Pada tahun 1970-an, penelitian-penelitian mengenai hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi sempat mandeg karena timbulnya kesangsian mengenai peranan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dibeberapa negara, khususnya di Amerika Serikat dan negara berkembang yang menerima bantuan dari Bank Dunia pada waktu itu. Kesangsian ini timbul, antara lain karena kritik para sosiolog pendidikan diantaranya Gary Becker (1964) mengatakan bahwa teori human capital ini lebih menekankan dimensi material manusia sehingga kurang memperhitungkan manusia dari dimensi sosio-budaya. Kritik Becker ini justru membuka persepektif dari keyakinan filosofis bahwa pendidikan tidak pula semata-mata dihitung sebagai investasi ekonomis tetapi lebih dari itu dimensi sosial dan budaya yang berorentasi pada dimensi kemanusiaan yang justru lebih penting dari sekedar investasi ekonomi. Karena pendidikan harus dilakukan oleh sebab terkait dengan kemanusiaan itu sendiri (human dignity). Kemudian, penelitian Hick (1980), Wheeler (1980), dan beberapa peneliti neoklasik lain, telah dapat menyakinkan kembali secara ilmiah akan pentingnya manusia yang terdidik  menunjang pertumbuhan ekonomi secara langsung bahkan seluruh sektor pembangunan makro lainnya.
 Atas dasar keyakinan ilmiah itulah akhirnya World Bank kembali merealisasikan program bantuan internasionalnya ke berbagai negara. Kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan kemakmuran suatu negara ini menjadi semakin kuat setelah memperhitungkan efek interaksi antara pendidikan dan investasi fisik lainnya. Artinya, investasi modal fisik akan berlipat ganda nilai tambahnya dikemudian hari jika pada saat yang sama dilakukan juga investasi SDM, yang secara langsung akan menjadi pelaku dan pengguna  dalam investasi fisik tersebut. Dalam banyak kasus di negara berkembang, banyak hasil pembanguan fisik terbengkalai dan tidak memberikan manfat apa-apa oleh sebab ketidakmampuan manusianya dalam memelihara dan memanfaatkannya. Bahkan berbagai investasi fisik berupa modal mesin-mesin industri telah menjadi besi tua karena faktor manusia yang tidak bisa mengoperasikanya.
Persepektif yang digunakan untuk melihat kontribusi pendidikan bagi pertumbuhan pembangunan telah mengalami perubahan sejalan dengan perubahan persepsi terhadap pembangunan itu sendiri. Pendidikan telah diyakini sebagai suatu alat utama untuk membangun kebudayaan yang semakin bermartabat, meningkatkan kesadaran sosial-politik rakyat, demokratisasi, wahana transformasi dalam segala aspek kehidupan dan menyediakan tenaga-tenaga terdidik dan terlatih yang menguasai sains dan teknologi untuk mendorong industrialisasi sebagai kunci untuk modernisasi. Pada awal tahun 1970-an, pandangan umum tentang pembangunan telah diperluas. Pembangunan berfokus pada urusan kesejahteraan manusia dan pengurangan kemiskinan. Pendidikan dilihat sebagai kebutuhan dasar manusia, sehingga manusia berkembang segala potensi kemampuannya yang dengan itu ia dapat menjalani kehidupannya secara produktif. Dalam konteks makro suatu negara, pendidikan berperan sebagai kegiatan yang mempertahankan dan mempercepat pembangunan secara keseluruhan. Sekarang diakui bahwa pengembangan SDM suatu negara merupakan unsur pokok bagi pertumbuhan dan kemakmuran. Juga terhadap penggunaan yang semakin efektif dan efisien atas sumber daya modal fisiknya. Dewasa ini telah disadari oleh masyarakat dunia bahwa pendidikan adalah investasi bukan konsumsi yang tidak bermakna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H