Azan shubuh berkumandang. Hatiku cukup lega menyadari petir dan hujan sudah mereda sedari tadi. Tak menunggu waktu lama, aku langsung menuju mushola untuk melaksanakan shalat shubuh. Selesai shalat aku kembali berzikir. Hanya ada aku dan Ustadz Djamal di dalam mushola kecil itu.
Sebenarnya aku sudah tidak sabar untuk melihat Bapak pulang ke rumah dalam keadaan baik-baik saja. Namun aku pun harus berangkat ke sekolah, apalagi ada tugas yang belum sempat aku kerjakan semalam.
Pukul 14.00 aku pulang dari sekolahku. Pintu rumah masih terkunci, aku melirik sejauh mataku untuk mencari keberadaan Bapak. Mana mungkin Bapak belum pulang hingga siang begini karena biasanya pukul 08.00 pagi beliau sudah kembali dari melaut. Aku berlari ke dekat sungai. Kedua mataku tak menangkap perahu milik Bapak.
"Sul, kamu sedang apa di sini? Masih pakai seragam sekolah lagi." Sapa Mang Ismail, tetangga terdekat kami.
Dengan wajah khawatir aku menjawab pertanyaan beliau. "Mang, apa Mamang melihat Bapak kembali dari melaut pagi tadi?"
"Tidak, Sul. Memang kemarin sore Bapakmu melaut, ya, Sul? Bukannya cuaca sedang buruk sekali, Sul?"
Aku tak lagi menjawab pertanyaan beliau. Kedua kakiku langsung meninggalkan area sungai dan kembali ke rumah. Belum lima menit, suara pintu terketuk dari luar. Mang Subro datang dengan wajah tegang dan kedua mata berkaca-kaca. Belum sempat aku bertanya akan alasan kedatangan beliau, beliau langsung memelukku dengan iba.Â
"Bapakmu Sul.. Bapakmu..."
Aku bingung sekaligus panik. "Ada apa Mang Subro, Bapak kenapa Mang? Apa Mamang bertemu Bapak di laut semalam?"
"Sabar ya, Sul, Â yang tabah. Kami menemukan bongkahan perahu milik Bapakmu di tengah lautan pagi tadi. Kami yakin itu milik Bapakmu, Sul. Tapi kami tidak menemukan keberadaannya. Kemungkinan, Bapakmu tenggelam, Sul."
Degg! Sebuah benda terasa menghantam dadaku. Aku menggeleng tidak percaya akan penuturan beliau. Namun tak kupungkiri, ada sebuah keyakinan yang membuatku yakin bahwa Mang Subro tidak berbohong.