"Eh, itu Pak Suryo!" seru Rini. Dita melihat ke arah sebuah kontrakan bercat warna hijau. Benar saja, terlihat Pak Suryo sedang duduk bersama seorang perempuan tua yang kemungkinan adalah istrinya. Pak Suryo yang melihat kehadiran Dita dan Rini kaget dan senyum-senyum sendiri.
"Lah, Nak. Kenapa ke sini? Tahu kontrakan Bapak dari mana? He-he-he," tanyanya dengan hangat.
"He-he-he. Selamat sore Pak Suryo. Dita tahunya dari Pak Agus. Dita bingung sudah beberapa hari Bapak menghilang," jelas Dita.
Dita menyerahkan sebuah kantong plastik merah berisi sembako kepada Pak Suryo.
"Loh, ini apa? Ke rumah Bapak, kok, repot-repot," jawab Pak Suryo tidak enak dengan Dita dan Rini.
"Diterima saja, Pak!" bujuk Rini. Akhirnya Pak Suryo menerima kantong plastik yang diberikan oleh Dita dan menyerahkan ke istrinya. Pak Suryo mengajak Dita dan Rini duduk. Bu Suryo menyuguhkan teh hangat untuk mereka.
"Pak, mengapa Bapak tidak mengojek lagi? Apakah Bapak sakit?" tanya Dita.
Pak Suryo lalu menjelaskan bahwa motor yang sering dipakainya mengojek kebetulan motor anaknya. Kemarin motornya ditarik oleh leasing. Anaknya yang bungsu bekerja sebagai kuli pabrik harus berhenti kerja karena terjadi pengurangan karyawan di perusahaannya. Akhirnya, anaknya berhenti bekerja.
Dita dan Rini yang mendengar penjelasan Pak Suryo dan Bu Suryo merasa sedih. Mereka tidak sadar meneteskan air mata. Lalu, Dita mulai teringat percapakan pemuda di lorong tadi jika Pak Suryo merupakan mantan preman.
"Pak, mau tanya. Pas tadi di depan menanyakan alamat Bapak, mereka menjawab bahwa Preman Sur. Apa Bapak seorang preman dulunya? Dita enggak percaya loh, Pak!" kata Dita.
Mendengar pertanyaan Dita, wajah Pak Suryo yang tadinya menunjukkan keceriaan langsung berubah. Pak Suryo mengenang kejadian yang terjadi 35 tahun yang lalu.