Aku tinggal di sudut kota Changhua, Taiwan Tengah. Daerah-ku adalah pedesaan. Sangat jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Tidak ada minimarket apalagi pasar swalayan. Semacam Alfamart atau Indomaret saja harus ditempuh sekitar setengah jam menggunakan sepeda listrik, bagi yang memilikinya. Jika tidak, aku terpaksa naik sepeda biasa yang tentu memakan waktu lebih lama, atau membayar jasa taksi rumahan dengan biaya 300NT.
Senilai seratus ribu lebih untuk pulang-pergi ke minimarket atau pasar. Sedangkan jika ke stasiun, aku harus membayar taksi 500NT, setara dua ratus ribu lebih untuk satu kali jalan.
Jika pulang-pergi, sudah bisa dibayangkan, aku harus merogoh kocek sebesar empat ratus ribuan untuk ongkos taksi ke stasiun saja. Inilah kesulitanku dan teman-temanku di daerah ini.
Hampir semua masyarakat di daerah ini bermata-pencaharian sebagai petani. Hektaran persawahan dan perkebunan sayuran sudah tak asing bagiku. Pemandangan hijau ini yang memanjakan bola mataku saat berolahraga di pagi hari. Pabrik industri tempatku bekerja berada di tengah persawahan.
Umumnya, industri yang berada di daerah terpencil seperti ini memperkerjakan tidak lebih dari sepuluh orang TKL yang berasal dari Indonesia dan Vietnam. Bahasa yang kami gunakan adalah mandarin, bahasa resmi di Taiwan. Karena TKI Vietnam tidak ada yang menguasai bahasa Inggris. Berbeda dengan orang Philiphina, bahasa resmi di negara mereka adalah bahasa Inggris sendiri.
Industri di sudut kota ini kebanyakan adalah pabrik kertas, besi, sabun, dan sayuran. Bahkan Tenaga Kerja Wanita-nya pun tak sedikit yang ikut turun untuk bekerja di sawah dan ladang.
Hal itu memang aneh jika dilihat oleh orang-orang yang tinggal di perkotaan. Karena bekerja di sawah atau perkebunan adalah pelanggaran dan tidak sesuai Perjanjian Kerja (PK) bagi pekerja sektor informal di Taiwan. Job resmi mereka hanya merawat pasien yang mereka jaga. Tidak boleh lebih.
Jika dituntut, majikan dan Agency pasti akan bermasalah dengan pihak kepolisian. Akan tetapi, mereka hanya pendatang yang membawa segenap jiwa dan harapan akan kesuksesan.
Rasa khawatir dan takut membuat mereka hanya bisa pasrah. Tidak melawan, kecuali hanya sebagian pekerja sektor informal yang memiliki keberanian lebih. Seperti temanku, Wina misalnya.Â
Wina bekerja merawat lansia yang masih sehat, bisa berjalan normal, dan hanya berdua saja di rumah. Kesenggangan waktu menuntut Wina untuk bekerja di ladang, bahkan terkadang, ia pun diminta untuk bantu-bantu di sawah milik majikannya. Awalnya Wina merasa keberatan. Tentu saja, karena itu bukan pekerjaan wajibnya.
Terik matahari yang menyengat, apalagi jika musim dingin telah datang membuat ia ingin sekali melambaikan tangan kepada Tuhan. Ingin sekali ia berteriak mundur kepada Agency agar dipindahkan ke majikan lain. Tetapi setiap kali ia melakukan itu, ia selalu teringat dengan majikan pertama sebelum ia pindah kesini.
Ia merawat wanita paruh baya setengah lumpuh yang berbadan gemuk. Belum lagi suami dari pasiennya itu sangat kurang ajar terhadap Wina. Tak sekali dua kali, Wina dipaksa untuk memijat bagian intim lelaki biadab yang tak lain adalah majikannya sendiri. Wina selalu menolak, Wina selalu melawan.
Akan tetapi, Wina yang malang harus menunggu berbulan-bulan untuk pindah dari rumah mengerikan itu. Perpindahan job bukanlah hal mudah di Taiwan. Syarat utama adalah tanda tangan dari majikan yang pertama kali membawanya ke negara ini.
Jika tidak, mereka harus mengumpulkan bukti sekuat mungkin atas tindak pelecehan seksual atau kekerasan majikan untuk kemudian dilaporkan kepada layanan pengaduan atau kepolisian langsung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H