Sibarani (2015), menyatakan bahwa tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu masyarakat yang diwariskan secara turun temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lain yang bukan lisan (non verbal).
Ciri-ciri dari tradisi lisan dalam Tasnim Lubis (2019 : 52), diantaranya ; 1) kebiasaan berbentuk lisan, sebagian lisan dan bukan lisan; 2) merupakan performansi, peristiwa atau kegiatan sebagai konteks penggunaannya; 3) dapat diamati dan ditonton; 4) bersifat tradisional; 5) diwariskan secara turun-temurun; 6) proses penyampaian dengan media lisan atau "dari mulut ke telinga"; 7) memiliki versi atau variasi; 8) mengandung nilai-nilai budaya dan diangkat secara kreatif sebagai sumber industri budaya; 10) miliki bersama komunitas tertentu.
Finnegan dalam Tasnim Lubis (2019 : 52) menyatakan bahwa istilah tradisi umumnya dikaitkan dengan budaya sebagai keseluruhan tindakan dalam melakukan sesuatu. Tradisi lisan menunjukan jati diri komunitas yang memegangnya. Suatu aktivitas dikatakan tradisi lisan jika proses penyampainnya dilakukan secara lisan. Tradisi sering digunakan untuk sesuatu yang mengacu kepada miliki dari seluruh "komunitas" dibandingkan dengan individu atau ketertarikan grup; tidak tertulis, memiliki nilai atau (seringkali) dianggap kuno/ketinggalan atau untuk menandai identitas suatu grup.
Tradisi lisan sebagai media untuk menyampaikan pesan, gagasan serta pengalaman dalam lingkungan masyarakat, bahasa sebagai media komunikasi sangat menentukan corak suatu budaya. Tradisi lisan mencakup segala hal yang berhubungan dengan sastra dan berbagai bentuk kesenian lain berupa ungkapan/pantun, nyanyian ataupun mantra yang berasal dari pengetahuan masyarakat di lingkungannya, juga berkaitan sistem kognitif kebudayaan seperti sejarah, sistem nilai dan pengetahuan tradisional.
Etnis kaili dikenal dengan tradisi lisannya, jika menjelaskan asal usul tempat terjadinya peristiwa, makna dari syarat-syarat ritual bahkan asal usul benda budaya, melalui tradisi lisan. Disampaikan dari generasi ke generasi sehingga menjadi suatu tradisi lisan, berkaitan dengan usaha mengabadikan pengalaman-pengalaman dimasa lampau. Pewarisan tradisi lisan yang khas dilakukan dalam lingkungan kolektif sehingga timbul rasa kepemilikan utuh sebagai warisan budaya.
Pencatatan tradisi lisan ini dimulai pada abad ke-19 oleh bangsa Belanda dalam bidang sastra lisan dan seni tutur. Sebagian dari pembukuan tersebut diterbitkan, namun dalam Bahasa Belanda yang tentu hanya mudah dipahami oleh bangsa Belanda atau mereka yang mendalami bahasa Belanda, sebagian lainnya masih berupa naskah-naskah yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden Belanda. Tradisi lisan bagi masyarkat Kaili sebenarnya merupakan bentuk ekspresi budaya, yang didalamnya terkandung hukum yang menjadi acuan utama bagi masyarakat Kaili dalam tata cara berperilaku dan bermasyarakat.
Berbicara tradisi tentunya hal yang tidak akan pernah habis untuk ditelusuri, diungkap, dipelajari dan digali secara terus-menerus. Tradisilah yang menjadikan kita bisa seperti saat sekarang ini, hal-hal yang dipelajari secara menahun dari generasi ke generasi berikutnya. Dalam tradisi terdapat nilai yang wajib menjadi pegangan bagi kita, yang konon disebut sebagai pelaku, pewaris atau penyimpan tradisi tersebut, yang disebut sebagai pelaku, pewaris atau penyimpan tradisi tersebut. Memuat pelajaran penting yang disaat memasuki era globalisasi dan arus modernisasi seperti saat ini seakan menjadi hilang sedikit demi sedikit dan tidak bisa dipungkiri jika beberapa tahun kemudian akan benar-benar punah.
Kaitan erat tradisi lisan dan mitigasi bencana adalah terciptanya Kayori yaitu sebuah vokal tradisi saling sahut-menyahut tanpa instrumen. Pada peristiwa gempabumi yang mengguncang Palu dan sekitarnya pada 20 Mei 1938, memicu tsunami dan melahirkan kayori, satu dari ragam sastra lisan dalam masyarakat Kaili. Di dalam teks kayori tersebut menyebut tujuh nama kampung tua di pesisir Teluk Palu yaitu Ganti, Kabonga, Loli, Palu, Tondo, mamboro dan Kayumalue.
Goya-goya Gantiro (gempabumi di Ganti)
To Kabonga Lolio (dirasakan juga mereka di Kabonga dan Loli)
Palu, Tondo, Mamboro, notayomo (Palu, Tondo, Mamboro sudah tenggelam)
Kayumalue melantomo (Kayumalue mengapung)
Syair Kayori tersebut menjadi ingatan kolektif masyarakat Kayumalue dan sekitarnya. Bahkan pada saat peristiwa gempabumi 28 September 2018, tak sedikit orang-orang yang mengevakuasi diri dan keluarga mereka menuju Kayumalue. Mereka yakin bahwa Kayumalue merupakan daerah evakuasi yang aman sebagaimana kejadian tsunami di tahun 1938. namun hanya sedikit dari masyarakat Kayumalue yang bisa melagukannya. Dalam upaya mitigasi bencana berbasis lokal sebenarnya sastra lisan seperti ini akan mnejadi penting sebagai pengetahuan lokal bagi masyarakat untuk menghindari dampak korban yang lebih banyak dan kerusakan yang lebih besar dari bencana.
Dari bencana berulang seperti di Sulawesi Tengah ini, bisa menjadi sebuah bentuk membaca tanda alam. Hal inilah yang dilakukan oleh masyarakat Sirenja saat peristiwa gempabumi dua tahun silam. Belajar dari peristiwa gempa dan tsunami pada 15 Agustus 1968, warga di pesisir Sirenja (tepat berada di pusat gempa) telah melakukan evakuasi mandiri ke tempat tinggi sehingga tidak memakan korban jiwa yang banyak dibandingkan di pesisir Teluk Palu yang mencapai 1.600-an lebih hanya untuk korban tsunami saja.
Ada yang menarik dari tutura totua (cerita lisan orangtua) Kayumalue yang terus dikisahkan pada generasi dibawahnya tentang penggalan syair Kayori yang menurut tetua-tetua di Kayumalue memiliki versi gaib. Hal ini tentu saja akan mengundang banyak tanya dan ketidakpercayaan oleh generasi saat ini. Dalam syair "Palu, Tondo, Mamboro motayomo, Kayumalue melantomo" adalah penggalan syair dari seekor belut raksasa yang berada di Danau Lindu. Dalam versi Kayumalue, penggalan syair tersebut sudah ada sebelum gempa tahun 1938 sebagai peringatan untuk penduduk ri lembana (warga Lembah - Palu, Tondo dan Mamboro), bahwa suatu saat nanti lembana (lembah) akan kembali menjadi lautan seperti dahulu kala. Sehingga orang-orang tua Kayumalue meyakini bahwa Kayori ini telah ada jauh sebelum peristiwa gempa dan tsunami tahun 1938 tersebut.
Dimensi gaib dari syair Kayori dan  juga maknanya, menjadi sangat di yakini oleh sebagaian orang Kayumalue dan luar daerah Kayumalue sendiri bahwa lembah Palu berasal dari laut dan akan kembali menjadi laut.
Sumber Referensi :
Lasimpo, Gifvents. 2019. Mitigasi Bencana Berbasis Pengalaman Suku Kaili di Lembah Palu. Palu. KOMIU.
Lubis, Tasnim. 2019. Tradisi Lisan Nandong Simeuleu : Pendekatan Antropolinguistik. Sumatera Utara. Disertasi Program Doktor Linguistik pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
Sibarani, R. 2015. Pembentukan Karakter : Langkah-langkah Berbasis Kearifan Lokal. Jakarta. Asosiasi Tradisi Lisan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H