Reproduksi sikap tubuh ini, terikat pada teknik, karena tidak mudah untuk membongkar atau mengubah pola tatanan gerak didalam Balia tersebut, dimana dasar gerak melingkar, berpegangan tangan serta menyatukan nafas untuk membawa tubuh ke tingkat ritual yang mendalam dengan kekuatan fisik sang penari tidak bisa dilakukan hanya dengan proses sebentar saja. Dibutuhkan intensitas dan ketahanan tubuh untuk terus mengikuti jalan gerak yang mengalir.Â
Balia menghadirkan "tubuh rakyat" dalam setiap gerakannya yang bernilai magis dan masih bersifat tradisi.Â
Bahwa tubuh penari tidak akan kehilangan kosmologinya jika "tubuh mitos" dalam unsur gerak balia dihadirkan dalum balutan kontemporer diatas panggung pertunjukkan, namun tidak dapat dipungkiri masuknya modernisasi ke dalam unsur gerak balia melahirkan eksotika tubuh yang lebih bernilai.Â
Kepuasan tubuh dalam mengeksplorasi sumber gerak balia, tidak dapat ditutupi dari keseragaman penari dan upaya memaksimalkan tubuh untuk bergerak secara total. Tubuh pun siap menerima teknik dan memakai kostum tradisi apa pun, karena tubuh telah mengalami transformasi lewat tradisi.Â
Fenomena ini menunjukkan betapa sebuah kerja koreografi tidaklah sama dengan kerja antropologi. Begitu juga dunia tari tidak harus mengorbankan dirinya sebagai panggung antropolog yang artifisial, walaupun pasar membutuhkannya, dunia tari --yang dianggap sebagai seni yang paling dekat dengan manusia, karena menggunakan tubuh- punya masalah yang jauh lebih rumit dari bidang seni lainnya.Â
Balia telah menjadi fenomena dipanggung tari dan ditansformasikan kedalam konsep kekinian. Balia tak lagi ditarikan secara serempak (massal), tetapi mampu ditarikan secara individu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H