Mohon tunggu...
Iin Ainar Lawide
Iin Ainar Lawide Mohon Tunggu... Seniman - Founder Komunitas Seni Lobo-Seniman Tari Palu

Koreografer juga penari, sekaligus Program Manager di Komunitas Seni Lobo | Ibu dari dua puteri yang keseharian mengurus seni | Hobi menulis dan punya channel podcast |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Balia, Memaknai Sebuah Estetika Tubuh dalam Konsep Tari

25 Juli 2021   11:28 Diperbarui: 25 Juli 2021   12:01 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tubuh manusia telah menjadi tari, begitu dia berjalan menghadapi dunia luar yang adalah peta bergerak bagi berbagai simpul kepentingan dan konflik. Sudah sejak lama manusia begitu tergoda pada tubuhnya sendiri.

Melalui berbagai gelombang peradaban, godaan itu menggiring manusia mencari bayangan sakral serta kepuasan lewat tubuhnya sendiri. Tubuh manusia adalah medan perang dengan nilai yang bergerak didalamnya, mulai dari soal kegagahan dan kecantikan, ikon, ras, ideologi dan agama.

Tubuh manusia tidak hanya untuk berdiri dan berjalan, tetapi juga bisa dan sering gemetar. Tubuh yang bergetar ini melahirkan beribu ragam gerak dari ujung kepala hingga ujung kaki. Di Sulawesi Tengah tubuh yang gemetar ataupun kesurupan menjadi sumber dari lahirnya gerak-gerak tari. Tubuh yang bergetar melalui ritus ataupun upacara-upacara adat melambangkan dinamisasi dan keindahan serta kekuatan. Maka akan ditemui eksotika tubuh.

di Sulawesi Tengah, banyak koreografer yang selalu memasukan unsur balia ke dalam karya tari mereka, namun beberapa diantaranya pencapaian yang dilakukan hanya pada spirit dari Balia itu. Namun, konsep ketubuhan Balia tidak akan ditemukan secara spesifik pada karya-karya mereka. Pola gerak dari Balia yang lazim mereka masukan sebagai unsur tari hanyalah bagian permukaan saja.

Membahas tentang Balia, tidak bisa setengah-setengah karena memiliki keterkaitan antar satu dengan yang lainnya. Balia dan tari pun tidak bisa dipisahkan, akan menjadi tidak menarik. 

Balia mengutamakan estetika dan eksotika tubuh dalam setiap gerakannya. Tubuh cenderung menjadi "tubuh mitos", yang membiarkan dirinya terus berkembang melalui tema-tema mitologi setempat.

Balia ialah tantang dia (Bali = tantang, ia/iya = dia), yang artinya melawan setan yang telah membawa penyakit dalam tubuh manusia. Balia dipandang sebagai prajurit kesehatan yang mampu untuk memberantas atau menyembuhkan penyakit baik itu penyakit berat maupun ringan melalui upacara tertentu. Peserta atau orang-orang yang terlibat dalam upacara (pesakitan) disebut memperata adalah proses awal untuk menyiapkan diri dan menerima kehadiran makhluk-makhluk halus kedalam tubuhnya. 

Masuk atau tidaknya makhluk-makhluk tersebut ditentukan oleh irama pukulan gimba (gendang), lalove (seruling) yang mengiringi jalannya upacara ini. Karena itu, agar semua peserta balia bisa kesurupan maka irama gimba, lalove dan gong itu harus berubah-ubah dan bersemangat hingga nantinya peserta balia tersebut akan melakukan gerak-gerak tarian yang kasar, cepat dan tak beraturan dalam kondisi kesurupan. Pemimpin upacara ini ialah seorang dukun yang biasa disebut Tina Nu Balia 

Upacara Balia ini terdiri atas 3 macam dengan tingkatan prosesi yang berbeda-beda :

  1. Balian Bone, merupakan tingkatan terendah dalam rangkaian upacara balia yang diibaratkan sebagai prajurit kesehatan yang besar dan banyak seperti tumpukan pasir (bone) yang sanggup memadamkan api. Dalam upacara ini tidak terlalu banyak memerlukan peralatan upacara adat dan prosesi penyembuhannya pun tidak memakan waktu yang lama. Balia ini biasanya diperuntukkan untuk kalangan bawah atau yang penyakitnya tidak terlalu berat serta tidak merisaukan masyarakat setempat. Pemimpin upacaranya pun hanya terdiri atas satu orang saja.
  2. Balia Jinja, diidentikkan dengan gerakan atau posisi melingkar (round dance) yang melibatkan para pengunjung atau orang-orang yang sedang menyaksikan upacara balia tersebut dibarengi dengan nyanyian dari si pesakitan atau penderita. Walaupun yang memimpin upacara ini hanya satu orang saja, namun yang terlibat dalam prosesi upacara ini sudah lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan balia bone. 
  3. Balia Tampilangi, diartikan sebagai pasukan yang bergerak turun secara cepat dari kayangan. Balia ini merupakan tingkatan tertinggi dari upacara keseluruhan upacara Balia, dianggap paling sakral dan bernilai magis karena didalamnya termuat keseluruhan gerak dari balia bone dan balia jinja serta .

Balia Tampilangi, memiliki tahapan khusus dalam proses penyembuhan. Tahapan tersebut dibagi atas dua yang bisa dilaksanakan bersamaan secara bergantian atau bisa pula dilaksanakan salah satunya saja, yaitu :

  1. Moraro, adalah salah satu bagian dari upacara Balia Tampilangi, suatu upacara adat penyembuhan bagi masyarakat Kaili dengan cara menombak tumbal (Noraro). Dalam rangkaian Upacara Adat Moraro ini dibagi dalam 9 tahapan yaitu : Pamulana (awal/pembuka), Mendopi (menghibur pesakitan), Nosive (memercikan air kepada pesakitan), Notaro (mengehenatk parang untuk mengusir penyakit dari tubuh), Noparemba (pemanggilan roh), Neronde (menyambut roh), Noraro (menombak tumbal), Norumuta (membuat lingkaran), Mouramo (mengembalikan penyakit). Namun sebelum memasuki proses penyembuhan dalam 9 tahapandiatas, maka dilaksanakan terlebih dahulu upcara Moragi yaitu salah satu bagian dari upacara Moraro, dimana para gadis-gadis membawakan beras kuning, hitam, merah dan hijau yang dibentuk seperti bintang, pelangi maupun tombak yang kemudian diletakan dihadapan si pesakitan dan nantinya sando pun bisa menentukan penyakit apakah yang diderita oleh si pesakitan tersebut. Beras-beras tersebut memiliki makna sebagai permohonan petunjuk kepada To Manuru atau penguasa bumi dan langit. Setelah sando memilih beras mana yang dipilih, maka gadis-gadis tersebut mulai menari dengan memakai kipas yang diringi oleh gendang dan lalove. Pemimpin (sando) dalam upacara ini disebut Bayasa yang berfungsi sebagai pengobatan dan penyembuhan orang sakit. Bayasa atau bisa diistilahkan sebagai gender ketiga (transgender), dimana kaum lelaki berperilaku dan berpakaian seperti wanita. Upacara adat Moragi ini untuk menentukan penyakit apa yang diderita oleh pesakitan dan yang berperan penting disini adalah Bayasa tersebut dimana merekalah yang dapat mengetahui penyakit apa yang sedang diderita oleh pesakitan dan dapat menyembuhkannya. Bayasa ini terdiri atas 6 orang yang menari bergerak lincah mengelilingi si pesakitan tersebut.
  2. Salonde, merupakan salah satu bagian dari upacara Balia Tampilangi dan kedua jenis balia lainnya. Salonde bagian yang selalu terikat dan tak pernah lepas dari upacara ini karena dengan adanya Salonde ini maka prosesi penyembuhan akan menjadilebih sakral. Salonde berasal dari bahasa Kaili Kuno yang artinya ragam tari-tarian. Disebut ragam tari-tarian karena didalamnya termuat begitu banyak unsur gerak yang ritmis, lincah, dinamis dan memiliki makna yang besar. Gerak-gerak tersebut memiliki nilai estetis yang sangat menarik, dibagi dalam 7 (tujuh) bagian yang tidak boleh ditinggalkan dalam upacara balia namun boleh ditarikan secara terpisah ; Kabiondo (petikan sendu), Kancara (melambai), Saramapede (melenting), Sarondayo (lincah), Torodae-dae (berputar), Tambilugi (rata), Tutupendo (penutup).

Ada begitu banyak gerak-gerak yang tercipta dari upacara ini dan tubuh menjadi sumber utamanya. 

Reproduksi sikap tubuh ini, terikat pada teknik, karena tidak mudah untuk membongkar atau mengubah pola tatanan gerak didalam Balia tersebut, dimana dasar gerak melingkar, berpegangan tangan serta menyatukan nafas untuk membawa tubuh ke tingkat ritual yang mendalam dengan kekuatan fisik sang penari tidak bisa dilakukan hanya dengan proses sebentar saja. Dibutuhkan intensitas dan ketahanan tubuh untuk terus mengikuti jalan gerak yang mengalir. 

Balia menghadirkan "tubuh rakyat" dalam setiap gerakannya yang bernilai magis dan masih bersifat tradisi. 

Bahwa tubuh penari tidak akan kehilangan kosmologinya jika "tubuh mitos" dalam unsur gerak balia dihadirkan dalum balutan kontemporer diatas panggung pertunjukkan, namun tidak dapat dipungkiri masuknya modernisasi ke dalam unsur gerak balia melahirkan eksotika tubuh yang lebih bernilai. 

Kepuasan tubuh dalam mengeksplorasi sumber gerak balia, tidak dapat ditutupi dari keseragaman penari dan upaya memaksimalkan tubuh untuk bergerak secara total. Tubuh pun siap menerima teknik dan memakai kostum tradisi apa pun, karena tubuh telah mengalami transformasi lewat tradisi. 

Fenomena ini menunjukkan betapa sebuah kerja koreografi tidaklah sama dengan kerja antropologi. Begitu juga dunia tari tidak harus mengorbankan dirinya sebagai panggung antropolog yang artifisial, walaupun pasar membutuhkannya, dunia tari --yang dianggap sebagai seni yang paling dekat dengan manusia, karena menggunakan tubuh- punya masalah yang jauh lebih rumit dari bidang seni lainnya. 

Balia telah menjadi fenomena dipanggung tari dan ditansformasikan kedalam konsep kekinian. Balia tak lagi ditarikan secara serempak (massal), tetapi mampu ditarikan secara individu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun