April 2008, ketika teman-teman masih memakai seragam putih abu-abu, aku sudah menginjakkan kaki sebagai Foreign Domestic Worker (Pekerja Rumah Tangga Asing) dengan job menjaga lansia yang setiap pagi keluar untuk berkumpul dengan teman-teman beliau di sekitar kompleks perumahan yang terletak di wilayah Bukit Batok Central.Â
Dari situlah aku banyak mengenal masyarakat sekitar yang berasal dari berbagai ras dan agama. Aura keislaman di negara ini masih sangat kental, apalagi memasuki bulan ramadhan dan idul fitri.Â
Orang-orang Melayu, Arab dan India merayakan dengan suka cita. Bahkan, aku yang pendatang begitu merasakan kentalnya ukhuwah islamiyah yang mereka taburkan lewat cinta dan kasih sayang untuk sesama. Memang, bukankah kemuliaan dalam diri manusia itu bermula dari bagaimana kita bersikap memanusiakan manusia itu sendiri?
"Fabiayyi 'aalaa'i Rabbikumaa tukadzdziibaan..."
Walaupun di dalam rumah majikan aku tidak diperkenankan untuk salat, tetapi ada saja celah untuk melakukan ibadah jika terbesit adanya niat. Bahkan setiap malam, aku berpura-pura duduk dengan sehelai kain penutup kepala sembari menemani pasienku menonton Tv, padahal saat itu aku sedang membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an yang kemudian aku rekam ke ponsel butut untuk kuputar ulang menjelang tidur. Jangan aneh, mengadu nasib di negara orang tak semudah kita leluasa beribadah di negara sendiri.Â
Perjuangan para buruh migran dalam menegakkan kewajiban jauh lebih berat karena memberontak ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh majikan. Walau jika dipikirkan, semua larangan itu sangat tidak masuk akal alias egoisme mereka saja.Â
Karena tidur satu kamar dengan dua pasien yang kurawat, aku sering membalut tubuhku dengan selimut hingga ke ujung kepala. Tujuanku hanya ingin mendengarkan murrotal ayat-ayat suci yang aku rekam sebelumnya.Â
Ah, jika diuraikan ke dalam sebuah tulisan, momen-momen menegangkan itu takkan cukup tertuang ke dalam lembar-demi lembar saja. Yang pasti, Allah Swt Maha Tahu apa yang sedang diperjuangkan oleh hamba-hamba-Nya. Asalkan kita tidak pernah lupa untuk mengingat-Nya.
***
April 2010, kaki wanita muslim yang nista ini kembali berpijak di negeri beton, Hongkong. Hongkong tak jauh berbeda dengan Singapura. Pertama kali aku diberi kesempatan untuk berlibur adalah di hari ulang tahunku pada 4 Agustus 2010 saat itu. Tempat yang kukunjungi adalah masjid besar yang berada di wilayah Tsim tsa Tsui.Â
Masjid itu sangat megah dengan marbot seorang pria tua yang berasal dari suku India, pikirku. Terlihat dari kulit hitam dan wajahnya yang berjenggot tebal.Â
Di dalam rumah majikan, kami tinggal berempat. Nyonya seorang budhist, sedangkan Tuan dan anak laki-lakinya seorang kristiani. Dan aku, aku seorang muslim yang sangat dihormati oleh mereka. Setiap berlibur, Nyonya mewajibkanku memakai jilbab dan baju tertutup rapat. Nyonya tidak suka apabila aku berlibur di hari sabtu atau minggu. Itulah kenapa hari liburku ia berikan di jam kerja, antara senin sampai jum'at. Walau aku tak banyak teman, tetapi aku bersyukur, karena di negara beton, aku masih dapat mempertahankan keislaman hatiku dari hal-hal mubazir yang merugikan diriku sendiri. Dimana marak sekali kawan-kawan BMI yang terjerumus dunia bebas bahkan menabrak fitrah dari Allah Swt sebagai "lesbian". Na'udzubillaahi mindzalik...
Toleransi antar agama pun sama kurasakan seperti pada saat di Singapura dulu. Semua orang saling menghargai agamanya masing-masing. Dan memang, bukankah kemuliaan manusia berawal dari sikap bagaimana kita memanusiakan manusia itu sendiri?
***
Mei 2016, lima tahun setelahnya, aku mengekor bersama China Airlines, kembali meninggalkan keluarga besar dan membawa segenap asa ke negeri ini, Formosa. Saat itu usiaku 24 tahun, cukup matang untuk menelanjangi fatamorgana yang tersaji di negeri yang terkenal dengan sebutan "Taiwan Syahdu" ini. Berbeda dengan Singapura dan Hongkong, justru di negara ini kesulitan menegakkan Islam itu benar-benar diuji. Mayoritas penduduk Taiwan  budha, hanya segelintir yang menganut agama islam, itu pun berada di pedalaman.Â
Awal kedatangan aku disambut oleh situasi yang teramat sulit sekali. Majikanku, melarangku untuk salat. Aku hanya mengangguk ketika penerjemah menepuk pundakku sembari berkata, "Salat di dalam hati juga bisa." Tukasnya.Â
Aku mengangguk. Bukan setuju, melainkan hanya mencairkan suasana. Dua hari penuh perjalanan dari tanah air menuju Formosa, dari tempat agency sampai ke rumah majikan tak membuatku menyerah untuk langsung bekerja. Sejak kedatanganku pagi lalu di kantor agency hingga sore hari diantar ke rumah majikan, tak sesuap nasi pun mereka kasih. Setengah sadar aku hanya menggeleng kepala seraya bergumam, "Inikah Taiwan yang syahdu itu?"
Di majikan pertamaku di Nantou, aku hanya bertahan 7 bulan. Pasien yang kurawat adalah Nyonyaku yang sakit lumpuh dan obesitas. Aku menyerah untuk pindah dengan berbagai alasan kepada Agency-ku. Walau memang, di rumah itu aku masih sempat mencuri-curi kesempatan untuk salat dan mengaji di kamar kosong milik anak majikan yang telah pindah. Aku tetap bersyukur, tekanan mereka yang memaksaku untuk tidak salat kuhajar dengan otak dan niat kuatku untuk tetap menjalankan perintah-Nya. Di tengah kegentingan masalah sebelum perpindahan itu, aku hanya berdo'a agar aku diberikan kelayakan pekerjaan dan keadilan sebagai hamba-Nya di tempat baru. Hanya itu do'aku saat itu.
Desember 2016, aku dipindahkan ke tempat ini, Changhua. Nenek yang kurawat masih sehat, sehingga aku hanya sibuk mengurus rumah dan kebun sayuran miliknya saja. Seperti di majikan pertama, Nenek pun melarangku untuk salat. Dan seperti biasa, aku hanya mengangguk saja untuk mencairkan suasana. Allah Swt Maha Segala-galanya. Aku yakin itu. Dan do'aku terwujud karena di sini aku disediakan kamar pribadi yang cukup luas. Nenekku, yang sejak pertama kali aku datang sampai aku hampir selesai kontrak, tak pernah satu kali pun masuk ke kamarku. Sehingga aku leluasa untuk beribadah sesenggang dan selama yang aku bisa. Satu tahun pertama aku tidak diizinkan untuk libur. Hal itu aku gunakan untuk menulis apa yang ada di kepalaku ke dalam sebuah tulisan. Dari uraian-uraian hatiku itu, ternyata banyak teman-temanku yang menyukai tulisanku. Dan sampai saat ini, aku sudah menulis tiga novel perdanaku dan cerpen-cerpen yang aku kirimkan untuk dibacakan di RRI (Radio Republik Indonesia) dalam program Guratan Pena. Jika waktu bekerja bisa sembari untuk berkarya, bukankah itu merupakan hal yang sangat luar biasa?
"Fabiayyi'alaa'i Rabbikuma tukadzdzibaan.."
Di tahun kedua, barulah aku diberi izin untuk libur satu bulan sekali. Itu pun atas bantuan Depnaker yang kebetulan membantu permasalahanku dengan nenek yang aku jaga saat itu. Setelah terkurung cukup lama dari keramaian, akhirnya aku keluar. Berlibur dan melihat indahnya bumi Formosa. Dari hati terdalam aku merasa takjub dengan warna-warni bumi Formosa. Banyak sekali organisasi keagamaan yang sangat aktiv hingga acara kerohanian selalu ada setiap bulannya. Bahkan, di tengah kesibukan bekerja, aku pun memilih untuk mengabdikan sebagian waktu liburku menjadi anggota DENWATSER (Detasemen Wanita Banser) SATKORCAB ISTIMEWA TAIWAN. Untuk ikut menjaga para ulama yang datang mengisi tabligh-tabligh akbar, serta menertibkan jalannya acara kerohanian agar berjalan dengan khidmat.
Niatku hanya ingin menyalurkan isi hatiku sebagai muslimah. Walau pun aku belum menjadi wanita yang baik, atau bahkan aku masih begitu buruk. Akan tetapi bukankah seburuk-buruknya manusia, kita masih memiliki hati yang bersih jika kita mau?
Tidak ada hijrah yang mudah dilakukan. Tidak ada kemudahan tanpa sebelumnya ada kesulitan. Tidak ada raport tanpa ujian. Pun tidak ada orang baik sebelum menjadi orang buruk. Wallahu a'lam bishshawab..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H