Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bias Pelangi Terjatuh di Wajahmu, Ibu

26 November 2019   20:23 Diperbarui: 26 November 2019   20:57 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ya sudah, Ayah pinjam sepeda dulu, ya." Ayah pun mengalah. Ayahku memang baik dan lembut. Beliau paham betul, airmata yang keluar dari kelopak mataku bukanlah airmata karena aku meronta ingin ke pasar malam. Melainkan airmata yang sama akan kerinduan seorang anak terhadap Ibunya. Ayah sangat tahu, aku yang masih kecil saat itu amat membutuhkan keramaian untuk menghibur hatiku. 

Selang satu jam kemudian, aku dan Ayah berangkat ke pasar malam dengan sepeda ontel milik tetanggaku. Jarak dari rumahku ke pasar malam cukup jauh. Dan kami hanya menggunakan sepeda ontel kesana. Ayah mengayuh dengan sabar. Sementara aku diboncengnya di belakang. Untuk merubah kesedihanku menjadi senyuman, Ayah rela melakukan apa saja. Bahkan pernah suatu waktu, Ayah tak jadi melaut. Membalikkan perahunya dan kembali ke darat, saat seseorang memberitahu beliau bahwa putri kecilnya menangis di pinggiran sungai. Memilih menemaniku yang memberontak nasib dalam tangisan. Ayah memelukku dengan penuh kasih. Sedang aku langsung berhambur dengan tatapan bersalah. Aku tahu Ayah akan mencari nafkah. Tetapi melihat beliau melaut seorang diri, aku tidak tega. Sore itu, langit dan bumi menjadi saksi betapa besar cinta kasih antara Ayah dan putri kecilnya. Sebegitu kejamkah dunia ini?

Aku sempat berpikir, bahkan kuyakin semua orang memiliki cara pandang yang sama denganku saat itu. Meninggalkan keluarga untuk menjadi buruh migran adalah sebuah keegoisan besar. Ya, aku berpikir demikian. Aku berpikir, Ibuku egosi karena meninggalkan kami. Di usia 7 tahun, mana aku mengerti susahnya mengais rezeki untuk makan sehari-hari. Mana aku paham rumitnya mengatur keuangan dengan pemasukan yang jauh dari kecukupan. Mana aku tahu mengatur menu makanan agar dapur tetap mengepul setiap waktu. Mana aku paham? Aku hanya anak kecil yang membutuhkan kasih sayang yang lengkap dari kedua orangtuaku. Hanya itu!

***

Temaram senja, 2016.

"Mi, titip Dedek, ya."

Aku mencium tangan Ibu dengan segenap gejolak hati yang tersayat. Pedih sekali. Lebih pedih saat Ibu meninggalkan aku 20 tahun yang lalu. Ya, 20 tahun. Saat itu aku masih belum mengerti apa-apa tentang kehidupan rumah tangga dengan pelbagai macam persoalan di dalamnya. Tapi kini aku sendiri yang menempati posisi Ibuku 20 tahun yang lalu. Meninggalkan anakku untuk menantang kerasnya hidup di negeri orang. Anakku yang berumur 2 tahun kutinggalkan saat ia tertidur pulas di dalam kamar. Adakah yang bisa menyelam ke dasar hatiku saat itu? Perih, pedih. Benar-benar sakit. Tapi, sekali lagi ini adalah konsekuensi kehidupan. Kita hanya tokoh yang siap melakonkan peran dengan jatah waktu yang tersisa di dunia. Bagai sebongkah kayu yang hanyut di tengah luasnya lautan, diri ini hanya mengikuti arus yang membawa jiwa dan raga ke perhentian demi perhentian.

Aku pernah berjanji bahwa aku tidak akan meninggalkan anakku untuk alasan apapun. Karena aku tidak mau ia merasakan apa yang 20 tahun silam aku rasakan. Sungguh, aku tidak mau. Tetapi lihatlah, aku mengingkari janjiku sendiri. Aku meninggalkan anakku untuk menjadi buruh migran di Taiwan. Kemauan siapa? Kukatakan sesungguhnya aku tidak mau. Tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku harus pergi. Untuk merubah nasibku dan anakku, serta kedua orangtua dan adikku. Aku seorang single parent yang harus menentukan pilihan akan hidupku. Aku bukan lagi seorang istri yang selalu menunggu jatah belanja dari suami. Bukan! 

"In, kemarin Mimi sama Dedek terjatuh dari sepeda. Mimi nangis karena syok melihat anakmu terpental jauh dari pelukan Mimi. Allaahu Akbar, alhamdulillah, ia masih diselamatkan Allah Swt hingga tak ada luka serius di tubuhnya. Hanya kakinya saja yang lecet." Ibuku menjelaskan dengan derai airmata. Sebuah kecelakaan yang dialami mereka sangat menusuk kedamaian hatiku.

"Bagaimana bisa terjadi, Mi?" tanyaku resah. Dadaku bergemuruh. Molekul bening siaga di sudut mataku.

"Kami baru pulang dari pasar malam dekat jembatan. Mimi asyik mengayuh sepeda saat hendak turun dari sana. Tiba-tiba mobil besar muncul dari arah kiri. Mimi terkejut, dan banting setir untuk menghindari mobil tersebut. Akhirnya, kami terpental berjauhan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun