Mohon tunggu...
IING FELICIA
IING FELICIA Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan

Educator, Author, Trainer, Certified Teacher

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kiat Menumbuhkan Empati pada Anak Sejak Dini

22 Mei 2022   16:51 Diperbarui: 23 Mei 2022   01:02 1129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Empati adalah kecakapan mengolah rasa yang perlu dimiliki setiap individu sebagai makhluk sosial. Dewasa ataupun anak-anak.

Empati menjadi karakter dominan untuk membangun dan menjalin hubungan dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya. 

Nyatanya kehidupan masyarakat di kota-kota besar seperti Jakarta, dengan hunian vertikal dan berbagai dinamika problematika kehidupan mempengaruhi penampakan sosok empati.

Kehadiran empati ini dirasakan menipis dan memudar.

Saat ada insiden yang terjadi entah itu di jalan raya atau di sebuah lokasi. Seringnya orang-orang stop untuk melihat dan merekam kejadian untuk dijadikan konten, hingga lupa membantu serta mengulurkan tangan untuk membantu.

Mungkin ada kekhawatiran takut dipersalahkan. Atau mungkin rasa cuek yang terlampau tinggi mendominasi diri.

Rasa empati perlu ditumbuhkan pada anak sejak berusia dini. Agar anak bisa membangun kemampuan untuk memosisikan diri, memahami, menghargai perasaan orang lain, mengontrol emosi dengan baik. 


Melatih empati dapat dilakukan dari kegiatan sehari-hari. Mulai dari hal-hal yang sering dilakukan. Hingga pembiasaan terbentuk dengan sendirinya.

Berikut beberapa kiat yang dapat melatih dan menumbuhkan empati anak di rumah dan di sekolah:

1. Mengenalkan Emosi Diri

Pengenalan emosi menjadi penting. Anak usia dini (2 – 6 tahun) akan sulit mengontrol diri, mengolah emosi ketika keinginannya tidak tercapai.

Anak merajuk dan uring-uringan, bahkan ada yang menangis histeris saat mainan yang diminta tidak dibelikan. Menenangkan dan memberikan pengertian menjadi solusi.

Jawaban yang mungkin diberikan, “Mainan kamu sudah banyak di rumah. Nanti kalau sudah rusak, kamu boleh beli yang baru.” Tak ada yang instan. Perlu proses. Hingga anak mengerti. Tidak semua yang diinginkan akan diperoleh.

Sering terjadi orang tua merasa malu karena saat anak menjerit-jerit di mal minta dibelikan, mengundang perhatian sekeliling. Sehingga permintaan dikabulkan.

Mengenalkan ragam emosi pun dilakukan di sekolah agar anak bisa mengekspresikan diri. Rasa sedih, kecewa, marah, senang, takut, diutarakan melalui cerita serta penggunaan gambar ekspresi dan emosi. Anak diajak mengungkapkan perasaannya.

2. Memenuhi Kebutuhan Perasaan

Anak dapat menunjukkan empati kepada orang di sekitarnya ketika kebutuhan perasaannya terwujud. Ekspresi empati dapat ditularkan karena kebutuhan emosionalnya sudah terpenuhi.

Contoh yang terjadi di sekolah. AH berusia 3 tahun melihat teman kelasnya menangis ketika ia ditinggal oleh sang ibu di kelas. AH mendatanginya, memberikan tisu dan berkata, “Jangan nangis ya! ini tisunya. Yuk, main!”

Ternyata AH mendapatkan perlakuan itu tatkala ia menangis dan sang kakak memberikan empatinya.

Izinkan anak mengungkapkan perasaannya. Mintalah maaf seketika kita sebagai orang dewasa melakukan kesalahan. Sehingga anak belajar, siapapun dapat melakukan kesalahan. Yang penting kita mau mengakui kesalahan dan memperbaikinya.

3. Mencontohkan Empati dengan Tindakan Riil

Praktik adalah tindakan konkret yang diperlukan oleh anak usia pra sekolah. Mereka dengan mudah meniru tindakan orang tua dan guru yang ada di lingkungannya. Untuk itu pastikan kita memberikan contoh baik.

Kami di sekolah sering menggunakan kesempatan ini ketika melihat seorang anak memerlukan bantuan. Guru akan mengajak teman lainnya untuk menawarkan empatinya. Misal saat anak tidak membawa pensil warna. Bantuan apa yang dapat diberikan? Meminjamkan atau menggunakannya bersama-sama.

Anak diberikan pemahaman tindakan yang dilakukan memberikan kegembiraan kepada temannya. Sebaliknya ia pun merasakan kepuasan dan kebahagiaan.  

4. Memosisikan Diri pada Posisi Orang Lain

Fenomena memperebutkan mainan, tidak mau bermain bersama, memukul, melabel dan mengejek teman atau sibling kerap menjadi pembahasan, lantaran privilege anak terusik. Orang tua maupun guru dapat mengajak anak berdiskusi untuk memahami dan memosisikan dirinya sebagai orang yang menjadi korban.

Tanyakan bagaimana perasaannya ketika tak ada yang mau menemaninya bermain. Apa responsnya saat mainan favorit diambil orang lain. Atau emosi apa yang muncul jika seseorang tetiba memukulnya?

Cara lain dapat dilakukan melalui ragam cerita tentang persahabatan yang membangun kerukunan dan keharmonisan. Menggunakan boneka tangan untuk berinteraksi dengan anak, ataupun bermain peran sehingga anak mengalami sendiri.

Perundungan pun dapat dihindari bila anak menyelami perasaan tidak nyaman andaikan ia berada di posisi orang lain.

5. Membangun Rasa Syukur pada Diri Sendiri

Bersyukur untuk semua yang dimiliki, dapat membantu membentuk jiwa sosial anak sejak kecil. Memulai hari dengan berterima kasih atas kesehatan diri mereka hingga dapat bermain dan bersekolah.

Menumbuhkan rasa empati bisa dipraktikkan dengan beragam cara. Antaranya, kami di sekolah mengajak anak didik menggunakan hanya satu tangan untuk beraktivitas selama 15 menit. Berjalan dengan satu kaki. Anak kemudian merefleksi diri. Apa yang dirasakan?

Kegiatan ini mengajarkan anak bersyukur dan berempati pada orang lain yang memiliki kondisi berbeda dengan dirinya.

6. Melibatkan Anak dalam Kegiatan Amal

Melibatkan anak dalam proses kegiatan amal dapat menumbuhkan empatinya. Berikan pengertian bahwa bantuan sekecil apapun, yang diberikan dengan tulus dapat membuat orang lain bahagia. 

Seperti kegiatan yang kami lakukan di sekolah, yang mana ketika banjir melanda Jakarta, peristiwa erupsi gunung Semeru, dan peperangan yang terjadi saat ini. Fakta ini membangkitkan rasa empati anak.

Perwujudan dilakukan dalam tindakan nyata. Dengan tidak membuang sampah sembarang. Karena menimbulkan banjir dan menyebabkan sebagian anak-anak tidak bisa bersekolah dan bermain.

Letusan gunung berakibat sebagian rumah penduduk lenyap tertimbun. Mereka ikut berdonasi dengan tabungan yang mereka miliki. Menyalurkan kebajikan untuk teman-teman yang tertimpa musibah.

Dampak peperangan, banyak pengungsian menyelamatkan diri, meninggalkan negaranya. Anak-anak berdoa dengan tulus agar mereka selamat, dan dapat berkumpul kembali dengan sanak keluarganya.

Penguatan karakter empati anak memerlukan proses yang berkelanjutan dan konsisten. Perlu waktu bagi anak untuk menyelami dan menerapkannya.

Penulis: Iing Felicia untuk Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun