Mohon tunggu...
Iik Nurulpaik
Iik Nurulpaik Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Akademisi, Pemerhati Pembangunan Bangsa

Edukasi jalan literasi peradaban

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bagaimana Nasib Anak Cerdas di Sekitar Kita?

7 Desember 2022   11:06 Diperbarui: 7 Desember 2022   12:07 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Conny Semiawan, guru besar psikologi pendidikan dari Univesitas Negeri Jakarta, pernah bereksperimen dengan membentuk lembaga pendidikan yang secara khusus menangani anak jenius. Lembaga tersebut cukup berhasil dalam mengembangkan berbagai potensi istimewa yang dimiliki anak. Namun sayang sekali, karena adanya keterbatasan dalam masalah pendanaan, projek uji coba tersebut pun tidak ada kelanjutannya.

Bukan itu saja, dimasa lalu, tingkat pendidikan dasar dan menengah pernah membuat suatu langkah kebijakan, yakni memberikan kesempatan kepada setiap siswa berbakat dan memiliki prestasi belajar yang menonjol diperkenankan bisa naik dua tingkat  sekaligus. Misalnya, dari kelas 2 bisa langsung naik ke kelas 4 tanpa harus melalui kelas 3, dari kelas 3 langsung ke kelas 5, kelas 4 bisa langsung naik ke kelas 6 tanpa harus belajar di kelas 5 terlebih dulu. Tentu saja langkah tersebut juga dilakukan melalui tes kemampuan ditambah pertimbangan akademis lainnya. Bila dilihat dari sisi akademik, sistem ini membuka kesempatan bagi anak berbakat untuk terus menggali potensinya. Akan tetapi, dalam perkembangannya kemudian, program tersebut tidak diperbolehkan. Menurut kebijakan tersebut, anak berbakat harus belajar secara bersama dengan anak biasa lainya. Dengan tujuan yang baik yakni supaya tidak terjadi ekslusivisme

Pemberlakuan sistem seperti itu hanya membuat mereka menjadi malas, karena tanpa "memeras keringat" saja kemampuannya bisa menyamai anak yang kemampuannya biasa. Akhirnya dalam perkembangannya, karena kemampuannya tak pernah diasah lagi, mereka pun mengalami penumpulan kemampuan. Matilah potensi mereka. Sebagai gantinya, kini di sekolah-sekolah muncul program kelas unggulan.

Namun sayangnya, sistem seperti ini hanya  mengelompokan anak-anak pintar agar terpisah dari yang biasa, karena kurikulum maupun metode yang dipergunakannya sama saja dengan kelas reguler biasa yang bukan unggulan. Akhirnya, tujuan dan efektivitas program pun menjadi bias. Secara filosofis, program pendidikan bagi anak berbakat itu dapat dan harus dilakukan dengan mendekatkan mereka pada realitas kehidupan masyarakat, demi menumbuhkan dan membentuk watak kepeduliannya terhadap berbagai problema di lingkungan sekitarnya, baik masalah ekonomi, sosial, politik, maupun lingkungan alamnya.

Mereka harus dibina dalam kontek hubungan sosial dengan manusia, dengan lingkungan alamnya, dan hubungan vertikal dengan tuhannya, sehingga mereka bisa mengasah kecerdasannya dengan mengkaji dan menganalisis berbagai persoalan yang dihadapinya dengan pendekatan ilmiah yang dilandasi ketauhidan kepada TYME.

Faktor-faktor yang penting yang harus mendapat perhatian serius dalam pengembangan anak cerdas adalah menumbuhkan mental mandiri, penanaman rasa percaya diri, dan mengembangkan sikap persaudaraan (kepekaan sosial). Menurut Utami Munandar, Guru Besar Psikologi UI, keberhasilan pendidikan anak berbakat cerdas juga akan sangat bergantung kepada peranan orang tua, baik dalam proses pembelajaranya di sekolah, maupun kesesuaiannya dengan pendidikan di keluarga.

Artinya, orang tua tidak bisa mempercayakan sepenuhnya tugas mendidikan anaknya kepada sekolah dan guru. Sekolah bukanlah tempat yang secara serta merta dapat memperbaiki aspek kepribadian anak secara utuh seperti mental, spiritual, etika, dan knowledge anak.

Sekolah-sekolah yang ada sekarang ini sudah terlampau berat memikul beban tanggungjawab dan harapan yang begitu tinggi dari orang tua, termasuk dalam  menjawab tuntutan kebutuhan dalam upaya pendidikan anak-anak berbakat cerdas.

Sekolah secara faktual belum bisa menangani masalah pendidikan anak cerdas ini  dikarenakan semata-mata proses pembelajaran siswa di sekolah masih belum sepenuhnya efektif karena berbagai keterbatasan, baik yang menyangkut aspek tenaga kependidikannya, sarana, prasarana, maupun sistem manajemen pendidikan.

Dalam memperlakukan anak, hendaknya guru maupun orang tua, tidak memaksakan untuk mempelajari atau menguasai sesuatu (ilmu, keterampilan, kegemaran, dsb) yang bukan keinginan dan jauh dari kemampuannya. Tentu saja tidak semua potensi kecedasan (multiple intelligences) seperti yang dikemukakan Gardner diatas dimiliki oleh anak. Anak harus dipahami potensi pribadinya secara tepat. Sehingga kita dapat menerapkan pola dan arah pendidikan bagi pengembangan potensi pribadinya secara benar sesuai dengan potensi kecerdasan yang dimilikinya. Ibarat seekor kancil, janganlah ia dipaksa untuk bisa berenang tapi latihlah dia untuk bisa berlari semakin cepat karena keunggulan kancil memang dalam berlari, bukan berenang.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun