bapak yang sangat tragis membuat aku benci dengan segala hal yang berkaitan dengan budaya pesisir pantai. Bahkan cita-citaku untuk menjadi bagian dari komunitas pesisir pun seakan lenyap termakan dendam.

Untuk apa aku ikuti acara Nadran  setiap tahunnya, apabila masih ada korban yang tenggelam setragis itu. Bahkan bukan orang lain, tapi Bapakku. Kehancuran hatiku membuatku memilih jalan yang cukup buntu. Aku bagai gelandangan yang berkeliaran di pinggiran jalan sembari mencari pekerjaan serabutan selama hampir satu tahun sejak tragedi itu.

Dunia malam yang ditakuti banyak orang bagai sahabat sejati bagiku. Aku tidak takut siapa pun. Takdir yang kujalani bagai omong kosong yang sulit aku percaya.

**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun