Mohon tunggu...
Iim Imrotin
Iim Imrotin Mohon Tunggu... Guru - guru

saya seorang guru Bahasa Indonesia jenjang SMK

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menghapus Stigma Pelajaran Kelas Dua di SMK

13 Januari 2024   20:26 Diperbarui: 13 Januari 2024   20:36 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Stigma sebagai pelajaran kelas dua telah melekat pada mata pelajaran nonproduktif di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) semenjak muncul pertanyaan "Apakah pelajaran ini dibutuhkan di dunia kerja?"

Menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu menengok lagi salah satu kebijakan Ditjen Vokasi yakni program link and match kurikulum sekolah dengan dunia industri yang bertujuan menyiapkan tenaga kerja yang mempunyai kemampuan utuh yang dibutuhkan di dunia kerja  (Yoto et al., 2013) (Disas, 2018) (Husein, 2019). Siswa diharapkan bukan hanya terampil dalam satu aspek saja, misal ahli menggunakan mesin bubut, sedangkan skill yang lain seperti kemampuan berkomunikasi, strategi pemasaran, atau berpikir strategis diabaikan. Sayangnya belum banyak sekolah yang memahami kebutuhan ini.

Berikutnya penerapan kurikulum merdeka diharapkan memberikan keleluasaan bagi guru untuk mengatur sendiri capaian yang dikehendaki dalam level tertentu. Penelitian menunjukkan hambatan penerapan merdeka belajar di SMK, selain terkait sarana dan prasarana, juga lebih banyak bersumber pada kurangnya program peningkatan kompetensi guru, serta pengembangan kurikulum belum menyesuaikan dengan industri (Dwi Efiyanto, 2021). Khusus pada peningkatan kompetensi guru jenjang SMK, sayangnya, selama ini masih berfokus pada guru produktif. Hingga stigma kelas-kelas pada jenis mata pelajaran semakin nyata dan perlu dicarikan solusi.

Perubahan Mindset

Solusi pertama yang bisa ditawarkan yaitu guru matpel nonproduktif hendaknya mengatur mindset bahwa belajar perlu terus dilakukan. Seringkali guru merasa sudah puas dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki sehingga enggan untuk mempelajari hal baru. Pola industri yang dinamis, pergerakan guru produktif tentu mengikutinya, maka pelajaran nonproduktif juga harus berlari beriringan. Hal inipun sejalan dengan filosofi "merdeka" yang dimaksudkan dalam kurikulum baru yang mengandung makna kebebasan bagi guru untuk belajar sepanjang hayat, tanpa batasan usia, dan bidang pelajaran  (Imrotin & Sari, 2022). Dengan mengetahui kebutuhan industri, guru pelajaran nonproduktif pun bisa menyesuaikan materi yang diajarkan.

Guru nonproduktif hendaknya memiliki keterbukaan untuk menerima masukan dan saran dari mata pelajaran produktif juga industri, karena mereka yang memiliki pengetahuan tentang apa yang dibutuhkan peserta didik. Misalkan saja materi cerita pendek tidak terlalu urgen untuk diajarkan di teknik mesin, namun lebih diutamakan bagi jurusan perfilman. Tanpa adanya pengetahuan mengenai apa yang dibutuhkan industri, maka guru akan kesulitan menentukan skala prioritas pembelajaran, akhirnya semua kompetensi harus tuntas dan pertanyaan "untuk apa" muncul kembali.

Proyek Kolaboratif

Kedua, tim guru produktif berkenan untuk memberikan kesempatan bagi matpel nonproduktif agar ikut serta dalam proyek jurusan. Seperti diketahui, pembelajaran berbasis proyek dapat meningkatkan hasil pembelajaran, namun belum melakukan kolaborasi dengan mata pelajaran lain (Yoto et al., 2013) (Jumadi, 2022). Pelibatan guru nonproduktif ke proyek jurusan bisa dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi.

Perencanaan proyek secara bersama dapat mengurangi jumlah tugas yang diberikan pada siswa sehingga lebih fokus saat mengerjakan. Pada tahap pelaksanaan, berpijak pada logika rasio jumlah guru dengan jumlah siswa, makin banyak guru, maka siswa akan semakin terbantu selama pembelajaran. Guru produktif tentu memiliki beban jam mengajar yang banyak diiringi jumlah kelas yang tak sedikit, oleh karenanya jika guru nonproduktif dilibatkan akan sangat membantu dalam membimbing siswa. Kemudian pada tahap evaluasi juga bisa dilaksanakan secara kolaboratif dengan teknik presentasi proyek. Beberapa mata pelajaran yang terlibat bisa dihadirkan dan memberikan nilai sesuai dengan kompetensi yang diujikan.

Contoh proyek kolaboratif misalkan dalam pembuatan sparepart mobil. Guru matematika mendapat bagian pengukuran, guru bahasa Indonesia menyiapkan penulisan prosedur kerja, proposal, laporan, hingga teknik presentasi. Kewirausahaan membantu dalam penghitungan laba rugi serta strategi pemasaran. Dengan demikian sudah berapa tugas yang tergabung menjadi satu. Hal ini tentu tidak secara ekstrem semua pelajaran harus ikut, misalkan Pendidikan Agama atau Sejarah.

Perhatian Lembaga Terkait

Ketiga, perlunya perhatian dari balai besar untuk memerhatikan pelajaran nonproduktif. Semenjak revitalisasi kelembagaan di lingkungan Kemendikbud, lembaga yang mengayomi pelajaran nonproduktif, seperti P4TK Bahasa, Matematika, PKN, dan IPS telah dihapus, guru merasa kehilangan tempat bernaung. Lembaga yang baru seperti BGP (Balai Guru Penggerak) hanya fokus pada pelaksanaan sekolah dan guru penggerak. Adapun BBPPMPV (Balai Besar Pengembangan Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi) lebih berfokus pada peningkatan kualitas guru produktif. Harapannya berbagai lembaga yang ada juga memberikan kesempatan bagi guru nonproduktif dalam upaya meningkatkan kompetensi di bidang kejuruan. Tujuan akhirnya tentu mampu menyiapkan siswa dengan keterampilan yang utuh sesuai keinginan pasar kerja.

Perubahan pola pikir guru nonproduktif untuk terus belajar serta membuka diri dengan hal-hal baru tentu akan mendorong kualitas diri serta turut serta dalam menyukseskan siswa masuk ke dunia kerja. Berikutnya, keterlibatan secara aktif dalam kolaborasi proyek kejuruan dapat meningkatkan kualitas mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi yang muaranya tentu pada kompetensi siswa yang semakin memuaskan industri. Terakhir perlunya dukungan dari lembaga terkait agar tidak ada lagi stigma pelajaran nonproduktif hanya sebagai pelengkap di rapor siswa. Tidak ada lagi pelajaran kelas dua, semua diperlukan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang mampu bersaing di dunia kerja juga mampu menciptakan lapangan kerja.

Sumber Pustaka

Chudori, V. N. (2012). Relevansi Isi Kurikulum Kompetensi Keahlian Teknik Konstruksi Batu Dan Beton Di SMKN 5 Bandung Dengan Kebutuhan Industri Universitas Pendidikan Indonesia. Repository.Upi.Edu.

Disas, E. P. (2018). Link and Match sebagai Kebijakan Pendidikan Kejuruan. Jurnal Penelitian Pendidikan, 18(2), 231--242. https://doi.org/10.17509/jpp.v18i2.12965

Dwi Efiyanto. (2021). Analisis Penerapan Kebijakan Merdeka Belajar Pada Kurikulum SMK. Pascasarjana, Direktorat Program Malang, Universitas Muhammadiyah, 1--83.

Husein, M. T. (2019). LINK AND MATCH PENDIDIKAN SEKOLAH KEJURUAN. Rausyan Fikr: Jurnal Pemikiran Dan Pencerahan, 15(2). https://doi.org/10.31000/rf.v15i2.2037

Imrotin, & Sari, I. N. (2022). Kesiapan Guru Bahasa Indonesia Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dalam Menghadapi Program Merdeka Belajar. Jgi: Jurnal Guru Indonesia, 2(1).

Jumadi. (2022). Analisis Metode Pembelajaran Project Based Learning dalam Peningkatan Hasil Belajar Siswa SMK. NURINA WIDYA: Jurnal Pendidikan Dan Humaniora, 1(1), 59--64.

Yoto, Kustono, D., Muladi, & Wardana. (2013). PARTISIPASI MASYARAKAT INDUSTRI DALAM PENYUSUNAN SINKRONISASI KURIKULUM DI SMK. Jurnal Teknik Mesin, 21(1), 113--126.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun