Mohon tunggu...
Musni Umar
Musni Umar Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilgub DKI 2017: Demokrasi dan Perubahan

14 Februari 2017   15:28 Diperbarui: 14 Februari 2017   16:11 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada tanggal 15 Februari 2017, Indonesia akan melaksanakan pemilihan serentak di berbagai daerah seluruh Indonesia.  Salah satu daerah yang akan ikut melaksanakan pemilihan kepala daerah ialah DKI Jakarta.  

DKI Jakarta sebagai daerah khusus ibukota, tidak mempunyai daerah otonom seperti Kabupaten dan Kota di berbagai daerah di Indonesia.  Maka walaupun DKI Jakarta mempunyai satu kabupaten yaitu Kabupaten Kepulauan Seribu, dan 5 Daerah Kota Madya, yaitu Kota Madya Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara, tetapi semuanya tidak ada yang otonom.  Menurut UU Pemerintah Daerah Ibukota Jakarta, yang otonom hanya di Provinsi DKI Jakarta yang dipimpin seorang Gubernur dan seorang Wakil Gubernur, serta Dewan Perwakilan Daerah DKI Jakarta.   Konsekuensinya, di kabupaten Kepulauan Seribu, dan lima Kota Madya di DKI Jakarta tidak mempunyai DPRD Kabupaten dan Kota. 

Oleh karena itu, pemilihan Gubernur di DKI Jakarta, hanya dilakukan pada daerah tingkat provinsi, yang  pada 15 Februari 2017, seluruh warga DKI Jakarta yang sudah memenuhi syarat akan memilih Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022.

Pertarungan memperebutkan DKI 1, sejak pemilihan Gubernur DKI Jakarta dilaksanakan secara langsung, pertarungan yang melibatkan warga DKI sebagai pemilih kedaulatan sangat seru dan keras.   

Setidaknya ada lima alasan mendasari, mengapa pilgub DKI sangat keras. Pertama, DKI Jakarta adalah barometer nasional.  Sebagai ibukota negara adalah pusat pertarungan politik, ekonomi, sosial, pertahanan-keamanan dan sebagainya.  Maka partai politik yang calonnya berhasil memenangi pertarungan DKI 1, maka akan memberi pengaruh secara politik dan ke berbagai daerah di seluruh Indonesia.

Kedua, secara politik, calon Gubernur DKI Jakarta yang sukses memenangkan DKI 1 dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta,  berpeluang menjadi RI 1 di masa mendatang seperti yang dialami Ir. H. Joko Widodo, yang sukses memenangkan Pilgub DKI tahun 2012, akhirnya didukung PDIP menjadi Presiden RI dan berjaya memenangkan pertarungan dalam memperebutkan RI 1.

Ketiga, ekonomi Indonesia, sekitar 70 persen berada di DKI Jakarta, maka tidak mengherankan jika para pemilik modal dan penguasa politik, ingin menguasai DKI Jakarta.  Apalagi ada proyek reklamasi di pantai Jakarta, yang sedang dibangun dan banyak kegiatan usaha di DKI Jakarta yang harus diselamatkan. 

Keempat, secara sosiologis, daya tarik DKI Jakarta luar biasa bagi setiap warga negara Indonesia, sehingga hampir semuanya ingin mengadu nasib di DKI Jakarta, karena DKI menjanjikan kehidupan yang lebih layak dan masa depan yang lebih baik.

Kelima, secara politik, mereka yang mempunyai kekuasaan ekonomi dan politik di daerah, merasa tidak puas, jika tidak menjadi anggota parlemen dan menduduki posisi politik yang  tinggi di Jakarta.   Kalau sudah berhasil, mereka maunya tinggal di DKI Jakarta.

Demokrasi dan Perubahan

Dalam demokrasi, sejatinya yang berkuasa (berdaulat) adalah rakyat.  Oleh karena dalam stratifikasi sosial, yang terbanyak adalah rakyat jelata (wong cilik), maka untuk mengetahui siapa yang bakal memenangkan pertarungan perebutan kekuasaan di DKI 1, maka barometernya adalah rakyat jelata.  Siapa yang terbanyak akan dipilih rakyat jelata, dia yang akan memenangkan DKI 1.  

Maka berdasarkan hasil survei pribadi yang saya laksanakan setiap Sabtu dan Minggu selama Desember, Januari dan Februari 2017 (sebelum Pilgub) 15 Februari 2017, saya menemukan fakta melalui wawancara tatap muka dengan rakyat jelata (wong cilik), hanya keajaiban tidak terjadi perubahan dalam pilgub DKI Jakarta 2017.  

Mayoritas warga DKI Jakarta yang saya temui dan wawancara di Pasar tradisional Cipete, Pasar tradisional Pondok Labu, Pasar tradisomal di Warung Buncit, di kawasan Kemanggisan Jakarta Barat, Kelurahan Johar Baru, Kelurahan Rawamangun, Kelurahan Utan Kayu Utara, sangat minim yang masih mau memilih petahana (Ahok-Jarot).  

Dengan demikian, berdasarkan pengalaman saya dalam melakukan survei di setiap pemilihan Presiden dan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, maka hampir pasti insya Allah akan terjadi perubahan.   Dalam survei yang saya lakukan sebagai sosiolog dengan biaya sendiri, saya menemukan fakta bahwa mayoritas mau memilih Anies-Sandi.   

Apakah ini akan menjadi kenyataan dalam Pilgub DKI tanggal 15 Februari 2017, Allahu a'lam bisshawab.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun