Saya, meski tak sering, dalam setahun biasanya melakukan 2-3 kali perjalanan dinas keluar kota. Urusannya bisa berbeda-beda, namun masih tetap di koridor tugas sebagai guru, mulai dari mengantar siswa Praktik Kerja Lapangan (PKL), mengikuti pelatihan dan seminar, atau juga mengurus dokumen-dokumen kepegawaian. Namun jangan dikira pikiran saya hanya terfokus pada dunia pendidikan saja. Setiap perjalanan yang saya tempuh, mengenal orang-orang yang berbeda, tentu memperoleh pemaknaan baru terkait apa yang terjadi di sekitar saya.
Beberapa hari lalu, dalam perjalanan dinas menuju Jakarta, sembari menunggu jadwal kereta di Stasiun Kota Malang, saya berbincang dengan sepasang suami istri. Mereka berusia sekira enam puluhan. Sang istri yang enerjik berasal dari Indonesia, sedang suaminya nampak jelas berasal dari ras Kaukasoid. Seperti etika dasar pada umumnya, saya bertanya sedang dalam perjalanan kemana. Sang ibu menjawab hendak ke Bandung, melanjutkan perjalanan liburannya, dari Belanda -- Bali -- Bandung -- Malang -- Bandung lagi, Jakarta, lalu terbang ke Belanda. Kota yang telah ditinggali selama empat puluh lima tahun. Ketika beliau balik bertanya, saya katakan dari Malang. Â Saya terlatih menyebut demikian, karena jika menyebut Kota Batu, maka pasti orang luar kota sedikit bingung, kemudian baru paham saat saya sampaikan, Malang.
Lanjut cerita, sang istri dengan semangat menceritakan tentang kerinduannya untuk tinggal kembali di Indonesia, masa kecilnya di Makasar selalu dalam kenangan. Dia berangan-angan untuk memiliki rumah di Malang, dan saya cukup terkejut ketika dengan gamblang menyebutkan nama Kota Batu sebagai pilihan utama menghabiskan sisa usia.Â
Dengan semangat pula saya menyahut jika asli Batu. Mereka antusias menanyakan suhu rata-rata, bagaimana kondisi polusi, kemacetan, keamanan, dan lain-lain. Pun saya timpali selayak humas bisnis properti. Sejam kemudian, panggilan boarding memanggil. Sembari menggeret koper, saya lalu bertanya sendiri, apakah sejam itu tadi, saya telah menjual lahan pertanian Kota Batu?
Kereta Brawijaya mulai melaju. Ini kelas eksekutif yang bisa kunikmati karena perjalanan dinas atas undangan kementerian. Medio 2009, saya diterima sebagai PNS guru dan bertugas di SMK Negeri 3 Batu, yang kala itu memiliki dua gedung sekolah. Yang pertama menumpang di SMP Negeri 4 Batu, lokasinya dekat dengan objek wisata Selecta yang dingin dan berkabut. Sedang yang kedua di tengah areal persawahan Sumberejo, diiringi gemericik irigasi, semilir angin, serta semerbak kebun mawar. Â Awalnya, bangunan sekolah itu adalah sawah milik desa, kemudian dihibahkan untuk menjadi lembaga pendidikan. Lokasinya, dari jalan raya, masuk cukup jauh melalui Jalan Metro. Selepas bangunan vila dan perumahan, sekira 500 meter, maka pemandangan alam tersaji dengan manisnya. Bunga mawar, krisan, dan peacock memanjakan mata. Aroma daun bawang dan sledri menambah sejuk angin yang semilir. Agak ngeri memang jika sedang hujan badai, karena tak jarang petir menyambar pohon di sawah. Apalagi jika harus lembur dan pulang malam, area ini cukup menakutkan karena tidak ada penerangan jalan.
Sekian tahun kemudian, rasanya tidak ada tempat yang mengerikan lagi di Batu. Apalagi semenjak perubahan status dari kecamatan menjadi kota. Saya iseng mencari data lahan pertanian. Menilik data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, jumlah lahan pertanian baik yang sawah maupun bukan sawah seluas 6.628,56 hektar. Berikutnya mari kita bandingkan dengan data tahun 2021 yang menunjukkan penurunan cukup signifikan, yakni 4.777,988 hektar. Berapa hektar lahan beralih fungsi selama lima tahun saja? Saya yang sejak tahun 1985, artinya sejak lahir, mengalami benar berbagai perubahan yang terjadi. Saya masih ingat ketika tahun 1990-an awal, di daerah dekat balaikota masih bisa ditanami pohon apel dan berbuah dengan lebat. Lambat laun, sekitar tahun 2000-an, tanaman-tanaman buah tidak muncul lagi di area kota. Sementara di daerah Sidomulyo ke atas, pertanian apel masih berkembang dengan baik. Teman-teman sekolah saya, yang notabene anak juragan apel kala itu, tentu merasakan hidup mewah dari hasil pertanian.
Kereta tiba di Stasiun Madiun, pukul 19.50 sesuai jadwal perjalanan. Seorang teman mengirim pesan, di Batu hujan lebat, hujan pertama musim ini. Dia masih terjaga, dikatakannya siaga, jangan-jangan banjir bandang tak bilang-bilang. Saya memilih melanjutkan kenangan. Tahun berganti, saya sampai hafal setiap lubang dan tikungan, tak terasa bangunan-bangunan pun turut bertumbuh. Saya yang jika ada kosong di jam pertama, menyempatkan olahraga di belakang sekolah, bermula dari jalan setapak. Beberapa tahun kemudian, bulldozer meratakan jalan, membuat setapak menjadi jalur yang bisa dilewati kendaraan roda empat. Di petak-petak sawah terpasang tulisan dijual, tak lama sudah dilepas, tandanya laku keras. "Sejak kapan ada bangunan ini?" tanya temanku. "Kalau ada uang, jinnya Roro Jonggrang juga siap kesini.
