Puisi itu sendiri memang adalah gunung gunung kata yang seakan-akan saling bertentangan tetapi ternyata mengandung suatu kebenaran (tentu saja ini relatif), yang menjulang tinggi membubung sampai ke langit tertinggi, dalam pendekatan intertekstual, juga dalam bagaimana cara kita menikmatinya.
***
Terlepas dari pertentangan tersebut, bagaimanapun juga seni sastra dalam hal ini “puisi”, tidak bisa tidak, akan mengangkut situasi suatu peradaban sekelilingnya, baik itu dalam bentuk bulat-bulat, diperpadat, maupun hanya sekelebatan saja, namun saya sepakat bahwa puisi tidak bisa menihilkan penggambaran situasi sekitar, dalam hal ini juga tidak bisa terlepas dari pemahaman siapa si “Aku”, “Kau”, dalam puisi (tentang ini mungkin saya akan menuliskan dalam postingan tersendiri)
***
Nah oleh karena itu, saya kira puisi akan menjadi bagian dari catatan sejarah dengan caranya sendiri, bisa berbentuk ungkapan rasa kecintaan terhadap sesuatu, kemarahan, bahkan pemberontakan dengan kata kata, tergantung dari sudut pandang pencipta maupun penikmat puisi, baik yang memuat hal-hal remeh temeh, maupun yang bersifat sangat substansial dalam kehidupan ini.
***
Dan puisi yang bagus menurut saya adalah yang bisa menempel dan bersemayam dalam diri kita, kata kata itu mengikuti kita sampai ke alam mimpi dalam waktu yang sangat lama (lebay.com), kemudian membuat kita tercenung-cenung dibuatnya, lalu membuat kita bergairah melakukan dan memulai lagi mimpi yang tertunda, sebut saja “terinspirasi” untuk berkarya lagi, atau menemukan visi baru yang dahulu kehabisan bahan bakar atau bahkan terkubur dendam (tentu saja dalam hal ini sesuai selera, bisa saja puisi manis rasa gula, atau malah pahit rasa jamu jawa).
***
Dan sebagai penutup tulisan, di sini saya sendiri meletakkan diri hanya sebagai penikmat saja, kadang menulis puisi juga (kadang kok sering, he he), dan kabar baiknya adalah saya menemukan banyak penulis berbakat di kompasiana ini, gilang gemilang dalam kepenulisan, namun sayang sekali kegemilangan tersebut sungguh teralienasi, ya bagaimanapun inilah pesan dari saya “mari kita membaca lebih banyak lagi, dan teruslah berkarya kawan”, biarlah puisi itu menjadi bagian dari gambaran suatu peradaban yang bisa kita nikmati dari sudut yang berbeda beda.
***
Salam bohongan
Bohong disalamin
Dibohongin
Disalamin
Membohongin
Aduh jangan bohong dong…
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H