“Pasti naik No. 45 ‘kan? Bukan No. 30 dan 40. Tapi bisa naik kesini, apa lift belum ditutup satpam?”
“Iya, bis itu lagi. Aku pikir turun tak jauh dari sini, karena sudah malam, jadi aku naik saja. Malah aku nyasar lagi di simpang lima yang besar banget itu. Tuhan masih sangat menyayangiku. Saat aku sampai lobby, ada orang Taiwan yang mau naik juga kesini. Kalau tidak ada mereka, aku harus naik tangga dari lantai 1 sampai lantai 16 sini. Bisa habis tenagaku.” Jawabanku mengakhiri obrolan kami. Aku langsung mandi dan menunaikan sisa kewajibanku. Setelahnya aku berbaring di atas kasur tipis asrama kami.
Asrama? Aku pikir kata itu terlalu bagus untuk tempat seperti ini. Satu ruangan sempit ini, kami tidur berjejer 10 sampai 12 orang hanya dengan satu kamar mandi. Kasur-kasur tempat kami melepas lelah, lebih pantas disebut selimut-selimut bekas yang ditumpuk-tumpuk agar terlihat tebal saja. Tempat ini memang penginapan beberapa Ejensi untuk menampung anak buah mereka yang akan pindah majikan atau bahkan bermasalah besar. Di depan kamar ini, ada satu kamar khusus Tkw yang hendak pulang ke Indonesia. Mereka akan menginap satu malam saja. Dan itu akan dijadikan korban palak beberapa teman se-kamarku yang kelaparan. Palak? Meminta sejumlah uang atau makanan dengan paksaan seperti preman-preman di dunia malam itu ternyata juga ada di sisi lain Formosa. Tentu saja, pelaku palak itu bukanlah kami yang masih berotak waras. Melainkan mereka yang terlanjur kehabisan uang untuk bertahan hidup karena terlalu lama tinggal di tempat ini.
To be continue...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H