Alih fungsi lahan terus saja terjadi. Perumahan, vila besar yang tak berpenghuni, hotel, serta cafe bermunculan. Menghalangi pemandangan ke arah Panderman serta Arjuna. Entah berapa kalipun melewati jalan ini, saya selalu mendokumentasikan keindahan alamnya. Sayang, spot terbaik itu lambat laun tertutup oleh bangunan. Area ini memiliki saluran irigasi yang tak pernah surut meski kemarau, harusnya lebih tepat apabila digunakan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan yang harus dilindungi dan dilestarikan.Â
Bukankah aturan perundangan cukup jelas untuk dijadikan landasan? Berdasarkan UU No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, yang kemudian dikuatkan dengan PP No.1 Tahun 2011 disebutkan bahwa Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan, dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan (Mardiyatmi, 2020).
Siapa yang salah? Akan sulit untuk menjawabnya. Pertama, lahan ini milik petani, maka mereka punya hak untuk menjual. Faktor kesejahteraan petani memang masih miris. Hasil panen tidak menentu, apalagi tidak ada jaminan bahwa harga akan memberikan keuntungan saat panen. Jika kita melihat banyak berita petani membuang hasil buminya. Kita tidak bisa langsung menyalahkan petani, mereka kurang bersyukur atau bagaimana. Mari kita kalkulasikan dengan kasar, ongkos buruh tani, per orang sekitar 60 ribu rupiah, mulai pukul 07.00 hingga 11.30-an. Untuk mengerjakan sepetak sawah perlu berapa orang dan berapa lama. Kemudian harga pupuk dan pengendali hama tidak pernah turun. Belum lagi risiko gagal panen. Tak ayal jika petani sayur akan sulit makmur.Â
Kedua, generasi penerus tak lagi mau menjadi petani. Profesi petani kiranya tak cukup layak untuk ditulis di KTP, begitulah pandangan pemuda. Sedangkan semakin tua, manusia akan semakin lelah untuk mengerjakan lahan pertanian, padahal untuk biaya hidup dan sekolah anak-anak, mereka sangat menggantungkan dari hasil itu. Iming-iming harga jual lahan yang tinggi tentu menggiurkan. Apalagi jika anak-anak tak ada yang mau meneruskan dan membutuhkan biaya untuk beli kendaraan misalnya. Maka pilihan menjual lahan menjadi solusi.Â
Ketiga, peran pemerintah ada dimana? Saya hanya bisa memberikan komentar. Pasti sulit juga menjadi aparat yang berusaha untuk mempertahankan lahan pertanian di Kota Batu, sementara lahan itu milik warga. Kemudian usaha-usaha di sektor kuliner dan hotel juga memberikan dampak ekonomi yang positif bagi warga sekitar.
Berbagai alasan tersebut kiranya tak menyurutkan tekad agar usaha pertanian di Kota Batu tetap lestari hingga anak cucu kita nanti. Solusi yang bisa ditawarkan antara lain sebagai berikut. Pertama, tingkatkan kolaborasi pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan wisata pertanian. Misalkan wisata petik sayur, petik bunga, maupun buah. Lahan pertanian tetap ada, pemasukan dari tiket masuk juga bisa dijadikan pegangan jikalau hasil pertanian sedang murah. Pengelolaan yang transparan serta melibatkan berbagai unsur dapat membangun ekonomi warga tanpa perlu menjual lahan pertanian.
Kedua, meningkatkan mutu hasil pertanian dengan berbagai teknologi juga menjadi solusi agar pemuda tertarik berusaha di sektor ini. Mengerahkan sarjana pertanian, memberikan ruang yang luas bagi pendidikan vokasi pengolahan hasil pertanian, serta taman bacaan yang memadai untuk memberikan wawasan adalah solusi yang bisa dilakukan mulai skala desa. Dan yang tak kalah penting adalah peran berbagai pihak dalam pemasaran hasil pertanian. Jika harga stabil dan memberi keuntungan yang layak, pasti banyak yang memilih bekerja di kebun daripada ikut orang di Perusahaan. Terakhir, kiranya pemerintah menggunakan taringnya untuk mengatur penambahan bangunan di kota Batu ini dengan memperketat izin. Lahan yang kiranya sangat tepat untuk bertani, jangan sampai beralih menjadi beton-beton.
Ah, ini sudah pukul lima pagi. Saya telah tiba di stasiun terakhir, Gambir. Langit kelabu di atas sana. Saya bertanya pada sopir taksi, apakah sudah musim hujan disini? Namun jawabannya sangat mencengangkan, sudah tiga bulan kami tidak melihat langit biru, tapi ini bukan awan mendung. Ternyata berita itu benar. Tiba-tiba, saya sudah rindu kampung halaman. Langit biru, air jernih, burung-burung berkejaran di sawah belakang sekolah. Semoga kelak cucuku bisa merasakan suasana yang sama. Kota Batu, aku segera pulang.
Daftar Rujukan
Mardiyatmi, R. D. (2020). Implementasi Uu Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Studi Kasus Di Kota .... Dinamika Hukum, 9(1), 58--70.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H